NU: Di mana Kesetiaanmu?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Begitu pemilihan Gubernur Jawa Timur diumumkan hasilnya, segera beberapa orang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) mengutus para pengikut mereka untuk berdemonstrasi ke kantor Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur, menuntut pengunduran diri Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Jatim. Dalam demonstrasi itu mereka menyatakan kemarahan atas kegagalan PKB dalam pemilihan Gubernur Jatim tanggal 17 Juli 2003 lalu. Dalam hal ini, tidak dilihat apa sebab-sebab sampai terjadi hasil seperti itu. Dua hal sangat mencolok segera tampak di permukaan fraksi PDI-Perjuangan (PDI-P) dalam DPRD Jatim, ternyata mengalami intimidasi di satu pihak, sedangkan di pihak lain cukup banyak anggota fraksi PKB yang “membelot”. Sebagian karena mengikuti sejumlah tokoh yang sudah termakan money politic, sebagian lagi karena merasa tidak akan bisa menjadi calon lagi dalam pemilu yang akan datang. 

Demonstrasi yang terjadi itu segera berakhir dalam tiga hari saja, setelah penulis jelaskan bahwa kebijakan yang diambil dalam menjadikan Abdullah Kahfi sebagai calon Gubernur Jatim adalah kebijakan pribadi penulis, bukannya kebijakan Ketua Dewan Tanfidz DPW PKB Jatim. Karena itu, jika pilihan atas diri A. Kahfi itu dianggap salah, maka kesalahannya harus ditimpakan kepada diri penulis, bukannya kepada siapa pun. Kenyataan ini, secara licik dipergunakan oleh para kiai –yang berjumlah sangat kecil itu- untuk mengubah garis pokok kebijakan PKB dalam soal pemilihan kepala daerah (pilkada). Kebijakan itu berintikan: Pertama, mereka yang belum pernah menjabat sebagai pejabat eksekutif tidak dapat dicalonkan oleh PKB menjadi orang pertama. Kedua, calon PKB harus lurus dan bersih –tidak menggunakan tekanan-tekanan politik maupun janji uang-. Sebagai aturan tambahan, DPW harus mengusulkan dua paket calon atau lebih yang akan dipilih DPP PKB. Dengan demikian, dapat dihindari adanya pemaksaan kehendak (fait accompli), hingga diharapkan pilkada dapat bersih dari pengaruh uang dan intimidasi.

Prinsip ini bertabrakan dengan berbagai kepentingan; termasuk tokoh-tokoh NU yang kalah bersaing dalam menduduki jabatan dalam PKB. Padahal mereka masih berjiwa politik lama, yaitu memperebutkan jabatan pemerintahan melalui fungsi-fungsi intern PKB. Demikian juga, masih ada tokoh-tokoh PKB yang hanya mementingkan diri sendiri, bukannya kepentingan umum. Padahal fiqh/hukum Islam menyatakan bahwa “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin itu” (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuutun bi al-maslahah). Inilah yang menjadi landasan kebijakan PKB dan inilah yang dipertahankan penulis selaku Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB. Tapi ternyata inilah yang ditanggapi secara reaktif oleh para pemimpin PKB sendiri maupun para pemimpin NU.

*****

Di sini, kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: apakah yang harus diperbuat untuk menegakkan kebersihan dan kejujuran seperti yang dimaksudkan? Juga, sebuah pertanyaan lain: dapatkah demokrasi tegak dengan ketimpangan-ketimpangan administratif seperti KKN, mark-up ongkos-ongkos pemerintahan, dan memaksakan seseorang untuk menduduki kursi dalam pemerintahan walaupun ia tidak tepat untuk itu? Banyak sekali contoh-contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini, termasuk para “pemimpin” PKB yang tidak berhak untuk itu. Dalam hal ini, kita harus berkeras hati untuk melawan kecenderungan yang masih mementingkan kebutuhan jangka pendek yang berakibat kerugian jangka panjang. Untuk memerangi kecenderungan tersebut, memang diperlukan keberanian moral untuk menegakkan “keharusan” dan “kebenaran” organisasi. Ini adalah hal yang sangat berat, tapi harus dilaksanakan.

