NU-PKB Harus Bersikap Apa?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Setelah selesai pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama, apakah yang harus dilakukan segera oleh NU-PKB dalam putaran kedua yang akan berlangsung tanggal 20 September nanti? Pertanyaan ini adalah sesuatu yang wajar-wajar belaka, mengapa? Karena pasangan calon Wiranto-Shalahudin Wahid telah tersisihkan, tinggal pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi yang harus dipilih dalam putaran kedua nanti. Bahwa ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilu putaran pertama itu, dan manipulasi penghitungan suara untuk kepentingan kedua pasangan calon di atas, adalah sesuatu yang tidak menjadi ‘urusan’ para pemilih dari NU-PKB. Jadi jangankan persoalan yang itu, sedangkan “penyingkiran” penulis dari pencalonan untuk putaran pertama itu saja, jelas tidak dapat mereka cegah.

Walaupun dalam putaran pertama itu telah memperlihatkan siapa yang menjadi favorit mereka, yaitu dengan (memberikan) suara sekitar 30% kepada pihak-pihak golongan putih, yang dalam kenyataan berjumlah 38% suara, perolehan suara 22% lebih untuk pasangan calon Wiranto-Shalahudin Wahid, dan sekitar 10% suara (diberikan warga NU-PKB) kepada pasangan calon SBY-Kalla, dengan menolak perintah DPP PKB untuk memilih pasangan calon Wiranto-Shalahudin Wahid (karena alasan-alasan mereka sendiri). Kalau di jumlahkan, suara-suara tersebut akan menjadi 62% yang menunjukkan besarnya jumlah suara yang diberikan warga NU-PKB dalam putaran tersebut. Inilah tragedi yang sebenarnya, yaitu kecurangan Komisi Pemilihan Umum.

Ketika berada di Pondok Pesantren Cipasung (Singaparna, Tasikmalaya) untuk menghadiri pertemuan para Mustasyar (penasehat) PBNU dan menyampaikan laporan lisan kepada mereka, penulis menerima telepon dari Jakarta bahwa ada ledakan 2 buah bom di Kota Bandung. Sebelum itu, penulis menerima “berita dari langit” bahwa akan ada ledakan susulan di sebuah kota. Segera setelah penulis kembali ke Jakarta, ada ledakan bom lagi (yang kemudian ternyata hanyalah ledakan mercon/petasan) di salah sebuah kamar kecil di lantai 1 gedung kantor Komisi Pemilihan Umum. Penulis yakin kedua macam ledakan itu tentu adalah akibat dari hasil pemilu putaran pertama, yang diumumkan KPU. Ledakan pertama di Bandung adalah sebagai ‘protes’ atas kecurangan KPU. Sedangkan ledakan kedua, adalah ‘upaya’ untuk mengalihkan perhatian oleh pihak kepolisian atau pihak KPU sendiri. Mengapa harus ada tindakan semacam itu? Dalam sebuah konferensi pers, penulis menyatakan KPU ‘perlu’ mengalihkan perhatian khalayak dari kecurangan, manipulasi dan pemihakan yang dilakukannya. Sedangkan pihak Polri melanggar undang-undang dengan memihak salah sebuah pasangan calon dalam pemilu putaran pertama itu.

Segera setelah keterangan pers penulis itu, ada bantahan dari masing-masing pihak, yaitu Polri maupun KPU. Tetapi masyarakat tidak percaya kepada mereka, karena sudah terlalu sering berbohong/berdusta kepada khalayak. Dalam beberapa hari saja, dua stasiun radio berita di Jakarta, melalui dialog interaktif yang mereka siarkan, menerima begitu banyak telepon dari para pendengar, yang membenarkan keterangan penulis itu. Bahkan seorang pendengar Radio Elshinta menyatakan bahwa penulis bukannya 100% benar dalam hal ini, melainkan 200%. Bukankah dengan demikian “kebohongan publik” yang dilakukan kedua lembaga tersebut, lalu menjadi sesuatu yang sangat besar artinya bagi kehidupan kita bersama di masa-masa yang akan datang? Setelah itu baru dilakukan keterangan-keterangan untuk “meluruskan” keadaan. Hal itu baru dilakukan sekarang, karena baru dewasa inilah muncul “reaksi sehat” dari masyarakat.

