Membaca Sejarah Lama (9)

Sumber foto: https://daerah.sindonews.com/read/1211393/174/sejarah-kesultanan-banten-asal-usul-masa-kejayaan-keruntuhan-dan-peninggalan-1695784155/10

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kerajaan Banten lama merupakan lahan menarik bagi sebuah kajian mendalam. Di satu sisi, Banten telah memiliki Dubes di Eropa Barat (Inggris) pada abad ke-17. Ia benar-benar menjadi pusat perdagangan Internasional. Ini tentu hanya dapat terjadi jika ia memiliki Angkatan Laut yang kuat–setelah hancurnya Angkatan Laut China, sebagai akibat dibakarnya kapal-kapal angkatan laut mereka di pantai-pantai daratan China dalam abad ke-16 sampai dengan 17 Masehi, segera kekosongan itu diisi oleh pelaut-pelaut Eropa dalam abad ke-10 Masehi. Perkecualiannya adalah Banten, yang melakukan internasionalisasi atas pelabuhan-pelabuhannya. Sahbandar pelabuhan Banten lama adalah seorang China, yang menunjukkan adanya internasionalisasi tersebut.

Bahkan, internasionalisasi itu juga terjadi di bidang-bidang lain. Di bidang militer, umpamanya, pangeran Muhammad ditugaskan di pantai utara Banten selama bertahun-tahun dan meninggal di daerah tersebut. Ini menunjukkan adanya kerja sama yang erat dengan pihak Samudra Pasai, di Aceh. Diskripsi Serat Centini-karangan Ronggo Warsito, tentang pesantren di Gunung Karang, di pantai barat Banten, juga menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan berbagai kawasan bangsa-bangsa muslim pada waktu itu. Mengingat 14 macam subjek kajian-kajian Islam dari Imam Abdurrahman as-Sayuthi, yang termuat dalam buku beliau Itmam ad-Dirayah yang ditulis pada abad ke-16 M, masih dipakai di pesantren-pesantren dan perguruan-perguruan tinggi kita dewasa ini, jelas bahwa hubungan Banten dengan pusat-pusat dunia Islam sangatlah baik.

Jelaslah dengan demikian bahwa Banten berhasil menjaga keanekaragaman budaya di kawasan tersebut, dengan tetap mempertahankan keutuhan kerajaan. Ini terbukti dengan tetap terjaganya kawasan budaya kaum Badui asli di Banten Tengah dan Selatan. Yang jelas berbeda dari budaya kaum santri di kawasan lain. Bukti lain dari keragaman budaya dan agama terlihat di pulau Panaitan. Pulau yang terletak di lautan Hindia– di sebelah barat daya Ujung Kulon itu, jelas menunjukkan terpeliharanya warisan budaya kaum pra-Islam.

***

Situasi yang demikian kreatif itu, kemudian dirusak oleh kekuatan ekstenal dan internal Banten sendiri. Secara eksternal, blokade laut yang dilakukan pihak Belanda, membawa akibat sangat luas, terhentinya proses internasionalisasi Banten. Keengganan pihak Mataram untuk mengadakan kerja sama laut dengan Banten, karena Sultan Agung lebih mengutamakan bentuk sistem agraris, hingga membuat Banten akhirnya meninggalkan lautan. Jadilah Banten sebuah kesultanan yang berorientasi pada pertanian dan melupakan kekuatan utamanya, yakni laut. Dengan begitu, Belanda dengan mudah me ngirimkan kekuatan pasukan darat dari Batavia yang hanya 100 km jauhnya.

Tak heran, jika Gubernur Herman Willem Daendels dengan mudah membangun jalan raya antara Anyer di Banten dan Banyuwangi di Jawa Timur. Dengan cara demikian, mudahlah bagi pihak Belanda untuk memupus perlawanan. Modernisasi dalam bentuk transportasi dan komuniksi yang maju ternyata hanya menguntungkan pihak Belanda dan merugikan pihak Banten.

