Kemelut Pengorganisasian Kepemimpinan

Sumber foto: https://suaraaisyiyah.id/kepemimpinan-dalam-perspektif-islam/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tulisan ini diselesaikan ketika Dr. Nurcholish Madjid sedang menghadapi gempuran hebat dari Drs. Ridwan Saidi dan kawan-kawan. PP Pemuda Muhammadiyah gagal menggelarkan sebuah perdebatan ilmiah antara kedua belah pihak itu. Daud Rasyid, M.A., yang diandaikan mewakili “pihak Ridwan Saidi”, menolak untuk hadir. Kegagalan dialog untuk menuntaskan perbedaan paham itu disayangkan oleh sementara pihak, karena itu kedua belah pihak diminta menahan diri, tidak berbicara secara sepihak lagi mengenai pihak yang lain. Alasan yang dikemukakan adalah akibatnya bagi umat, yang tentu akan mengalami kebingungan.

Sebenarnya, apa yang terjadi antara Nurcholish Madjid dan Ridwan Saidi dan kawan-kawan itu bukanlah sebuah perkecualian, ia justru bagian saja dari kejadian serupa di mana-mana, baik di negeri kita maupun negeri-negeri muslim lain. Di Mesir seorang intelektual didemonstrasi, karena berpaham “liberal”. Di Malaysia, Kassim Ahmad sia-sia saja meminta para mufti yang menuntut seorang pemikir dihukum gantung karena menolak pemberlakuan syariah sebagai pemenuhan kewajiban berjihad bagi kaum muslimin. Di Pakistan, almarhum Fazlur Rahman dilawan secara sepihak, dengan ancaman sewaktu-waktu dapat dibunuh, sehingga akhirnya memutuskan untuk berhijrah ke “negeri Kristen” Amerika Serikat. Dan tentu kita tidak boleh lupa kasus Salman Rusdhie, yang sampai hari ini masih berada dalam persembunyian, akibat hukuman mati in absentia yang dijatuhkan almarhum Ayatullah Khomeini.

Semua episode itu menunjuk pada kelangkaan dialog terbuka untuk membahas masalah-masalah dasar di bidang agama (akidah). Yang ada hanyalah sikap saling mencurigai: yang satu pihak menghakimi, pihak yang lain melecehkan dan merendahkan. Sikap saling menyalahkan itu sudah menjadi demikian tertanam, sehingga ketika Ugur Mumcu, jurnalis “penelanjang” fundamentalisme Islam meninggal dunia karena ledakan bom ynag dipasang pada mobilnya bulan lalu, ratusan ribu rakyat Turki berdemonstrasi menyatakan kemarahan pada “dialog” yang berbentuk kekerasan seperti itu.

Tiadanya kesatuan pendapat adalah ciri utama perkembangan kaum muslimin sejak awal sejarah agama mereka. Hal itu antara lain disebabkan oleh watak ambivalen dari hakikat dirinya: di satu pihak, Islam adalah “agama hukum” (religion of law), sedangkan di pihak lain ia adalah “agama moral” (religion of morals). Sebagai “agama hukum”, Islam memerlukan perangkat organisatoris atau kelembagaan untuk memantapkan dan menjaga pelaksanaan norma-norma yang dibawakannya, baik itu berupa hukum agama, kesusilaan maupun pengaturan masyarakat (regulation of society, tandzimul ijtima”). Diperlukan pranata yang berbentuk fungsi maupun kelembagaan untuk menerapkan ajaran Islam secara tuntas, dari fungsi keulamaan hingga lembaga yang bernama pemerintah atau negara. Namun, karena Islam adalah moralitas, yang bertumpu pada penerimaan sukarela dan kesadaran tinggi untuk melaksanakan ajaran agama atas kemauan sendiri, Islam pun berkembang secara persuasif juga. Dalam hal ini tidak diperlukan sisi kelembagaan terlalu nyata dan menonjol.