Karena itu, sangat relevan untuk mempertanyakan di manakah letak kesetiaan para pemimpin PKB dan NU. Pada rakyatkah atau pada kepentingan diri sendiri yang sering dikemukakan sebagai kepentingan organisasi? Karenanya, harus jelas bahwa panutan kita hanyalah kepentingan rakyat banyak (al-Maslahah al-‘Ammah) walau sulit dirumuskan. Apabila ketentuan ini dapat ditegakkan, maka pantaslah jika PKB dinyatakan sebagai “pemimpin proses demokratisasi”. Sekarang ini, kelihatannya partai tersebut sedang menuju ke arah itu, karena dalam beberapa hal pendirian dan sikapnya mencerminkan kepentingan rakyat banyak, bukannya sekedar kepentingan pribadi ataupun golongan. Arah ini harus diteruskan, jika diinginkan demokratisasi akan benar-benar terwujud di negeri kita pada masa depan.

Salah satu wajah dari peranan memimpin proses demokratisasi itu, adalah keberanian moral untuk memperjuangkan kepentingan orang banyak itu. Memang, di lingkungan PKB hal itu dapat ditegakkan dengan “sikap keras” penulis selaku ketua umum dewan syura DPP PKB, sikap yang dipertahankan penulis, kalau perlu dalam pertentangan dengan keluarga sendiri, atau dengan golongan-golongan tertentu yang hanya memikirkan kepentingannya saja dalam pencalonan kepala daerah. Kalau peran obyektif seperti itu sudah sulit sekali dijalankan dalam PKB, dapat dimengerti bagaimana jika halnya menyangkut NU yang tidak memiliki hubungan organisatoris sama sekali dengan PKB. Karenanya, menjadi penting untuk mengetahui di mana kesetiaan NU? Pada kepentingan golongan atau pemimpin secara pribadi, ataukah pada kepentingan orang banyak yang dirumuskan secara jujur?

*****

Sebagaimana diketahui, PKB lahir dari NU, dimulai dengan perintah Syuriah PBNU kepada penulis selaku ketua umum Tanfidziyah (Dewan Pelaksana). Semuanya itu didokumentasikan dengan baik oleh salah seorang Wakil Khatib ‘Aam: wakil sekretaris umum Syuriyyah PBNU. Sumbangan pemikiran seorang tokoh NU ditolak, karena ternyata yang diajukan adalah konsep sebuah partai Islam. Sedangkan yang dikehendaki PBNU adalah sebuah partai yang menggabungkan asas kebangsaan dan keagamaan. Karena itulah, penulis lalu membangun PKB berdasar asas tersebut.

Kenyataan di atas turut membantu tegaknya wibawa pimpinan PKB dalam menerapkan asas kejujuran dan kemampuan bekerja dalam mencari calon-calon PKB untuk pilkada. Memang banyak hambatan dan rintangan dari sebagian pimpinan PKB sendiri (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota madya). Namun, dengan susah payah proses tersebut dapat dijaga untuk tidak terkontaminasi (tertular) dari partai-partai politik yang ada maupun pimpinan daerah yang sedang bercokol. Dengan melihat kepada kualitas calon-calon pemimpin daerah yang diajukan PKB, menang ataupun kalah berhadapan dengan calon-calon pihak lain, rakyat akan merasa tentram dengan calon-calon tersebut, dan mendukung PKB dalam pemilu legislatif dan pemilu kepresidenan dalam tahun 2004 yang akan datang.

Yang menjadi persoalan sekarang adalah sebagian pimpinan NU, baik di daerah maupun yang di pusat, yang ingin menjadi calon kepala daerah atau wakilnya melalui PKB. Stigma yang selalu ditiupkan, jika menolak mereka itu disamakan dengan penolakan pada NU, walaupun sebenarnya tidak demikian. Karenanya penulis sebagai pimpinan PKB harus mengukuhkan sikap tersebut, walau dihadapkan pada demikian banyak tentangan dari kalangan NU. Termasuk dari kalangan sejumlah tokoh dalam PKB ataupun NU yang mengalami “penggusuran kepentingan” dalam proses pilkada yang sangat rumit. Karena itu sekali lagi, menjadi penting untuk mengetahui di manakah letak kesetiaan pimpinan NU, kepentingan orang banyakkah atau kepentingan golongan/pribadi -yang disamarkan sebagai kepentingan umum-? Ini menunjukkan, betapa sulit melaksanakan proses demokratisasi di negeri ini. Mudah dikatakan namun sulit dipraktikkan, bukan?