Pemenuhan Kebutuhan Secara Terpadu: Sebuah Pandangan tentang Wawasannya bagi Pemukiman Perkotaan

Sumber Foto: https://m.mediaindonesia.com/galleries/detail_galleries/33325-rencana-pembangunan-kota-baru-maja

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

1. Makalah ini ditekankan pembicaraannya pada masalah pemukiman di wilayah perkotaan, karena beberapa alasan. Pertama, karena daerah perkotaan merupakan titik rawan terberat dalam dislokasi sosial. Seperti terbukti dari meningkatnya kejahatan (dilihat dari kuantitas, intensitas maupun perkembangan pathologisnya), beratnya pencemaran lingkungan, cepatnya perubahan dalam pola-pola demografisnye. Terutama perbenturan pola mobilitas horisontal penduduknya, yang diakibatkan oleh semakin memusatnya penguasaan tanah pemukiman secara vertikal. Dan banyak sebab lain lagi.

Kedua, daerah perkotaan merupakan wilayah pemukiman yang sudah terjamah oleh perencanaan yang terperinci. Ditunjang oleh sarana keuangan dan organisasi yang memungkinkan pengembangan inisiatif berlingkup massif. Hal itu belum dapat dikembangkan bagi daerah pedesaan. Kecuali dalam kerangka membuat kantong-kantong (enclave) perkotaan di dalamnya, seperti dalam perencaan kota administratip yang akan dikembangkan menjadi kotamadya.

Ketiga, daerah perkotaan juga akan merupakan kosentrasi penduduk terbesar, bila dibandingkan dengan daerah pedesaan. Yaitu kalau terjadi penciutan lebih jauh lapangan kerja di pedesaan karena effisiensi pertanain yang terus berlanjut dan semakin memudarnya ikatan-ikatan tradisional di pedesaan sebagai akibat perubahan mendasar dalam pola kehidupan.

Keempat, secara sosiologis, daerah perkotaan merupakan sumber pengembangan manusiawi. Atau sebaliknya, sumber kemungkinan konflik sosial massif, yang akan mengubah seluruh kehidupan bangsa. Tergantung ke arah mana pola hubungan antar-lapisan masyarakat akan berkembang.

Dengan alasan itu telah diambil serangkaian kebijaksanaan pengembangan daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman. Kalau digolongkan ke dalam berbagai jenis penggolongan, akan dapat dilihat pokok-pokok berikut:

1. Perbaikan lingkungan fisik wilayah pemukimannya. Untuk tempat tinggal, tempat usaha dan bekerja, tempat rekreasi dan hiburan, tempat pendidikan dan pengembangan pribadi secara luas, maupun tempat berkomunikasi secara kultural dengan bagian-bagian lain dari negara yang sama dan negara-negara lain.

2. Perluasan lingkungan wilayah pemukimannya secara drastis, Terutama dengan membuka tanah-tanah baru. Melalui cara tidak langsung oleh pemerintah (kredit untuk real estate) maupun langsung oleh pemerintah (penyediaan perumahan murah dan sebagai kelanjutan, rumah susun).

3. Perluasan jaringan wilayah pemukiman dengan jalan mendorong pertumbuhan pemukiman di kota-kota lain di sekitarnya, dalam sebuah proses perkembangan komplementatif yang bertumpu pada kecepatan lalu-lintas dan mudahnya sarana penghubung antar kota. Seperti antara Jakarta-Bogor- Tangerang-Bekasi-Karawang, Semarang-Salatiga-Kendal-Kudus, Yogyakarta-Klaten-Wates-Magelang-Bantul, Surabaya-Malang-Mojokerto-Bangkalan-Gresik Kudus,

4. Pemencaran kawasan industr ke pinggiran kota-kota besar. Digabungkan dengan desentralisasi kawasan pasar dan pusat-pusat perbelanjaan, dengan tetap memelihara inti kota sebagai pusat pemerintahan-kota dan pusat perdagangan. Terutama kawasan keuangan (financial district), kawasan pelayanan wisata dan kawasan perkantoran (high-rise office buildings)

5. Penciptaan kantongan-kantongan rekreasi massif di pinggiran maupun di tengah-tengah kota. Yang bersifat sederhana (taman-taman biasa) hingga yang merupakan kompleks lengkap sebagai dunia hiburan tersendiri (Taman Mini Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol).

