TNI-POLRI, Intelektual, dan Politisi Harus Bersikap

Sumber Foto: https://ntmcpolri.info/jaga-ketahanan-pangan-nasional-altar-89-tebar-bibit-jagung-dan-padi-gogo-di-subang/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Di waktu akhir-akhir ini, penulis mengajukan gagasan agar kita kembali pada ekonomi rakyat (people’s economy). Sebab dari timbulnya gagasan ini adalah sebuah kenyataan, yang menunjukkan tanggungan luar negeri kita berjumlah lebih dari 700 milyar dollar AS. Tanggungan sebesar itu, hanya akan terbayar lunas oleh anak cucu kita sendiri,– kalau pun lebih diperbesar lagi cicit kita yang harus bayar. Ini berarti, empat generasi manusia Indonesia harus membayar apa yang kita makan dan pakai serta diami dalam beberapa dasa warsa ini.

Tanggungan luar negeri sebesar tiga kali lipat penghasilan domestik kotor (Gross Domestic Products) itu, tampaknya akan diperbesar oleh ahli ekonomi dalam pemerintahan kita. Dari uraian mereka terlihat bahwa kita akan meminjam tiga sampai empat milyar dollar AS dari berbagai lembaga internasional, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF). Itu pun belum ada kepastian berapa yang akan kita peroleh karena keadaan ekonomi kita yang penuh keporak-porandaan saat ini. Dan, kalaupun dapat kita peroleh pinjaman sebesar itu, berarti beban luar negeri kita semakin besar pula.

Ini adalah suatu keadaan yang sebenarnya dapat kita perbaiki, asal kita memiliki keberanian moral untuk bertindak dan bersikap. Karena ini adalah masalah besar bangsa kita, maka ia harus kita putuskan bersama bukan hanya sekadar putusan para ahli ekonomi kita saja. Sebuah ungkapan menyatakan, perang adalah sesuatu yang sangat besar dan karenanya tidak dapat hanya diputuskan oleh para jenderal saja, melainkan oleh seluruh warga bangsa. Krisis ekonomi kita adalah milik kita bersama, tidak patut hanya ditentukan oleh para ahli ekonomi belaka.

***

Dasar bagi ekonomi rakyat adalah adanya keberanian untuk menempuh jalan sendiri, tidak bergantung pada negara atau lembaga internasional mana pun. Dalam hal ini, kita harus memajukan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), bahkan kalu perlu dengan penghentian sementara (moratorium) semua bentuk pembayaran tanggungan luar negeri kita selama tiga sampai lima tahun fiskal. Ini tentu, mempunyai konsekuensinya sendiri yang harus kita perhitungkan dengan matang.

Kegiatan ekspor dan impor kita mungkin akan diboikot oleh negara-negara lain, dan dapat saja dihentikan oleh perusahaan-perusahaaan raksasa (multi-national corporation). Akibatnya, orang akan takut dengan ekonomi kita, kalau sampai hal itu terjadi. Namun, sebenarnya kita dapat saja memecahkan masalah yang timbul, jika saja kita lebih mengarahkan produksi dalam negeri tidak untuk ekspor, melainkan untuk memenuhi kebutuhan pasaran dalam negeri sendiri. Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, berarti pasaran dalam negeri kita sangatlah besar. Tekanan pada ekspor saat ini berarti keuntungan berlebih bagi usaha-usaha besar, dengan sedikit sekali jumlah yang akan mengucur pada UKM.

Dengan kata lain, teori pembangunan (developmental theory) yang begitu diagung-agungkan oleh para teknokrat tidak membawa rahmat bagi kita, karena kelemahan UKM tersebut. Dalam hal ini, aspek modal, teknologi yang digunakan, jaringan pemasaran, transportasi dan kemasan (packaging) tampak sangat lemah hingga kita tidak dapat bersaing dengan usaha-usaha raksasa yang berkiprah di negeri ini. Dengan demikian, keuntungan sangat besar mudah mereka terima, dan dengan sendirinya keuntungan UKM kita menjadi sangat kecil. Bagaimanapun jauhnya pengendalian kita atas kebocoran dan pungutan dalam pembangunan, memang tidak akan pernah banyak menolong UKM kita.

***

Jelas dengan demikian, kita harus menempuh dua hal sekaligus: mempersiapkan pasaran dalam negeri untuk produksi dalam negeri kita–di samping mempersiapkan diri untuk melaksanakan pembangunan yang lebih adil dan merata. Ini tidak akan pernah dapat dicapai oleh sebuah ekonomi yang hanya mementingkan usaha-usaha besar di atas. Goncangnya harga dollar/rupiah dan fluktuasi tajam harga indeks gabungan saham-saham kita, menunjukkan labilitas yang luar biasa dari usaha-usaha raksasa tersebut. Ini menunjukkan bahwa mereka belum kuat betul dan hanya dapat berkembang atas biaya yang dipikul rakyat kecil.

UKM sebagai tulang punggung ekonomi rakyat ternyata memperlihatkan kemampuan bertahan yang luar biasa. Terlepas dari apa kata orang nanti, ekonomi rakyat ternyata memiliki daya tahan yang dahsyat dalam kehidupan ekonomi kita. Misalnya, jalan-jalan tampak penuh, kereta api–pesawat terbang–mobil–kapal laut yang selalu sesak dengan penumpang merupakan bukti kekenyalan hidup yang dimiliki UKM kita saat ini. Kekuatan inilah yang harus kita pergunakan sebagai modal perbaikan ekonomi ke depan. Dengan kata lain, terlihat adanya kesempatan dalam kesempitan yang dihadapi ekonomi bangsa kita.

Karena keputusan untuk menegakkan orientasi kerakyatan bagi ekonomi pembangunan harus diambil oleh bangsa kita secara keseluruhan, maka tidak dapat kita biarkan ia hanya ditangani oleh para cendekiawan (intelektual), dan para politisi kita harus secepat ahli ekonomi saja. TNI-POLRI, kaum mungkin mengambil keputusan melaksanakan orientasi tersebut. Kalau kita tidak mau, dalam pemilu mendatang rakyat

akan mementukan sikap yang pasti mengenai hal ini. Saya sendiri akan mengajukan tawaran ini dengan tidak henti-hentinya, sampai saat pemilu mendatang tiba. Kalau sekarang tidak diambil keputusan, saya khawatir ketiga pihak itu akan ‘dihukum’ oleh masyarakat pada waktu tersebut.