Tipologi Kepemimpinan Umat Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam membahas kepemimpinan umat Islam, kita harus mempertimbangkan dua sisi. Pertama, kepemimpinan itu berkembang dari dahulu sampai sekarang menuju ke masa datang. Kedua, kepemimpinan itu secara umum harus dikenali dari sudut pola-pola kepemimpinannya.
Menyangkut sisi pertama, sudah jelas bahwa kita harus mengenal kepemimpinan umat pada masa lampau yang memang sudah sejak awalnya bersifat sangat tipologis. Di satu pihak, rutinitas itu dapat dilihat pada jenis-jenis kepemimpinan : ulama dan non ulama (zu’ama) dalam artian tokoh-tokoh masyarakat, para pengusaha, para pemegang jabatan keagamaan dalam pemerintahan (birokrat agama).
Di pihak lain, dapat juga dilihat kepemimpinan umat dari masa lampau, sekarang, sampai masa akan datang. Juga harus dibedakn dengan pemimpin yang kuat pijakan lokalnya, tetapi lemah jangkauan nasionalnya. Harus diakui bahwa hanya beberapa orang pemimpin umat mempunyai akar lokal yang kuat, kukuh, dan secara nasional diakui, antara lain, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Buya Hamka, K.H. Idham Chalid. Mereka ini yang representatif untuk kategori tersebut.
Pemimpin umat itu biasanya dikategorikan ke dalam dua kelompok. Pertama, pemimpin yang paripurna, yang kuat akar lokal dan pengaruhnya di tingkat nasional. Kedua, pemimpin yang kuat di salah satu sisi, lokal atau nasional saja. Pola-pola itu berlaku dari dahulu sampai sekarang.
Di pihak lain, masalah kepemimpinan umat ini juga memperlihatkan adanya kecenderungan untuk tumpang tindih dan akhirnya menerbitkan cukup banyak kekacauan. Hal yang wajar jika kemudian kecenderungan itu menggambarkan pola tersebut.
Sering sekali timbul kesimpangsiuran sebagai akibat dari tumpang tindih itu. Satu contoh, pecahnya NU dengan Masyumi. Itu terjadi karena para zu’ama tidak mau menerima kekuasaan dari ulama sehingga akhirnya para ulama Masyumi yang umumnya terdiri atas tokoh-tokoh NU menganggap tidak ada gunanya lagi untuk meneruskan Masyumi. Keadaan menjadi lebih parah karena para zu’ama Masyumi mengadakan kampanye seolah-olah persoalannya menyangkut soal jabatan menteri agama. Padahal sebenarnya lebih dalam dari itu : menyangkut siapa yang menjadi pemutus kata dalam umat.
Dari tumpang tindih corak-corak kepemimpinan di atas akhirnya dapat dilihat bahwa pada dasarnya ada dua model kepemimpinan umat dari dahulu sampai sekarang. Pertama, yang menitikberatkan pada kepemimpinan umat dan mengutamakan penguasaan ilmu-ilmu keagamaan. Ini masih berkembang di NU.
Kedua, kepemimpinan yang mengutamakan kemampuan berorganisasi. Ini terlihat dari adanya majelis ulama sekarang ini, yaitu ulama yang justru menjadi birokrat agama.
Sebenarnya, kecendrungan itu tanpa disadari menciptakan krisis. Khusus di NU, krisis tersebut adalah bagaimana para ulama yang menguasai ilmu-ilmu agara secara mendalam dapat menerima kehadiran atau peranan bertambah dari pihak atau kelompok organisator. Tanpa penyelesaian yang baik, dalam jangka panjang, hal ini akan menjadi krisis. Di kalangan majelis ulama, muhammadiyah, dan organisasi lainnya, persoalannya adalah bagaimana mereka dapat memberikan tempat yang cukup besar kepada ahli-ahli ilmu agama.
