Topi Koboi di Madinah Al-Munawwarah

Sumber Foto: https://kaltim.kemenag.go.id/berita/read/395378

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sewaktu melaksanakan ibadah haji tahun (Masehi) ini, penulis melihat sesuatu yang menarik sewaktu di Madinah. Di kota Nabi kita yang tercinta itu, tampak di tengah hari sesosok tubuh tinggi besar, berjalan bersama para jama’ah haji lain. Menuju masjid Nabawi. Orang yang akan bershalat zuhur itu mengenakan sesuatu yang lain dari orang-orang disekitarnya. Kalau yang lain menggunakan sorban atau peci hitam. Dilindungi dengan payung, ia menggunakan ‘sombrero’.

Jama’ah haji dengan topi bertepi sangat lebar tersebut ternyata bukan orang Mexico, negeri asal sembrero itu. Ia adalah orang berkulit hitam, entah dari Afrika, Amerika Tengah dan Latin atau Amerika Serikat. Yang penting, ia bukan koboi yang sedang berjalan dalam perjalanan ke masjid Nabawi. Sombrero dipakainya untuk melawan teriknya panas kota Madinah di tengah hari, sekitar 44 derajat celcius.

Kenyataan adanya topi dari lakon koboi di Madinah itu mau tidak mau lalu menggugah kita kepada sesuatu kenyataan: Watak internasional yang demikian menonjol dari ibadah haji. Mencoloknya pemandangan topi sombrero di Madinah itu mengingatkan kita kepada keanekaragaman sangat tinggi dalam cara hidup kota-kota di Saudi Arabia selama musim haji.

Semua cara hidup serba berbeda itu dibiarkan, selama tidak melanggar ketentuan agama. Ketentuan normatif dari agama itu pun juga sangat berbeda dalam rinciannya, walaupun tetap sama dalam pokok-pokoknya. Shalat lima waktu, tata cara dasar dalam ibadah haji dan penghormatan kepada hukum agama.

Semuanya berbaur secara alami. Perbedaan kultural menjadi tidak berarti, karena ada persamaan norma-norma dasar, yang diambilkan dari agama. Hal itu mungkin diwujudkan, karena kesamaan norma-norma dasar dari agama itu, yaitu karena berasal dari satu agama saja, Islam. Bagi bangsa kita saat ini justru berbeda situasinya. Norma-norma dasar apakah yang dapat dikembangkan dari sekian buah agama yang hidup di sini? Tentunya bukan norma keagamaan formal, melainkan kepedulian bersama atas norma-norma dasar universal: moralitas, keadilan, persamaan derajat di muka undang-undang dan sebagainya. Norma-norma formal yang ada hanya berlaku untuk para pemeluk masing-masing agama. Norma-norma universal itulah yang mempersatukan bangsa kita.

Cukup banyak yang dapat direfleksikan dari kasus topi koboi di Madinah Al-Munawwarah itu bukan?