Kata Pengantar: Orientasi Adalah Bagian dari Ideologi

Sumber Foto: https://www.ayosurabaya.com/hot-news/pr-784400097/peristiwa-penting-september-salah-satunya-sejarah-kelam-g30s-pki

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pengantar ini hanya membicarakan Bab I dari buku tulisan dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati (selanjutnya, ditulis dr. Ribka, pen), berjudul “Aku Bangga Menjadi Anak PKI”. Ada dua alasan mengapa kata pengantar buku ini ditulis hanya mengenai bab I, dan tidak mencakup bab II dan bab III. Pertama, dalam pembahasan bab II dan III, tanpa membahas tindakan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Megawati Soekarnoputri dkk, adalah merupakan kekurangan yang sangat besar, bahkan — boleh dikatakan penggelapan sejarah. Kedua, memang keseluruhan isi buku ini diberi kata pengantar berkenaan dengan orientasi dari idiologi yang dibawakan oleh institusi/lembaga bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak cara untuk meninjau idiologi tersebut, tetapi buku ini hanya membicarakan orientasi partai tersebut. Pembicaraan tentang orientasi PKI ini menunjukkan pembelaannya terhadap kepentingan rakyat kecil, yang oleh Karl Marx dan Friederich Engels disebut kaum proletar. Tetapi, komunisme dapat dilihat dari berbagai sudut yang tidak seluruhnya sesuai dengan asas peri-kemanusiaan.

Ketika Mao Zedong mengalahkan Chiang Kai-Sek tahun 1949 dari Beijing, ia segera memerintahkan pengadilan rakyat atas kaum borjuis dengan korban dua belas juta jiwa manusia yang ditembak mati di seluruh daratan China. Gerakannya untuk melakukan revolusi besar kebudayaan proletar memakan belasan jiwa, semua itu dilakukan untuk kemurnian budaya kaum proletar. Bagaimana kita harus menjelaskan hal ini secara peri-kemanusiaan? Inilah yang membuat mengapa kata pengantar buku ini hanya dibatasi pada bab I belakang saja. Bahwa, penulis buku ini memiliki orientasi yang benar–hal itu tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, orientasi itu sangat jelas berjalan seiring dengan orientasi penulisnya, yaitu rasa perikemanusiaan yang tinggi.

Dalam hal ini, penulis buku ini memiliki orientasi bersamaan dengan apa yang dimiliki oleh penulis pengantar buku ini. Ayah penulis pengantar buku ini adalah seorang pejuang gerakan Islam yang militan, tapi memiliki orientasi peri-kemanusiaan yang tinggi Karenanya, ia selalu bersikap simpati kepada kepentingan rakyat kecil, sebagaimana ia dipahami dan dilihat sehari-hari. Kalau ayah dari dr. Ribka adalah seorang ningrat dengan kekayaan besar sebagai konglomerat waktu itu, orientasinya jelas berpihak kepada kepentingan rakyat. Ayah penulis pengantar buku ini — pun adalah seorang putra Kyai besar yang diistimewakan oleh para pengikutnya dalam segala hal, tetapi ia membela kepentingan rakyat banyak dan ia tidak menjadi aktivis partai Komunis, melainkan menjadi penggerak idiologi agama. Namun, ia menentang negara agama, karena hal itu akan membedakannya dari kedudukan warga negara non muslim. Sangatlah menarik untuk berspekulasi, bersediakah ayah dr. Ribka menerima gagasan DN. Aidit tentang sebuah negara komunis? Bisakah ia menjadi seorang Boris Pasternak yang kecewa pada komunis? Dapatkah ia menjadi seorang Milovan Djilas, yang menganggap para fungsionaris partai komunis Yugoslavia sebagai aparatchik penindas rakyat dan dengan demikian menjadi “kelas baru”?

***

Karena alasan di atas, penulis kata pengantar buku ini lebih mengutamakan aspek peri-kemanusiaan dari aspek-aspek yang lain Dari buku ini, tampak sekali generasi muda banyak yang memiliki orientasi kerakyatan dan mereka menyatakan berpegang pada sebuah idiologi. Sikap ini sekaligus mengungkapkan kelemahan dan kekuatan pendekatan orientatif yang mereka miliki. Kelemahannya, dengan tidak berpegang pada “sisi keras” idiologi seperti ini, tidak adaada satupun idiologi yang berhasil diterapkan secara menyeluruh di dalam kehidupan masyarakat bangsa kita. Dengan demikian, bangsa kita menjadi apa yang dikatakan Gunnar Myrdal sebagai “bangsa lunak” (soft nation). Kekuatannya, orientasi kerakyatan tersebut akan tetap menjadi panduan kita sebagai bangsa dan kita tidak akan pernah terpecah-pecah secara serius. Saudara dr. Ribka yang (anak seorang) komunis dan penulis kata pengantar buku ini yang Islamis dapat bergaul dengan mudah karena kami berdua penganut azas perikemanusiaan. Idiologi adalah perambah jalan bagi kita berdua.

