Pesantren dan Politik Masa Kini

Sumber Foto: Sumber Foto: https://www.nu.or.id/opini/wawasan-pesantren-tentang-politik-dan-demokrasi-IaWN4

Tulisan ini merupakan terjemahan dari tulisan yang berjudul: Pesantren and Current Indonesian Politics

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Situasi politik Indonesia dewasa ini bisa disimpulkan ke dalam sebuah kata: kalut. Persoalannya cukup ruwet, problem penggantian jabatan tertinggi negara (presiden) masih dipersulit lagi oleh problem-problem ekonomi yang peka. Pendapatan negara yang semakin berkurang menuntut dilakukannya pengencangan ikat pinggang, suatu langkah yang bakal mempengaruhi keseimbangan kekuatan di antara kelompok-kelompok interest. Tambahan lagi, usaha-usaha untuk memecahkan berbagai krisis ekonomi menuntut perubahan fundamental terhadap struktur ekonomi, sesuatu yang sulit diterima oleh mereka yang tengah menikmati monopoli ekonomi. Kesulitan dalam restrukturisasi ekonomi itu menunjuk kepada keharusan restrukturisasi politik, yang pada gilirannya akan menyebabkan destabilisasi situasi politik akibat adanya dinamika persaingan antara kelompok politisi birokrat dengan penguasa militer, di atas jangkauan kontrol alat negara.

Karena itu, mudahlah untuk meramalkan bakal terjadinya persaingan yang panas antara kedua kelompok itu dalam waktu yang tidak terlalu lama, meskipun masih sulit untuk menyebutkan bentuk konflik secara konkret. Akan tetapi bisa disebutkan di antara sekian keluhan yang saling dilontarkan. Kaum politisi birokrat mempersoalkan sikap aparat militer yang dinilainya tidak bisa dimengerti ketika dalam Pemilu terakhir gagal memberikan dukungan kepada Golkar dan malahan memberikan dukungannya kepada kelompok oposisi. Di pihak lain, kini penguasa militer dengan leluasa bisa memperingatkan — meskipun belum jelas terbukti — telah terjadinya penyusupan “kaum subversi kiri” dalam pendukung Golkar. Militer juga mengeluh tentang kecurangan Golkar yang telah menuntut semua jabatan kepala pemerintahan tingkat daerah yang secara tradisional adalah bagian dari kemapanan militer.

Semua perkembangan itu menunjukkan ketidak menentuan keadaan politik di Indonesia yang mengancam akan menimbulkan penyebaran konflik yang takterkendali di dalam jalannya roda pemerintahan sendiri. Presiden, sebagai pengambil keputusan tertinggi, telah dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang sulit, di mana masing-masing pilihan memiliki akibat-akibat negatif dan implikasi yang hebat.

Adalah wajar jika LSM berfikir bahwa situasi demikian memerlukan keterlibatan dirinya. Godaan untuk campur tangan dalam persoalan-persoalan negara dengan menyokong salah satu pihak adalah cukup besar. Daya tarik dari ide tersebut terletak pada penegasannya tentang komitmen-komitmen kepada demokrasi untuk mempercepat proses demokratisasi yang dengan susah payah telah mereka perjuangkan sejak lama. Tarikan yang kuat untuk serta di dalam pergumulan itu biasanya mengambil bentuk menawarkan konsep-konsep alternatif atau strategi-strategi untuk salah satu pihak atau lebih dari mereka yang memperebutkan kekuasaan.

Coba-coba seperti itu tentu saja naif. Pertama, kelompok-kelompok yang saling berebut akan mempergunakan teori-teori itu secara gampangan saja, yaitu sebagai senjata untuk saling mengkritik dan mengecam tanpa keinginan untuk memahami nilai dasar dari masing-masing teori yang dengan iktikad baik disumbangkan oleh para aktifis LSM. Di lain segi, mudah diduga bahwa tiap-tiap konsep atau strategi itu justru akan dibuang oleh pihak yang memenangkan pertarungan karena tidak mengerti secara persis implikasi- implikasi dari konsep itu sendiri.

Persaingan di kekuasaan tingkat tertinggi adalah sebuah perkembangan politik yang sulit dimanfaatkan untuk proses demokratisasi. Juga bukan substitusi dalam perjalanan panjang untuk melakukan penyadaran rakyat jelata. Dalam jangka panjang, manuver-manuver politik yang dilakukan oleh elit bangsa yang sedang bersaing tidak bisa menjamin kebebasan mengemukakan pendapat, kepastian hukum dan kesamaan derajat di muka hukum, beberapa segi yang merupakan sasaran dari usaha transformasi masyarakat dalam sebuah suasana berperan serta.

Pesantren, dengan mengingat pendekatannya yang terpotong-potong terhadap perubahan sosial, tentu saja merupakan mangsa yang empuk bagi kekuatan-kekuatan politik yang sedang berpengaruh sebagaimana yang telah diterangkan.

Tentu saja adalah wajar jika beberapa pesantren ikut serta dalam usaha keras untuk mengemukakan konsep-konsep alternatif atau strategi-strategi kepada kelompok-kelompok yang sedang bersaing. Mengharapkan yang lain memang tak mungkin. Akan tetapi masyarakat pesantren sendiri dan pihak-pihak yang bekerja sama dengan mereka dalam kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat seharusnya selalu ingat akan bahayanya melakukan usaha itu sejauh manuver-manuver tersebut akan membelokkan energi mereka dari sasaran-sasaran orisinil mereka sendiri. Orang hanya bisa berharap bahwa gaung dari pertimbangan ini cukup kuat terdengar di dunia pesantren untuk menahan diri dari godaan ke arah mencampuri politik nasional dengan cara yang begitu memotong arus.

Seyogyanya pesantren ingat bahwa peran politik harus dibedakan dari institusi politik. LSM bisa memainkan peran-peran politik penting yang tahan lama di dalam transformasi sosial tanpa ia sendiri harus menjadi institusi politik atau menjalin aliansi dengan institusi politik. Sebagaimana media massa dan perkumpulan-perkumpulan profesi, LSM akan segera kehilangan peran politik yang sesungguhnya, begitu mereka mulai memperkuat ambisi yang berbau institusi politik. Pesantren secara umum dianggap sebagai satu bagian dari tradisi LSM Indonesia, dan adalah lebih baik untuk bertahan pada tradisi itu dengan cara tidak terperosok ke dalam situasi yang berubah-ubah sebagaimana yang tengah berlangsung ketika tulisan ini dibuat.