Membaca Sejarah Lama (5)

Sumber foto: https://jatim.inews.id/berita/misteri-lokasi-perang-bubat-antara-pasukan-majapahit-dengan-sunda

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sebuah pertempuran dengan berbagai penafsiran. Yang dimaksudkan adalah perang Bubad yang terjadi antara kerajaan Sunda di Jawa Barat, melawan Majapahit di kawasan mereka sendiri. Hal itu berlangsung ketika rombongan tentara Sunda itu berada dalam perjalanan dari Sunda ke keraton Majapahit. Saat itu, pasukan Hayam Wuruk menyerang rombongan pengantin puteri Sunda yang sedianya akan menjadi Permaisurinya.

Penyerangan itu, jelaslah justru bukan direncanakan oleh Hayam Wuruk sendiri, melainkan oleh orang-orang yang tak senang jika perkawinan tersebut berlangsung. Jika hal itu terjadi maka Majapahit akan menjadi sangat perkasa dan memiliki kawasan asal (original size) yang sangat luas. Dalam hal ini, pertimbangan-pertimbangan geo-politik tidak memperkenankan penyatuan wilayah Majapahit dan Padjajaran, karena itu perlu direkayasa terjadinya sebuah peperangan. Dengan demikian, kedua negara yang sedang tumbuh pesat itu tidak dapat menyatukan energi hingga menjadi kuat dan tak terlawan.

Cerita di atas itu, adalah cerita klasik tentang menyatunya dua kekuatan dan upaya penggagalan penyatuan dua kekuatan tersebut. Majapahit adalah kulminasi perpaduan antara Budhisme dan Hinduisme, tekenal dengan nama Bhairawa. Jelas dengan uraian ini, datangnya perlawanan adalah dari pihak “Hindu murni”, yang tidak rela jika gagasan penyatuan wilayah Majapahit dan Pasundan–melalui perkawinan Hayam Wuruk dan puteri Sunda, itu karena akan memperluas wilayah Bhairawa tersebut.

***

Pada setiap zaman selalu ada yang menolak perpaduan apa pun, dengan alasan hilangnya “kemurnian” sesuatu ajaran yang menjadi tulang punggung masyarakat. Analoginya saat ini adalah muncul elemen-elemen “NU murni” dalam perkembangan PKB. Dalam upaya mempertahankan supremasi NU dalam partai tersebut, mereka tidak mau menerima kebutuhan akan “keterbukaan” PKB bagi semua unsur Islam di satu pihak serta unsur Islam dan non-Islam di pihak lain. Padahal kalau ia ingin besar, PKB haruslah membebaskan diri dari kungkungan tersebut.

Yang terpenting adalah, penyatuan kedua masyarakat tersebut. Tapi, hal itu merupakan ancaman bagi pikiran-pikiran politis yang ada. Kalau di kaji secara mendalam, sejarah memang selalu berkisar antara perluasan wilayah melalui penyatuan berbagai elemen di satu pihak, dan pandangan lawan di pihak lain. Di masa modern ini pun, hal yang sama juga terjadi antara Sutan Takdir Ali Syahbana dan Sanusi Pane. Ali Syahbana yang membawakan modernitas dan Pane yang membawakan tradisi, berlawanan pikiran dan pendirian dalam Pujangga Baru.

Bahwa sebuah pertarungan biasanya dimenangkan oleh pihak yang menghendaki perluasan pemikiran dan perbuatan, ini tidak berarti mengalahnya dengan mudah kelompok di atas, karena kelompok “murni” tersebut. Karena itu, orang tidak perlu heran, jika upaya penyatuan kedua kerajaan itu lalu dihambat oleh kecenderungan bergabung menjdi aktualitas berperang. Dengan demikian, kekuatan Majapahit tidak menjadi besar lagi.

Tafsiran sejarah di atas memang dapat dibenarkan kalau diingat bahwa kemungkinan Majapahit yang menyatukan dua pandangan keagamaan Hindu dan Budha dapat diperhitungkan sebagai ancaman terhadap “kemurnian ajaran”. Apalagi kalau diingat, Majapahit juga telah menancapkan pengaruhnya di Sumatra Barat dan kawasan-kawasan lain, seperti terlihat dari gelar Adityawarman di daerah tersebut. Sudut pandangan lain, dapat dikemukakan hal ini. Ada sangkaan bahwa Prabu Jaya Baya di Pamenang, Raden Wijaya (pendiri Majapahit), Brawijaya IV, dan Brawijaya V adalah orang-orang yang telah menjadi muslim. Apabila hal ini benar maka ada penafsiran sejarah bahwa orang-orang muslim itulah yang merekayasa perang Bubad. Mereka tidak menghendaki penguatan Hinduisme, yang juga berarti penguatan ajaran-ajaran Bhirawa dalam kehidupan masyarakat di Majapahit. Perang Bubad, dalam pandangan ini adalah permainan geo-politik untuk menjamin Islamisasi masyarakat Jawa.

Kalau penafsiran terakhir dapat di benarkan maka dapat pula dimengerti mengapa raja-raja Hindu di Jawa pada waktu itu berdiam diri saja. Sebagai penguasa formal, tentu saja harus mendiamkan upaya-upaya Hinduisme. Ini menunjukkan kepiawaian politik mereka, di samping kelihaian kaum muslimin yang merupakan minoritas di zaman Hayam Wuruk untuk memainkan kartu kesejarahan mereka. Manakah yang benar antara dua penafsiran di atas. Wallahu ‘a’lam bi ash-shawab, hanya Allah-lah yang mengetahui segala tentang sesuatu hal.