Ketika penulis mendiktekan kata pengantar buku ini, ia baru saja mendapat pesan dari mantan Presiden Soeharto, diajak melepas Tommy Soeharto dari penjara Cipinang ketika dipindah ke penjara Sukamiskin. Walaupun Tommy Soeharto pernah mengeluarkan uang belasan milyar rupiah untuk melengserkan penulis kata pengantar buku ini dari kursi kepresidenan, dengan langsung ia menjawab bersedia. Bukankah Tommy Soeharto berada dalam kedudukan sebagai narapidana, dan mantan presiden Soeharto menunjukkan penghormatan yang besar pada kedaulatan hukum? Bahwa nama Soeharto, ataupun dirinya sekali, pernah digunakan untuk menindas orang lain bagi seseorang — seperti penulis kata pengantar buku ini, mengharuskannya menghormati mantan Presiden tersebut. Inilah konsekwensi terjauh dari sikap berperikemanusiaan yang dianut penulis kata pengantar buku ini.

Karena sikap seperti inilah, lalu penulis kata pengantar buku ini dihujat oleh sementara aktivis gerakan Islam yang disebut “muslim garis keras”, karena mengusulkan dicabutnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No. 25 tahun 1966, yang melarang penyebaran Marxisme-Leninisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai sesuatu yang tidak demokratis. Sikap menolak Tap MPRS tersebut, bukan karena penulis kata pengantar buku ini adalah bukan komunis, tetapi karena rasa perikemanusiaan yang dimilikinya. Dalam bahasa komunisme sikap ini membuat penulis kata pengantar buku ini sebagai “sesama pejalan” (fellow traveller), karena rasa peri-kemanusiaannya yang tinggi.

Memang, sikap seperti ini sering dianggap sebagai sesuatu yang bersifat tanggung-tanggung, dan tidak akan pernah menghasilkan negara yang benar-benar komunis, nasionalis ataupun Islam. Tapi, bukankah ini jauh lebih baik dari pembantaian dan penjagalan manusia secara besar-besaran, seperti yang terjadi di tempat-tempat lain? Dalam sejarah umat manusia, hal ini sering kita jumpai — misalnya, Akhnaton dalam sejarah Mesir kuno, Gramsci di lingkungan kaum komunis pada tahun-tahun 1927 ataupun Alexander Dubcek dari partai komunis Cekoslovakia pada tahun-tahun 1960-an, adalah contoh dari sikap ini. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang memimpin Angkatan Perang kita dari tahun 1945 hingga 1949, adalah contoh yang sangat baik pula dalam hal ini.

***

Kalau mengingat hal ini, maka kita harus bersyukur memiliki ribuan orang pencipta idiologi yang memiliki rasa peri-kemanusiaan yang tinggi. Ini yang menerangkan mengapa dr. Ribka – yang berasal dari keluarga ningrat dan golongan borjuis menjadi anggota PKI Ini juga yang menerangkan mengapa Megawati Soekarnoputri yang berasal dari keluarga rakyat kemudian mengikuti aspirasi borjuis. yang ada. Intinya, karena dalam masyarakat kita sangat kecil jumlahnya orang-orang yang benar-benar memiliki idiologi seperti di negeri-negeri lain — seperti dikatakan diatas. Hal ini menjadi kelemahan dan sekaligus kekuatan kita sebagai bangsa. Dikatakan kekuatan, kalau rasa peri-kemanusiaan itu dapat diterjemahkan dalam usaha-usaha yang luas untuk mewujudkan prinsip peri-kemanusiaan. Kalau tidak, akan menjadi kelemahan yang dapat menggerogoti capaian-capaian yang diraih di masa lampau. Sumpah serapah dan maki-makian atas tidak idiologisnya perjuangan yang dilakukan, seperti yang dilakukan oleh kelompok Islam kanan yang berhaluan keras terhadap “perjuangan kaum tradisional” menggambarkan kenyataan yang sangat memilukan akan munculnya gerakan Islam dari kaum kanan dalam upaya idiologisasi yang mereka lakukan. Ini adalah sebuah kenyataan yang harus diterima sungguh-sungguh, apabila diinginkan upaya penyebaran Islam secara idiologis. Kalau tidak demikian, satu-satunya cara adalah perjuangan kultural. Pengingkaran atas kenyataan ini hanya akan menghasilkan sikap sok pahlawan, yang justru tidak mencerminkan sikap bangsa kita yang menginginkan salah satu dari pendekatan ini: pendekatan kultural, yang sama sekali tidak didasarkan pada upaya kemasyarakatan.