Apalagi setelah dirasakan kebutuhan akan sebuah hubungan dengan pulau Sumatra, dengan membuka pelabuhan Merak, kebutuhan untuk mengamankan jalur tersebut dari gangguan para pejuang Banten, maka tekanan pemeliharaan jalur transportasi di Banten utara menjadi semakin besar. Akibatnya sangat jelas, yakni dalam bentuk dihancurkannya kekuatan politik Banten lama dan diserapnya struktur yang ada oleh kaum penjajah.

***

Hal itu, menjadi semakin diperparah oleh dua buah perkembangan intern Banten sendiri. Di satu pihak, pertentangan kaum birokrat Banten lama antara kelompok Nayaka dan kelompok Sentana dibiarkan berlarut-larut satu sama lain dibiarkan sama-sama menghancurkan lawan politik dengan mengambil muka kaum penjajah. Kombinasi antara kekuatan raja yang semakin melemah dan birokrasi yang semakin lama dimanipulir oleh pihak penjajah, berakhir pada ketergantungan semakin besar kepada pihak asing itu. Melemahnya kekuatan negeri itu, berarti pula semakin kuatnya kelompok-kelompok masyarakat, yang semakin memperlemah kekuatan pemerintahan yang asli. Sebaliknya, kekuatan rakyat itu tidak cukup besar untuk mematahkan kekuatan asing. Hal ini, tampak dalam hasil pemberontakan Cilegon yang dipimpin oleh KH. Wasik pada abad ke 19 M, dan pemberontakan “komunis” yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dalam tahun 1926. Dengan mudah pihak Belanda mematahkan kedua pemberontakan tersebut.

Dikombinasikan dengan ajakan-salah (wrong suggestion) dari kaum tarekat di Caringin, Labuhan. Akibatnya, terasa sangat fatal bagi orang Banten, sebagaimana umumnya kaum tarekat di Indonesia, Caringin menafsirkan ajaran qana’ah sebagai doktrin kepasrahan tanpa usaha sama sekali. Padahal, sebenarnya doktrin itu mengacu pada ajakan berusaha sekuat mungkin untuk melakukan sesuatu dan jika gagal untuk menyerahkannya kepada Allah.

Ini akan menghindarkan kita dari kegelisahan (walag, anxiety), manakala kita menghadapi kegagalan. Kombinasi antara kekuatan rakyat semakin lemah, dan penerapan salah doktrin di atas, akhirnya membuat Banten semakin tak berdaya di hadapan kaum penjajah. Ini berbeda, misalnya dengan Dinasti Mataram yang bernasib sedikit lebih baik. Beberapa lebih baik hal yang menjadi wewenang keraton Mataram menunjukkan dengan jelas adanya kemampuan bertahan dari kesultanan Banten.

Dengan menjadi propinsi sendiri, timbul pertanyaan penting; akan ke manakah Banten? Industrialisasi di Cilegon membawa anak-anak suku bangsa ke daerah tersebut untuk bekerja di berbagai sektor industri. Tetapi, orang-orang kelahiran Cilegon sendiri, banyak yang menjadi penggali pasir di Jakarta, adilkah ini? Kita belum tahu lagi apa yang terjadi dengan daerah Tangerang. Akankah bernasib sama seperti Cilegon? Ini berarti, keharusan bagi daerah untuk lebih memacu peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang ada, juga dengan memperhatikan bidang-bidang teknik penting di luar kepamong-prajaan.

Dibukanya kereta peluru ajaib (Sinkancen) dari Banyuwangi ke Merak melalui pantai selatan dan pelabuhan kelas dunia oleh Li Kashing dan Hut Chinsen di Bojonegara, Tangerang, jelas menunjukkan akan diversifikasi SDM di Banten, di masa depan. Dikombinasikan dengan pentingnya keragaman budaya, maka sistem politik di Banten perlu memperoleh perbaikan sangat besar. Sanggupkah Banten melaksanakan hal itu?