Berangkat dari kenyataan ini, umat Islam senantiasa menolak sikap melembagakan pelaksanaan ajarannya secara kaku. Keulamaan yang dikembangkan umat Islam di mana pun, tidak pernah mengambil bentuk uniformisasi pola hidup kaum muslimin. Ulama ada yang berfungsi formal sebagai qadhi (hakim agama) dan pejabat keagamaan lain, tetapi yang berada di luar pemerintahan berjumlah jauh lebih banyak lagi. Sebagai pemimpin-pemimpin nonformal, mereka dapat berkiprah melalui lembaga kemasyarakatan yang independen. Karena tidak ada otoritas tertinggi di kalangan mereka, dengan sendirinya kepemimpinan umat Islam dari jenis ini memiliki keragaman sangat tinggi. Wajar saja keanekaragaman pola kerja, pola berorganisasi dan pola berpikir mereka menjadi sesuatu yang sedikit anarkis dan hampir selalu balau.

Dalam keadaan seperti itu, kesamaan pendapat atau sikap hanyalah sesuatu yang bersifat minimal belaka. Karena kepekatan tinggi dari sikap dasar minimal itu, maka yang cenderung menyatukan umat Islam hanyalah hal-hal yang bersifat emosional belaka. Kata-kata kunci seperti akidah, kepentingan agama, nasib kaum muslimin, keutuhan hukum agama dan hal-hal lain yang sejenis memiliki nilai lebih yang sangat tinggi dalam persepsi umat, sebagaimana yang dicerminkan oleh pola pemikiran mereka. Slogan seperti “menyimpang dari akidah” atau “merugikan kepentingan Islam” menjadi sangat kuat dampaknya, apabila digunakan untuk membentuk solidaritas intern umat. Kadar muatan emosional yang begitu itulah yang menyatukan para pemimpin umat Islam, dan pada saat yang sama juga mencerai-beraikan mereka. Di luar hal-hal emosional itu hampir-hampir mereka tidak akan pernah bersatu atau bertemu pendapat.

Kecenderungan “bersatu dalam emosi” itu diperkuat oleh tidak meratanya kualitas para pemimpin umat. Ada yang memang benar-benar sudah mampu berkiprah dalam kerangka perjuangan pada taraf nasional, tetapi banyak yang seumur hidup hanya bergerak dalam lingkup lokal saja. Ada yang pantasnya hanya berkiprah di tingkat lokal, tetapi memperoleh kemujuran menjadi pemimpin pada tingkat nasional. Kekurangan dan kelebihan kualifikasi para pemimpin itu membuat kepemimpinan umat Islam menjadi sulit mengembangkan kerangka pemikiran konseptual yang jelas, apalagi yang penuh kematangan. Akibatnya adalah hiruk pikuknya “percakapan antara orang tuli”, karena saling tidak mengerti apa yang diinginkan mitra bicara masing-masing.

Kelangkaan saling pengertian antara para pemimpin itu membawa umat Islam pada ketidakjelasan strategi perjuangan. Ketidakjelasan strategi perjuangan mengakibatkan perbedaan sangat besar dalam skala prioritas program yang akan dilakukan. Antara yang berjangkauan masa yang panjang dan yang pendek disamakan saja prioritasnya. Sebagai akibat, pengorganisasian kepemimpinan umat Islam juga memiliki penekanan yang berbeda dari satu ke lain gerakan Islam. Ada yang menekankan tata laksana dan pengelolaan manajerial sebagai wahana utama kegiatannya, tetapi ada juga yang lebih mementingkan solidaritas dengan massa. Ada yang mengutamakan perluasan jaringan kelompok dalam lingkup masif, tetapi ada juga yang mementingkan dukungan (dan pemberian fasilitas) pemerintah di atas perluasan jaringan. Juga ada yang menitik beratkan solidaritas antarg erakan Islam, walaupun ada juga yang tidak demikian.