Oleh karena itulah, pada saat ini muncul suatu corak lain, yaitu kepemimpinan yang mengutamakan alur-alur pemikiran. Katakanlah cendekiawan. Mereka ini bukan organisator, juga bukan ulama, melainkan orang yang mempunyai bermacam-macam pikiran tentang Islam umumnya dengan pengetahuan agama yang sangat dangkal. Sekarang ini, corak demikian tampak mencolok dalam ICMI. Perkembangan corak kepemimpinan yang seperti ini akan sangat besar pengaruhnya bagi kepemimpinan umat pada masa yang akan datang.
Perkembangan lain yang patut disimak adalah peranan birokrat agama, khususnya Departemen Agama, yang semakin lama semakin besar. Mereka membawakan peluang-peluang baru bagi umat untuk memajukan diri, sekaligus juga masalah-masalah sampingan.
Masalah-masalah sampingan ini tampak dari cara mereka memandang suatu persoalan, dan ini memang watak dasar birokrasi. Birokrasi pada dasarnya mau benar sendiri, kemudian menggunakan peraturan-peraturan untuk mendukung kemauannya. Ini tampak jelas dalam soal menetapkan Idul Fitri 1 Syawal yang beberapa kali sempat terjadi. Birokrasi agama, dengan sikap mau benar sendiri, menetapkan garis, batas 5 derajat sebagai ukuran rukyat boleh diterima atau tidak? Sudah barang tentu para ulama yang bukan birokrat tidak bisa memahami hal itu karena bagi mereka melihat itu kan dengan mata, tidak memakai ukuran-ukuran minimal. Kalau kelihatan ya kelihatan, kalau tidak ya tidak.
Masalah sampingan lainnya adalah kecendrungan mereka untuk mencampur adukkan birokrasi dengan soal-soal keagamaan. Umpamanya saja, birokrasi harus memenangkan Golkar dalam pemilu (sebelum era reformasi). Ini pasti dibawa-bawa dalam mengurusi umat. Begitu juga birokrasi kegiatan keagamaan. Contohnya saja, pengelolaan zakat yang harus “di-Bazis-kan”, artinya mengikuti peraturan pemerintah. Bazis-bazis itu banyak sehingga pada akhirnya tidak benar cara mengelola dana yang didapati dari zakat. Ditambah lagi pola pengelolaannya identik dengan pola pemerintah, yang dilihat dari sudut pandangan agama justru tidak benar. Contohnya, cara mereka menggunakan uang zakat. Jika pada akhir tahun ternyata uang masih banyak, mereka tergopoh-gopoh untuk mempercepat penggunaan uang itu agar uang tersebut cepat habis. Padahal, kepentingan umat tidak demikian. Lagi-lagi ini merupakan implikasi dari pencampuradukan masalah umat dengan aturan birokrasi.
Sisi lain adalah sikap yang timbul dari cara-cara birokratis, yang tidak memberi tempat bagi adanya inisiatif dari masyarakat dan kurang menghargai upaya masyarakat atau orang luar. Mereka hanya tahu benarnya sendiri.
Birokrasi agama ini sebenarnya sudah campur aduk dengan urusan-urusan yang tumbuh dalam pemerintahan. Penyelenggaraan haji, misalnya, sudah menjadi rebutan antara Departemen Agama, Perhubungan, dan Hankam. Soal ibadah menjadi perebutan proyek. Akan tetapi, orang selalu menyalahkan Departemen Agama, padahal Departemen Agama itu hanya menggunakan dua persen dari uang jamaaah haji. Yang lainnya digunakan oleh departemen-departemen lain. Di sini kita melihat relativitas antar lembaga pemerintahan yang akhirnya ikut mempengaruhi urusan-urusan yang berkaitan dengan jalannya peribadatan umat.
Itu semua tentu juga berpengaruh dengan adanya radiasi pemikiran dan komunikasi yang membawakan informasi-informasi berkuantitas sangat tinggi. Para pemimpin umat yang berbagai corak dan model ada sedikit banyak terpengaruh dalam intensitas yang berbeda-beda.