Di sinilah terletak kepentingan arti “kepemimpinan yang sehat”, yang hanya dapat muncul apabila tujuan akhirnya adalah kepentingan umum, bukan ambisi politik pribadi. Dalam hal ini, baru terasa oleh kita, kebenaran ucapan Nabi Muhammad SAW, “Tak ada agama tanpa kelompok, tak ada kelompok tanpa kepemimpinan, tak ada kepemimpinan tanpa seorang pemimpin” (La diina illa bi jama’atin wa la jama’ata illa bi imamatin wa la imamata illa bi imaamin). Dalam hal ini, penulis meyakini bahwa di belakangnya ada kelompok yang akan mendukungnya minimal untuk ‘menuntut’ kebersihan aparat negara kita dari segala macam kebohongan publik yang dilakukan oleh berbagai alat-alat negara kita. Keyakinan kita bisa salah dan jika itu terjadi, maka penulis akan diserang oleh berbagai pernyataan dari masyarakat sendiri. Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Dalam hal ini, pengamatan penulis dibenarkan oleh keadaan, dan sesuatu yang sangat besar akan terjadi dengan sendirinya tanpa ada perencanaan sama sekali. Sesuatu yang sangat penting lalu terjadi: masyarakat tahu bahwa serangkaian kebohongan publik telah dilakukan oleh lembaga-lembaga kenegaraan yang bertanggung jawab atas jalannya pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden-wakil presiden. Dengan kata lain, pemilu kita tahun ini, telah terbukti sia-sia belaka, walaupun telah dikeluarkan biaya sangat besar untuk itu. Sebab sebenarnya sesungguhnya kecil saja, yaitu “kebodohan” para penyelenggaraannya untuk mempertahankan status quo dan mencoba menghentikan proses demokratisasi di negeri ini. Hal ini dahulu juga dilakukan beberapa kali, yaitu pada masa penjajahan atas keinginan kita sebagai bangsa untuk berdaulat sebagai bangsa atas diri sendiri.

Pandangan inilah yang seharusnya menjadi sikap NU-PKB. Penulis telah melihat sejak lama, bahwa keinginan seperti itu telah ada secara potensial dalam kehidupan bangsa kita saat ini. Tentu saja istilah “bangsa ini” penulis gunakan untuk hampir seluruh warga NU-PKB. Hanya sayangnya, justru pimpinan formal NU-PKB di berbagai tingkatan tidak memiliki keberanian untuk sekedar hanya menyampaikan dukungan moral kepada penulis. Sikap pasif seperti itu, tentunya disebabkan oleh berbagai sebab, termasuk ambisi politik pribadi yang mereka miliki. Inilah ironi yang berkembang di kalangan mereka, jika nanti penulis “berhasil” mereka akan turut menikmatinya; jika gagal mereka akan bersikap tidak bersalah.

Penulis hanya dapat menghela nafas menyaksikan para pemimpin formal itu bertingkah laku seperti itu, yang tidak lain adalah sikap yang pada umumnya dilakukan anak-anak. Namun, mereka juga adalah korban dari sistem politik yang berkembang yang digunakan dalam kehidupan kita selama ini. Penulis tidak lain hanya dapat bekerja dengan apa yang ada, bukannya dengan teman-teman ‘ideal’. Namun penulis tetap melakukan hal itu karena yakin akan adanya 2 hal: pertama, kebutuhan bangsa saat ini termasuk para warga NU-PKB, akan demokrasi yang menjadi persyaratan bagi pemerintahan yang bersih. Kedua, karena penulis meyakini “kebenaran” yang diperjuangkannya sebagai bagian dan tujuan hidupnya yaitu memuliakan nama Allah yang luhur (Li i’llaai kalimati Allah hiya al-‘ulya). Dengan “kekayaan rohani” seperti itu, NU-PKB haruslah berjuang untuk demokrasi. Mudah dikatakan, namun sangat sulit untuk dilaksanakan, bukan?