6. Penyediaan sarana insidentil berskala massif untuk menampung arus pulang mudik selama beberapa hari saja di waktu-waktu tertentu. Seperti menjelang lebaran, tahun baru dan sebagainya.

7. Perbaikan pelayanan umum secara bertahap tetapi menetap, dalam jaringan yang semakin luas Seperti pelayanan telepon, penyediaan tenaga listrik, pemasangan pipa air ledeng, pemasangan pipa gas alam dan seterusnya.

Kesemua rangkaian kebijaksanaan tersebut, diharapkan telah cukup menampilkan gambaran strategi keterpaduan dalam pengembangan kota sebagai wilayah pemukiman Yang seringkali didengungkan adalah watak simultan dan bersegi banyak dari totalitas rangkaian kebijaksanaan tadi, seolah-olah dengan kemulti-sektoran itu telah terpenuhi wawasan keterpaduan yang diidam-idamkan.

Dalam uraian selanjutnya akan dibahas keabsahan pandangan ini Dan setelah itu baru akan dikemukakan pandangan penulis sendiri dalam memahami dan merumuskan keterpaduan yang seharusnya dimiliki oleh upaya mengembangkan daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman

***

2. Secara sosiologis, yang terutama membedakan sebuah kota kecil dari sebuah kota besar adalah pola migrasınya. Ke, dari, maupun di dalam kota. Pada sebuah kota kecil, perpindahan dari satu ke lain bagian dari kota berjalan sangat lambat dan hampir hampir tidak dipengaruhi oleh mobilitas sosial-ekonomis yang berjalan secara vertikal. Yang terjadi di kota-kota besar adalah sebaliknya.

Di kota-kota besar, migrasi ke atau dari tempat itu berlangsung secara massif, Puluhan ribu jiwa setiap tahun. Yang pindah secara tetap maupun yang bersifat musiman. Sedangkan secara internal, perpindahan dari satu ke lain bagian kota besar terjadi secara rutin, mengikuti jalur peningkatan sosial-ekonomis. Pendatang baru (atau pendatang lama yang tidak mengalami peningkatan) akan memasuki daerah-daerah sekitar stasiun kereta api, lapangan terbang lama, terminal bis, pelabuhan dan pasar-pasar lama. Membentuk daerah-daerah rakyat dalam perkampungan dengan bangunan berderet secara sangat rapat dan berpenduduk sangat padat. Seperti kawasan Senen, Tanah Abang, belakang beos di Glodok, belakang stasiun Jatinegara, sekitar airport Kemayoran dan sebagainya untuk kota Jakarta.

Sebuah variasi atas pola kota besar di seluruh dunia ini adalah daerah-daerah kosong yang kemudian dibangun atas swadaya masyarakat. Seperti Kampung Baru dan perkampungan rakyat lainnya yang terletak paralel dengan jalan Thamrin dan jalan Sudirman di Jakarta.

Dengan peningkatan status sosial-ekonomis, dalam pola piramida yang semakin mengecil di bagian atas, terjadi perpindahan berulangkali, mengikuti pola perumahan lebih baik. Mobilitas horisontal yang mengikuti pola mobilitas sosial-ekonomis yang bersifat vertikal ini pada umumnya tidak di antisipasi oleh para perencana pengembangan kota sebagai wilayah pemukiman. Sehingga sebuah aspek penting dari kehidupan daerah perkotaan diabaikan: Kehidupan kota berwatak dinamis, bukan hanya karena pola kegiatannya (dengan pengadaian pola pemukimannya berwatak statis), melainkan juga karena pola pemukimannya juga memiliki dinamika tersendiri dalam bentuk pola-pola perpindahan tempat tinggal dan tempat bekerja.

Ketidak mampuan membuat antisipasi seperti ini tercermin dalam proses menurunnya kualitas kehidupan di daerah-daerah gedongan lama –seperti Matraman di Jakarta– dengan perpindahan tokoh-tokoh sentral ke tempat lain mengikuti pola di atas. Menurunnya kualitas kehidupan di kawasan-kawasan yang semula sudah memperoleh pelayanan umum yang bagus seperti itu dari kotapraja, akan terasa lebih dahsyat lagi berlangsungnya di kawasan perkampungan rakyat. Itu karena mobilitas horisontal di dalamnya juga sangat tinggi tingkatnya. Kenyataan ini dapat dipastikan tidak pernah dimasukkan dalam pertimbangan yang digunakan ketika merencanakan pengembangan daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman.

