Prinsip NU, Tiongkok Melaksanakan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sebelumnya penulis sampaikan Selamat Iedul Fitri 1424 H, maaf lahir dan batin kepada seluruh pembaca harian ini. Dalam kunjungannya ke Tiongkok baru-baru ini, penulis bertemu banyak orang dari berbagai lapisan. Dari pejabat pemerintah, aktivis PKT (Partai Komunis Tiongkok), pengusaha, dan kaum profesional seperti guru dan sebagainya, hingga pegawai usaha angkutan penerbangan di Guangzhou (dahulu disebut Nanking) yang terletak di delta Sungai Mutiara. Mereka semua menunjukkan prinsip yang sama: “penghargaan pada yang lama dan keberanian mengambil yang baru” (al muhatzatu a’la al qadimi al shalih wa al akhdzu bi al zadid al ashlah).

Prinsip itu tampak ketika penulis bertanya kepada istri yang mengunjungi mausoleum/ kuburan kaca Mao Zedong (Mao Tze Tung). Ia mengatakan tiap hari mausoleum itu dikunjungi oleh puluhan ribu rakyat Tiongkok. Fakta ini sejalan dengan ungkapan yang selalu penulis dengar dari rakyat Tiongkok, bahwa Mao telah membuat kita menjadi bangsa Tiongkok yang bersatu dalam sebuah negara, dan Deng Xiaoping (Teng Siauw Ping) yang membuat bangsa Tiongkok menjadi modern dan pragmatis. Di bawah Deng, Tiongkok melakukan reformasi besar-besaran dengan menyambut penanaman modal asing, “membuka“ Tiongkok dari kungkungan ideologis yang diterapkan sebelumnya. Kini bangsa Tiongkok aktif dalam perdagangan internasional, melakukan industrialisasi ringan dan menengah, dengan menggunakan produksi domestik kotor (Gross Domestic Product – GDP) sebagai ukuran meningkatnya kehidupan.

Dengan kata lain, bangsa Tionghoa tetap berideologi komunis namun pelaksanaannya menjadi sangat lentur atau longgar, seperti pepatah yang Deng katakan, “Saya tidak peduli apakah kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting kucing itu bisa menangkap tikus.”. Setiap bertemu pejabat Tiongkok, mulai dari Cia Ling Ying (orang keempat paling berkuasa di negeri itu, yang memiliki jabatan tertinggi di partai namun tidak menjadi pejabat pemerintah) hingga para gubernur dan walikota, semuanya menggunakan GDP sebagai ukuran keberhasilannya. Tidak heranlah kita, jika seluruh Tiongkok dibuatkan sarana dan prasarana oleh pemerintah dalam bentuk jalan raya, rel kereta api, lapangan terbang, pelabuhan, dan pelayanan telekomunikasi mutakhir, bahkan di kota kecil Xiamen ada fasilitas pengiriman berita melalui internet. Harga-harga di seluruh negeri hampir sama, itu mencerminkan sistem distribusi barang yang baik yang dilaksanakan dengan tuntas. Ini dapat terlaksana karena kedaulatan hukum sangat dihormati dan ditegakkan oleh aparat pemerintah hingga ke dusun-dusun.

Yang menarik ketika Zhu Rongji diangkat menjadi perdana menteri negeri itu. Ia mengatakan agar disediakan seratus peti mati. Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor yang akan dibasmi dengan hukum mati, sedangkan satunya adalah untuk saya jika saya korupsi. Tidak ada yang percaya bahwa korupsi telah terbasmi sampai ke akar-akarnya di negeri itu, namun jelas dengan sistem hukum yang ada sang perdana menteri telah melaksanakan itikadnya, dan secara berangsur-angsur menindak para koruptor dalam segenap lapisan pemerintahan.

