NU, PKB, dan Pemilu 2004

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam haul (peringatan kematian) KH. M. Bisri Syansuri di Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang, penulis menunggu ucapan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Hasyim Muzadi, bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) didirikan atas perintah PBNU. Ucapan itu tak kunjung keluar, yang diucapkan hanyalah bahwa Nahdlatul Ulama (NU) tidak ada hubungan sama sekali dengan partai politik mana pun. Ini tentu termasuk PKB, yang didirikan PBNU dalam tahun 1998. Ternyata, setelah penulis menyatakan hal itu dalam beberapa kesempatan di muka umum, Ketua Umum PBNU itu menjawab baru-baru ini di hadapan pertemuan para ulama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jawa Tengah, bahwa walaupun NU yang melahirkan PKB, hubungan tetap tidak ada. Di sinilah terletak perbedaan antara penulis dengan Ketua Umum PBNU itu. Penulis menganggap hubungan organisatoris antarkeduanya memang tidak ada, tetapi hubungan lain tetap ada. Dan, itu adalah sesuatu yang wajar.

Mengapakah Ketua Umum PBNU itu mengeluarkan pendapat tersebut, yang berarti ada yang disembunyikan dari mata publik dan dapat mengganggu jalannya pencalonan tokoh-tokoh NU oleh PKB -dengan alokasi peserta cukup tinggi bagi tokoh-tokoh NU- dalam pemilu legislatif yang akan datang? Secara objektif, tidak ada kesimpulan lain di luar kenyataan bahwa Ketua Umum PBNU itu tidak ambil pusing dengan “nasib politik” tokoh-tokoh tersebut. Kesimpulan lain adalah, bahwa Ketua Umum PBNU itu hanya memikirkan nasib politiknya belaka; menjadi calon presiden ataukah tidak dalam pemilu 2004. Tentu saja dengan catatan kalau diajak oleh dari berbagai partai politik peserta pemilu presiden yang akan datang. Ini berarti bahwa ia sendiri boleh dikata sudah tertutup kemungkinan untuk menjadi calon presiden, yang mungkin adalah calon wakil presiden. Kenyataan seperti inilah yang harus diperhitungkan secara teliti, kalau memang benar-benar terjadi dalam pemilu yang akan datang. 

Ini berarti, ia tidak memiliki visi yang jelas mengenai ke mana akan ia arahkan kehidupan bangsa ini, jika menang dalam pemilu. Dengan kata lain, ia hanya berpikir bagaimana merebut kekuasaan, tetapi tidak bagaimana ia menggunakannya dalam kehidupan bangsa ini di masa depan. Sama saja dengan calon-calon lain dalam “persaingan” memperebutkan kekuasaan itu. Sangatlah menyedihkan jika ini yang terjadi, sehingga benarlah ucapan seorang pengamat seperti yang dimuat dalam salah satu penerbitan majalah Gatra: bangsa ini tidak punya pemimpin (formal), yang ada hanyalah penguasa. Mereka bermimpi tentang bagaimana berkuasa, tetapi tidak bagaimana dan untuk apa kekuasaan digunakan apabila telah ada “di tangan”. Berkuasa sekedar berkuasa, bukan berkuasa untuk mencapai sasaran tertentu. Tentulah “mental pelarian” seperti ini yang harus dijauhkan dari para penguasa kita, kalau kita tidak menginginkan keadaan bangsa ini semakin memburuk.

*****

Dalam keadaan begini, penulis teringat ucapan pendiri Partai Komunis Uni Soviet, Vladimir Illich Lenin. Dalam sebuah pamfletnya “What’s To Be Done” ia menegaskan bahwa jika ada kekuatan politik yang mendukung dan mewujudkan cita-cita itu, maka partai komunislah yang berfungsi seperti itu. Ini tentu saja sesuai dengan bunyi ucapan Nabi saw, “Tak ada agama tanpa adanya kelompok, tidak ada kelompok tanpa adanya pimpinan, tidak ada pimpinan tanpa adanya pemimpin” (La diina illa bi jama’atin, wa la jama’ata illa bi imamatin, wa la imamate illa bi imamin). Bahwa kedua ungkapan itu memiliki asal-usul saling berbeda, yaitu yang satu memiliki asal-usul spiritualistik dan yang lain materialistik, tidaklah perlu dipersoalkan. Yang terpenting adalah keduanya berbicara tentang sebuah proses politik, yang tentunya mempunyai tujuan yang jelas bagi kepentingan rakyat banyak, bukannya segelintir orang saja.