Pengkaplingan penduduk kota-kota besar ke dalam tiga kategori (elite, menengah dan rakyat), seperti tercermin dalam pemekaran wilayah pemukiman kota melalui pola Pondok Indah, Depok dan Kebon Kacang (rumah susun), tidak dapat menyembunyikaan kenyataan kurangnya antisipasi tadi, yang juga sering tenggelam dalam kenyataan adanya mobilitas vertikal mengikuti peningkatan kemampuan dan status sosial-ekonomis. Tetapi tanpa berpindah secara horisontal, seperti dampak dalam banyaknya rumah-rumah mewah kemudian tumbuh di atas bongkaran rumah murah di kawasan perkampungan rakyat.

Dilihat dari sudut penglihatan ini, seolah-olah tidak terjadi mobilitas horisontal sama sekali di daerah perkotaan. Tetapi kajian mendalam, dengan meminjam metode penelitian sosiologis, akan tampak dengan segera betapa di bawah permukaan yang tampak statis itu terjadi arus bawah yang berlangsung dengan deras. Yaitu berupa menurunnya secara pasti walaupun perlahan-lahan kualitas kehidupan di masing-masing kawasan. Termasuk yang sudah mapan dan tadinya menikmati monopoli pelayanan umum serba memuaskan.

Pemekaran wilayah pemukiman dengan pembukaan daerah-daerah baru di pinggiran kota tidak menolong keadaan yang terus memburuk itu. Ketika daerah Menteng sudah mulai terasa sesak, orang berpindah ke Kebayoran Baru, yang dengan segera mulai mengalami penurunan kualitas kehidupan lingkungan pula. Orang lalu lari ke Pondok Indah, yang jaga tidak berapa lama kemudian mengalami hal yang sama. Begitulah seterusnya.

Penurunan kualitas kehidupan di kawasan perkampungan rakyat di tengah-tengah kota, walaupun ada proyek perbaikan kampung seperti Proyek MHT di Jakarta, juga memaksa mereka yang tidak mampu menanggung beban ekonomis pemeliharaan tingkat kualitas yang ada, untuk berpindah ke tempat lain. Umumnya ke pinggiran kota dan membentuk kawasan rumah petak yang paralel pola penyebarannya dengan penyebaran lapisan-lapisan lebih mampu ke kawasan-kawasan mewah dan menengah yang baru di pinggiran kota pula. Misalnya Pulo Gadung di samping Kelapa Gading Permai, Kebayoran Lama dan Pondok Labu di samping Pondok Indah, Ciganjur-Lenteng Agung di samping Depok dan sejumlah pasangan lain di Jakarta.

Dari pengamatan tersebut tampak jelas, bahwa pola pemekaran wilayah pemukiman dengan membuka daerah-daerah baru tidak memecahkan masalah penurunan kualitas kehidupan di tengah kota, kalau ditinjau dari sudut sosiologis. Melebarnya rentangan jaringan pelayanan umum, seperti listrik dan air, dalam pola yang semakin melebar akan menimbulkan beban keuangan, administratif dan teknis yang semakin tak tertanggungkan lagi bagi sektor pembiayaan umum (anggaran pemerintah dan sumbangan masyarakat)

Menurunnya kualitas kehidupan di kawasan lama akan menuntut pemekaran lebih jauh. Tidak hanya pada sektor mewah dan menengah saja, melainkan juga pada sektor bawah (rakyat). Proses pemekaran wilayah seperti itu, di samping tidak memungkinkan menetapnya kualitas kehidupan dalam jangka panjang, juga mengakibatkan labilitas struktur pelapisan masyarakat di kawasan lama yang ditinggalkan, karena tidak memungkinkan penggalangan kepemimpinan antar-lapisan yang kuat, yang hanaya terjadi karena interaksi yang datang dari pergaulan berjangka waktu lama.