Aneka ragam cara pengorganisasian itu menggambarkan betapa balaunya pola pengorganisasian kepemimpinan umat Islam di negeri kita. Tidak mengherankan jika lalu terjadi “sodok-menyodok” antara para pemimpin itu, baik di lingkungan intern masing-masing gerakan Islam maupun yang antargerakan. Perbedaan persepsi, cara kerja dan konsep perjuangan di antara mereka menjadi bertambah intens dengan adanya kekuatan tarik-menarik, yang akhirnya memungkinkan pengembangan pola kepemimpinan yang mengikat semua pihak secara sukarela.

Kerancuan hampir semua sisi kepemimpinan yang dialami gerakan-gerakan Islam itu lebih diperparah oleh perkembangan “politik terhadap Islam” di masa Orde Baru ini. Jika semula pemerintah hanya melayani “pendukung Orde Baru” belaka, maka setelah Pancasila dikokohkan sebagai asas tunggal semua organisasi kemasyarakatan, sikap dasar itu lalu berkembang lebih jauh. Gerakan Islam yang tidak terbuka “mendukung Orde Baru” (baca: mendukung Golkar) lalu juga memperoleh pelayanan yang sama. Hal ini sebenarnya lalu memperbesar peranan organisasi Islam yang berakar di masyarakat dan memiliki kelembagaan dengan penyebaran unit pelaksanaan yang berjangkauan luas. Namun, perbenturan kepentingan antara mereka membuat kemampuan mengembangkan kemandirian dari birokrasi pemerintahan menjadi mengecil lagi. Dengan kata lain, peranan birokrasi pemerintahan menjadi membesar, tanpa harus memberikan pertanggungan jawab kepada masyarakat. Tudingan jari tetap diarahkan kepada para pemimpin umat dari gerakan Islam yang berada di luar lingkungan birokrasi pemerintahan, karena birokrasi pemerintahan itu dipersepsikan hanya sebagai “pendamping” belaka.

Situasi ini menyebabkan kemelut lebih jauh. Hampir semua dana kegiatan umat Islam bersumber dari alokasi yang ditetapkan oleh birokrasi pemerintahan, sudah tentu lengkap dengan “budaya pemotongan” dan jenis-jenis kebocoran yang lain-lain dalam pengelolaan dana. Dan ini berlangsung tanpa ada kemampuan gerakan Islam di luar birokrasi pemerintahan untuk mengontrolnya. Kebocoran dan ketidaktepatan prioritas penggunaan dana akan sangat mempengaruhi efektivitas kegiatan yang dilakukan umat Islam secara keseluruhan.

Dengan menimbang berbagai hal di atas, menjadi jelas pula, bahwa kerancuan pola dan bentuk kepemimpinan Islam juga berdampak sangat besar pada situasi umat prismatik yang menghinggapi kehidupan umat Islam dewasa ini. Setiap pemimpin memiliki “umat”-nya sendiri, yang sekaligus menjadi sumber legitimitas kepemimpinan dan sasaran kiprahnya sebagai pemimpin. Dengan demikian, pengertian umat Islam juga menjadi kabur karena kerancuan pengertian kepemimpinan itu. Siapakah yang sebenarnya dapat disebut sebagai umat?

Sangat mengherankan, bahwa dalam kebalauan berderajat tinggi itu antusiasme umat Islam untuk menghidupkan syiar agama mereka tidak pernah surut secara keseluruhan. Antusiasme yang sangat mengharukan, karena kiprah-kiprah mereka juga menambah kebalauan kepemimpinan umat Islam terlebih jauh. Bukankah setiap tambahan masukan ke dalam pusaran arus yang sangat sulit hanya akan menambah hal yang terserap ke dalam pusaran itu sendiri? Sulit sekali rasanya melepaskan diri dari kemelut umat Islam seperti itu, yang langsung terkait dalam hubungan kausalitas sangat tinggi dengan kebalauan kepemimpinan umat.

Dari manakah perbaikan dapat dilakukan? Mungkin dari upaya mengenali secara lebih rinci lagi entitas yang disebut “umat Islam”. Siapakah mereka, dan di manakah alamat (address) mereka?