Di sisi lain juga terjadi perubahan-perubahan pola pemikiran yang memunculkan pola-pola pemikiran yang beragam. Mulai dari kelompok pinggiran atau sempalan yang mencobakan berbagai model hidup islami, seperti Islam Jamaah itu, sampai ke model yang melakukan pembaratan Islam dengan sedikit modifikasi, seperti kaum Islam gedongan, yang membuat sekolah-sekolah Islam elit meniru Santa Lusi, Santa Maria menjadi Santa Khodijah atau Santa Fatimah. Itu adalah pembaratan dengan modifikasi yang merupakan bagian dari berbagai macam arus yang masuk ke sini.
Tinjauan lebih lanjut ternyata menghasilkan gambaran lain yang melengkapi gambaran tadi. Kepentingan politik yang muncul di Indonesia selama ini juga mempunyai pengaruh atas dinamika kepentingan umat. Kebijakan politik penguasa ternyata bagi kebanyakan umat masih cukup membingungkan. Di satu pihak, kita melihat mereka yang dengan segala cara ingin memasuki pemerintahan atau memperoleh manfaat dari hubungan baik dengan pemerintah. Di pihak lain, muncul pola kepemimpinan yang justru mencari-cari masalah dengan pemerintah. Apa saja yang dikerjakan oleh pemerintah dikritik habis-habisan. Jangankan salahkan jika tiba-tiba ada umat yang bertanya kepada seorang kyai kampung, “Kyai, saya musti dengarkan siapa? Karena kalau pagi saya dengar kuliah subuh Ustadz Zainuddin MZ, pemerintah ini salah semua, tetapi kalau sore saya dengar ceramah Ustadz Kosim Nurseha, tiba-tiba pemerintah kok tidak ada yang salah. Jadi, benar semua.” Ini membingungkan umat.
Kategorisasi kepemimpinan umat sesuai dengan bidangnya masing-masing : keulamaan, ke-zu’ama-an, pengusaha, birokrat. Juga, harus dilihat dari sudut latar belakang pendidikan masing-masing, baik para pemimpin tingkat lokal maupun tingkat nasional. Baik yang dididik di pesantren maupun sekolah umum. Kemudian soal posisi, pada posisi lokal atau pada posisi nasional? Ini juga akan mempengaruhi gaya kepemimpinan masing-masing. Selanjutnya menyangkut orientasi. Memimpin NU tentu berbeda dengan memimpin Muhammadiyah. Sekarang ini juga ada pemimpin yang hanya mempunyai perhatian sebatas pada masalah-masalah keagamaan, yang lebih mengutamakan soal akhlak, peribadahan, dan keimanan dalam artian tauhid. Berbeda dengan pemimpin yang mengutamakan masalah-masalah kemasyarakatan. Dari sudut ini jelas sekali bahwa heterogenitas kepemimpinan umat juga tinggi, bergantung pada dari mana mereka memandang masalah. Pemimpin seperti K.H. Sjukron Ma’mun tidak akan begitu tertarik pada masalah-masalah LSM, padahal dia memimpin umat. Akan tetapi, Dawan Rahardjo tertarik pada kepentingan LSM yang menyangkut perubahan masyarakat atau umat karena dia kebetulan orang LSM.
Dari itu semua menjadi jelas bahwa selain heterogenitas kepemimpinan umat yang begitu tinggi, juga dibutuhkan pengertian mendalam dari pihak luar kalau ingin melakukan pendekatan. Sering pihak luar tanpa sengaja menambah parahnya keadan karena tidak memahami heterogenitas ini.