Kalau dilihat dari sudut pandangan tersebut saja sudah tampak masalah mendasar yang dihadapi rangkaian kebijaksanaan perkotaan selama ini, maka dapat diperkirakan kesulitan-kesulitan besar yang dihadapi oleh aspek-aspek lain dari totalitas kebijaksanaan yang diambil itu. Dengan demikian, sangat sulit untuk mengatakan bahwa rangkaian kebijaksanaan yang diambil selama ini di negara-negara berkembang telah memiliki keterpaduan.

Namun, dalam kenyataan justru kebijaksanaan pertumbuan sekaligus pemerataan, berupa pemekaran daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman bersama-sama dengan peningkatan pelayanan umum pada saat yang sama, justeru diambil oleh kebanyakan negara-negara berkembang.

Menurut jurnal International Development Review: Manila, Jakarta, Mexico City dan Khartoum berkembang menjadi empat kali lipat luas semula, Saoo Paulo dan Baghdad lima kali lipat. Nairobi, Dar es Salaam dan Lagos tujuh kali lipat. Itu semua hanya dalam waktu tiga dasawarsa terakhir ini (dengan perkembangan paling pesat dalam dasawarsa terakhir).

Keterpaduan tidak berarti harus diambilnya pola pemekaran sekaligus peningkatan pelayanan umum. Karena hal itu berada di luar jangkauan pemerintahan negara berkembang manapun. Kecuali negara-negara-negara petrodollars di kawasan Timur Tengah (itu pun hanyalah Saudi Arabia, Kuwait, negara-negara teluk Persia dan Iraq sebelum perang).

Keterpaduan justeru harus dicari pada pilihan antara kedua hal tersebut diatas. Yaitu antara pemekaran wilayah pemukiman dan peningkatan pelayanan umum. Dari kesimpulan ini berarti kebijaksanaan untuk hanya memekarkan daerah perkotaan sebagai wilayah pemukiman untuk memecahkan maslah perumahan, harus dikaji kembali dengan seksama. Namun, rumusan yang kedengarannya demikian sederhana itu, dalam kenyataan justeru memiliki kompleksitas sangat tinggi jika dituangkan menjadi kebijaksanaan.

Lalu, bagaimana harus ditampung arus penduduk yang terus membanjiri daerah perkotaan? Dalam dasawarsa terakhir ini Mexico City dan Sao Paulo penduduknya bertambah setengah juta jiwa per tahun, sedangkan Rio de Janeiro, Bombay, Cairo, Lagos, Manila dan Jakarta bertambah seperempat.

***

3. Sepintas lalu, keputusan menghentikan pemekaran daerah perkotaan sebagai unsur utama strategi perumahan berarti keharusan membuat pola pengembangan wilayah pemukiman dalam bentuk gedung-gedung tinggi. Kalau perlu antara lima belas hingga lima belas tingkat. Kompleks seperti itu, yang dengan tepatnya digambarkan oleh yang dilihat penulis di kawasan dekat kawasan Javier Pardo di Lima (Peru), Bedok di Singapura dan Nasr City di Cairo, diharapkan akan memecahkan masalah penyediaan rumah secara massif Tiap gedung merupakan deretan (dan susunan) flat yang membentuk unit pemerintahan sendiri, karena memiliki penghuni berjumlah ribuan jiwa atau ratusan keluarga.

Walaupun tidak setinggi kualitas perumahan Bijlmermeer di Amsterdam, kompleks perkotaan dengan gedung-gedung tinggi berukuran massif dapat menampung kebutuhan perumahan di daerah yang berkepadatan penduduk sangat tinggi. Semuanya dengan pelayanan umum yang lebih mudah disediakan dan dipelihara, karena terpusat pada jalur-jalur yang tidak saling berjauhan.

Namun, kenyataan sebenarnya tidaklah secerah apa yang tergambar sepintas lalu itu. Perumahan gedung tinggi –walaupun mungkin merupakan pemecahan untuk penyediaan sarana pelayanan umum yang berkualitas baik secara massifー membawa persoalan-persoalan lain yang tidak kalah mendasarnya. Apalagi dalam keadaan kemampuan menguasai teknologi maju masih belum mencapai taraf tinggi.