Demikian pula ungkapan Mao Zedong, salah seorang pendiri Partai Komunis Tiongkok, “kekuasaan lahir dari laras senapan”, tentunya harus dibaca untuk apa kekuasaan dicapai? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat penting, terlepas dari materialistik atau spiritualistiknya asal-usul kekuasaan tersebut. Di sinilah letak penting ungkapan dari khazanah/compendium hukum Islam (fikih): “Kebijaksanaan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin” (Tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah). Jadi jelas bagi kita, kekuasaan tanpa visi yang terbuka dan dirumuskan secara hati-hati, adalah bahaya yang timbul dari sikap tidak bertanggung jawab dan “haus kekuasaan”. Di sinilah terletak arti penting dari rumusan fikih itu akan “kepentingan bersama” (al-maslahah al-‘ammah) sebagai sebuah kategori yang menunjukkan kualitas kepemimpinan.

Dengan demikian, sebuah kepemimpinan yang baik tentu akan berguna bagi masyarakat, yang terkadang jauh melebihi arti atau ruang waktu yang awal mulanya dimaksudkan. Banyak contoh dapat diambil, seperti keputusan Raja Dinasti Mamalik dalam “menyemangatkan” kaum muslimin untuk menghadapi tentara Eropa dalam apa yang kemudian disebut Perang Salib (crusade). Sultan Shalahu ad-Dien al-Ayyubi, juga terkenal dengan sebutan Saladin The Saracen (Saladin si Arab), ketika menghadapi Charlemagne dari Prancis dan Richard The Lion Heart (Richard berhati singa dari Inggris), menetapkan peringatan yang dinamainya Maulid Nabi Muhammad SAW. Segera peringatan itu menyebar ke seluruh dunia Islam, dan 7 atau 8 abad kemudian sudah menjadi salah satu perayaan besar, dan tidak ada hubungannya lagi dengan apa yang semula menjadi sebab/musabab yang menimbulkan/mendorongnya.

*****

Dalam abad ke 19 Masehi, Presiden Amerika Serikat (AS) Jackson secara berani mengangkat seorang Gubernur Bank Sentral Negara tersebut, American Federal Reserve System yang seharusnya melalui pencalonan lewat Congress, lembaga legislatif yang harus menyetujui atau menolak calon yang diajukan presiden. Segera saja hal itu kemudian menjadi isu pertentangan terbuka antara Presiden Jackson dengan Congress. Jackson dituduh oleh pers AS,-atas pembiayaan dan fasilitas para kapitalis dan industrialis negeri tersebut –pada waktu itu, sebagai penipu, peminum, pemabuk dan sering “mengorbankan” wanita (womanizing). Sebagai akibat, ia dikalahkan dalam pemilihan umum berikut, dan hanya menjadi presiden untuk satu periode selama empat tahun belaka. Baru 130 tahun kemudian, seorang sejarawan AS bernama Arthur M. Schlesinger Jr. memulihkan nama baik Jackson melalui sebuah disertasi, yang berjudul The Age of Jackson.

Dari kejadian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada kepemimpinan baik yang semula tidak memperoleh “liputan pers” yang menyenangkan. Dengan kata lain, kepemimpinan yang baik tidak selamanya dapat memuaskan berbagai pihak yang menguasai dunia pers di sebuah negara pada suatu waktu tertentu. Ini adalah resiko kepemimpinan yang menunjukkan perlunya ada keberanian moral sang pemimpin untuk merintis sebuah usaha. Terkadang pendapatnya itu ditentang orang banyak, terkadang juga tidak segera memperoleh penerimaan. Sama halnya dengan yang dialami alm. Bung Hatta. Gagasannya tentang kehidupan bangsa dengan para pemimpin yang demokratis, cukup lama tidak didengar orang. Sekarang pun orang berbicara tentang demokrasi tanpa ingat kepada rintisan beliau itu. Cukup lama kita mengabaikan pendapatnya itu, yaitu sejak era Demokrasi Terpimpin, era pemerintah Orde Baru dan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Dalam menghadapi Pemilu 2004, NU dan PKB berada dalam posisi yang berlainan. PKB sebagai sebuah partai politik jelas harus mempunyai seorang calon presiden dan wakil presiden, sedangkan NU tidaklah harus demikian. Namun, karena NU terlalu lama menjadi partai politik (1952–1984) dan bagian penting dari sebuah parpol –PPP dari akhir 1984 hingga 1998-, dapat dimengerti jika tokoh-tokoh NU banyak yang masih memiliki ambisi politik pribadi. Termasuk KH. Hasyim Muzadi yang kemungkinan besar bersedia menjadi calon wakil presiden, jika diminta mendampingi seorang calon presiden dari parpol-parpol tertentu. NU yang seharusnya hanya berfungsi inspirasional saja dalam kehidupan politik kita, masih harus menunda hal itu untuk beberapa lama. Ternyata memang proses demokratisasi di negeri kita berjalan cukup alot dan membutuhkan kesabaran, bukan?