*****

Pada awal tulisan ini, penulis mengatakan bahwa ‘prinsip NU lama’ justru dilaksanakan di Republik Rakyat Tiongkok pada saat ini, mengapa demikian? Masalahnya sangat jelas, bahwa prinsip berpegang pada hal yang lama yang masih baik dan hanya menggunakan hal baru yang lebih besar keuntungannya telah disahkan oleh Muktamar NU 1984 di Situbondo. Contoh yang sempurna dari prinsip itu adalah warga NU yang mencium tangan kiai. Karena itulah di balik cacian dan makian yang ditujukan orang ke alamat penulis, termasuk di dalamnya carcaan dari mereka dengan melakukan tindakan-tindakan politik, penulis telah melanggar ketentuan bahwa warga NU tidak ikut berpolitik. Namun itu dilakukan penulis sebagai warga NU,  dalam hal ini justru menjadi orang pertama –sebagai Ketua Umum Dewan Syura- DPP PKB yang harus mengambil tindakan politik.

Kalau penulis tidak mengambil tindakan-tindakan politik, berarti ia melanggar perintah PBNU yang dikeluarkan tahun 1998; untuk membentuk atau mendirikan sebuah partai politik yang merupakan wadah bagi warga NU untuk menyalurkan suara mereka dalam pemilu. Begitu juga warga NU yang ingin berkecimpung dalam dunia politik, tetapi tidak mau ‘disetir’ atau dikemudikan orang lain, memerlukan sebuah wadah berupa partai politik tersendiri dan itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bahwa ada warga NU yang merasa ‘kerasan’ di partai lain itu adalah hak mereka dalam sebuah negara demokratis. Tetapi ini tidak mengahalangi berdirinya PKB sebagai parpolnya warga NU.

*****

Dalam berpolitik, PKB haruslah belajar dari pengalaman bangsa-bangsa lain termasuk pengalaman bangsa Tiongkok. Dalam hal ini patut dipelajari dengan tuntas persamaan antara semboyan NU dengan semboyan Partai Komunis Tiongkok: “Menghargai apa yang lama, sambil terjun ke ‘dunia baru’ yang lebih baik dan lebih berguna.” Ini adalah sikap kemandirian sejati, yang alhamdulillah diyakini oleh bangsa Tiongkok dan para warga NU. Memang PKB sedang menjajaki berbagai macam kemungkinan tindakan-tindakan untuk mengatasi krisis multidimensional bangsa ini yang sudah berjalan  beberapa tahun ini.

Pengalaman sebuah bangsa dapat dijadikan pelajaran bagi bangsa lain. Juga semboyan sederhana yang menunjukkan kontinyuitas kehidupan bangsa Tiongkok juga dapat diberlakukan bagi bangsa kita. Ini tidak hanya terbatas pada Mao Zedong dan Deng Xiaoping saja, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan lain. Di antaranya adalah ketentuan bahwa Tiongkok merupakan sebuah entitas yang sepenuhnya bersatu dalam sebuah negara kesatuan, bukannya negara federal. Misalnya, ketika seorang mahasiswa menghadapi sebuah tank di lapangan Tiananmen, dan kemudian fotonya yang besar disebar oleh berbagai media asing ke seluruh dunia. Ini sebenarnya akibat dari sikap para pemimpin RRT yang mengutamakan kesatuan bangsa. Mereka curiga terhadap tuntutan para mahasiswa akan sebuah negara federal bagi bangsa Tionghoa. Akibat dari hal itu Jiang Zemin dan kawan-kawan rela RRT seolah-olah dikucilkan dunia, asalkan tetap menjadi negara kesatuan. Hasilnya jelas, ‘isolasi’ RRT oleh seluruh dunia berakhir ketika diumumkan Beijing sebagai tempat Olimpiade 2006 yang akan datang. Dan sebagai rasa gembira RRT mengadakan pesta besar-besaran di Lapangan Tiananmen dengan mengundang penyanyi kelas dunia seperti Placido Domingo dan Luciano Pavarotti. Sebuah sikap yang jelas menunjukkan kearifan sebuah bangsa dalam kegaduhan seluruh dunia. Namun hal itu mudah dikatakan, tapi sulit dilaksanakan, bukan?