Telah terbukti dari pengamatan gedung-gedung bertingkat tinggi sebagai tempat tinggal di negara-negara berindustri maju. Bahwa pola pemukiman seperti itu hanya dapat dijaga kualitas kehidupan di dalamnya dengan pembiayaan sangat mahal. Termasuk biaya pemeliharaan keamanan yang harus dilakukan secara intensif di lorong-lorong sepi dalam masing-masing gedung. Ini terlihat dalam akibat kejahatan vandalistik dan kriminal lainnya dalam gedung-gedung di kawasan Bijlmermeer di Amsterdam.

Secara singkat dapat disimpulkan: bahwa pemukiman berbentuk kompleks gedung tingkat adalah kemewahan yang hanya dapat dijangkau oleh lapisan menengah atas (upper-middle income groups). Sedangkan penyediaannya untuk lapisan berpenghasailan rendah hanya akan berakibat degenerasi kualitas kehidupan secara drastis dalam waktu cepat, Seperti terlihat sekarang pada kawasan poros Muski-Atabah-Abidin-Lazoughly dan lajur Sayyidah Zainab-Munirah- Maniyal-Jazirah di Cairo.

Lalu, kebijaksanaan dasar apakah yang harus diambil dalam keadaan pola pemekaran daerah perkotaan maupun pemukiman dalam gedung bertingkat tinggi sama-sama tidak tepat dijadikan pegangan utama?.

Jawaban atas masalah tersebut dapat mulai dicari dengan terlebih dahulu menyadari watak dilemmatik dari keadaan di atas, yang meniadakan sama sekali pengambilan sebuah pola tunggal sebagai pemecahan masalah. Diktum ini berarti keharusan diambilnya kebijaksanaan berganda, dengan rekanan berbeda-beda untuk memecahkan masalah yang dihadapi sektor yang berlainan. Langkah yang diambil juga berbeda kategori masing-masing, dari yang bersifat permanen dan tidak akan diubah lagi hingga yang bersifat trasisional untuk jangka pendek atau jangka waktu sedang saja.

Rangkaian kebijaksanaan tersebut minimal haruslah meliputi hal hal berikut:

1. Penetapan areal (zona) perumahan murah di kawasan-kawasan rakyat yang sudah ada, untuk diremajakan secara berangsur-angsur dengan sarana kredit yang memadai dari pihak pemerintah, dengan melarang sama sekali pembuatan rumah mewah dalam areal tersebut.

2. Penetapan pola pembagian kapling yang memungkinkan dibangunnya rumah-inti pada tahap pertama, untuk disusul dengan perluasan bertahap bagi masing-masing rumah di areal perumahan murah tersebut.

3. Penyediaan lembaga kemasyarakatan yang mendukung pola pengembangan seperti itu, seperti paguyuban yang secara sosial ekonomis berfungsi pra-kooperatif dan kooperatif untuk mengembangkan kesejahteraan warga areal perumahan murah itu tanpa perlu melakukan penggusuran atas mereka yang terdesak kedudukannya dan terbatas kemampuannya.

4. Penyediaan sarana pelayanan umum yang memadai, dengan jalan menanganinya secara pemusatan-bergiliran (rotated concentrated efforts) dalam bentuk penanganan menyeluruh secara bergiliran dari satu ke lain areal, yang harus dilandaskan kepada pendekatan menjauhi penyediaan sarana secara minimal belaka (gang sempit, got dangkal, langkanya tempat-tempat umum untuk kepelruan berbeda-beda (lapangan bermain untuk anak-anak, pos pertemuan remaja, bengkel latihan magang untuk bermacam-macam ketrampilan, tempat ibadah, kantor pengurus kampung dan seterusnya).

5. Dengan memainkan senjata berupa penyediaan kredit membuat rumah murah dapat pula diterapkan standarisasi pola pembuatan dan pemeliharaan rumah-rumah yang ada untuk tiap areal, dan juga standarisasi sarana pelayanan umum yang diperlukan.

6. Untuk memungkinkan partisipasi penuh dari pihak penduduk diperlukan pembentukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat di tingkat lokal yang akan mengawasi agar pola perencanaan dan rangkaian ketentuan yang sudah diputuskan tidak sampai menyimpang dari acuan semula.

Demikianlah, serba sedikit telah disinggung beberapa aspek dasar dari sebuah pola kebijaksanaan umum di bidang perumahan, guna turut mengkongkritkan sebuah pola terpadu untuk memenuhi kebutuhan golongan berpenghasilan rendah di daerah perkotaan.