Dapat diambil contoh NU yang saat ini di tingkat nasional sedang melakukan penelitian terhadap teks terjemahan Alquran yang dicetak oleh Arab Saudi, yang disumbangkan kepada pemerintah dan kaum Muslim di Indonesia. Teks ini disetujui oleh Departemen Agama, padahal di dalamnya ada pencurian hak cipta sebab karya terjemahan tim yang dibentuk oleh Departemen Agama RI, dalam beberapa ayat, diubah oleh pemerintah Arab Saudi sesuai dengan akidah salaf yang mereka anut. NU tentu tidak bisa menerima karena aliran yang dibawa Muhammad ibn Abdul Wahab itu menolak adanya interpretasi kiasan atau alegoris. Ini jelas-jelas bertentangan dengan NU. Dari kasus ini tampak jelas bahwa Departemen Agama tidak teliti dan membiarkan terjadinya perubahan-perubahan seperti itu sehingga menimbulkan protes dari kalangan NU kepada pemimpin NU. Diakui atau tidak, ini kemudian menempatkan kedudukan pemimpin NU pada posisi yang sulit antara menolak pemeberian negara sahabat atau menerimanya.
Ini merupakan contoh bahwa sentuhan-sentuhan itu, baik dalam artian luar Indonesia maupun dari luar lingkungan umat, harus dilakukan dengan teliti dan harus mengenal kondisi umat itu sendiri.
Kalau dilihat dari orientasi pemikiran atau pandangannya, kepemimpinan umat Islam dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, kepemimpinan yang mementingkan fungsi inklusif dan integratif yang dimiliki Islam. Jenis ini mengutamakan pencarian titik persamaan dan nilai universal yang menghubungkan Islam dengan agama, sistem keyakinan, dan kerangka pemikiran lain yang ada. Oleh karena itulah, jenis kepemimpinan ini tidak begitu suka menampilkan Islam secara formal, tetapi dalam kaitan dengan masalah-masalah umum kemanusiaan, seperti persamaan, keadilan, dan solidaritas antarmanusia.
Jenis kedua adalah yang berorientasi pada eksklusivitas. Orientasi ini lebih menonjolkan kesempurnaan, kelengkapan, dan kelebihan yang dimiliki Islam dibandingkan dengan agama dan sistem keyakinan lain. Jika jenis pertama menekankan persamaan antara agama dan keyakinan, jenis ini lebih senang berpolemik dan berdebat dengan pihak lain. Islam sebagai sistem yang utuh mereka ajukan sebagai model terbaik yang patut diterapkan oleh manusia secara keseluruhan untuk mengatur jalan kehidupannya.
Jenis ketiga memiliki orientasi formalisasi Islam dalam segenap bidang kehidupan, tetapi dalam semangat berdamai dengan pihak-pihak lain. Orientasi ini adalah yang paling umum dianut para pemimpin Islam di Indonesia dewasa ini. Mereka tidak “alergi” kepada orang lain, juga dapat hidup berdampingan dengan siapapun, tetapi tetap ingin menampilkan citra “berwajah dan berkepribadian” Islam. Menurut orientasi ini, Islam sebagai entitas harus dimunculkan dalam segenap kehebatan dan gegap gempitanya kiprah kaum Muslim di negara kita, tanpa harus berkonfrontasi dengan agama dan sistem keyakinan lain.
Dari ketiga jenis kepemimpinan umat berdasarkan orientasi pemikiran dan pandangan ini, menjadi jelas bagi kita mengapa umat Islam Indonesia tidak pernah bersepakat tentang sebuah pola pemikiran tunggal. Dari mereka yang secara mutlak menolak keikutsertaan dalam sistem pemerintah yang ada, hingga mereka yang dengan segala cara dan upaya ingin membawa bendera Islam ke dalam pemerintah, terbentang spektrum pandangan luas yang menampung berbagai pemikiran mengenai hubungan Islam dan negara. Begitu juga antara Islam dan kekuatan yang mendukung ataupun menentang suatu pemerintahan.
Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa perbedaan pandangan di kalangan pemimpin umat adalah sesuatu yang sebenarnya wajar-wajar saja. Ketidakwajaran justru muncul ketika perbedaan pandangan ditekan dan dikikis, sementara Islam sendiri sebenarnya justru menantang status quo yang tidak membawa perbaikan.