Memahami Peran Budaya Pesantren

Sumber Foto: https://narasijurnal.com/2022/09/05/ponpes-rhaudatut-tholibin-cetak-santri-kuasai-kitab-kuning/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

ORANG sering melihat pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan. Ada juga yang memperlakukannya sebagai entitas politik karena para kiai yang memimpin pondok pesantren sering sekali memiliki pengaruh sangat kuat di masyarakat.

Sangat menarik melihat peranan politik yang sekarang dijalankan secara bertentangan di antara para kiai dari pondok pesantren yang berbeda-beda. Peranan ini akan menunjukkan “model” yang akan diikuti para pemilih. Memang ada perbedaan “aspirasi” politik di antara mereka. Ada yang sekadar menggunakan pengaruh yang mereka miliki untuk kepentingan “mendekat” kepada para pejabat tertentu. Namun, ada pula yang lebih mementingkan kemaslahatan umat dan memelihara kepentingan masyarakat lebih luas.

Jarang sekali orang melihat pondok pesantren sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari peranan ini, itulah sebenarnya salah satu fungsi pondok pesantren yang untuk sementara “diredupkan” peranan politiknya. Dari hal itu timbul pertanyaan, dapatkah pondok pesantren, setelah melalui pertentangan dahsyat sebagai akibat pelaksanaan peranan politik itu, akan utuh kembali (minimal sebagai lembaga yang membawakan peranan budaya) di masa-masa akan datang? Dapatkah pondok pesantren mempertahankan “kemurnian” yang dimilikinya?

Penulis berpendapat, kalau memang pondok pesantren mengalami proses politisasi sedemikian jauh sehingga kehilangan fungsi-fungsi lainnya kecuali fungsi politik, “hak hidup” yang dimiliki akan hilang dengan sendirinya karena ia akan mementingkan “hubungan baik” dengan sistem kekuasaan yang ada.

***

PENULIS teringat akan peranan kiai-kiai pondok pesantren yang diuraikan oleh Hiroko Horikoshi dalam disertasinya yang di dalamnya membahas peran mendiang Ajengan/Kiai Yusuf Tojiri, yang mendirikan dan memimpin Pondok pesantren Cipari (Wanaraja, Garut). Dalam disertasinya yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia itu, Horikoshi berbicara mengenai “peranan budaya” besan (alm) Kiai Anwar Musaddad itu. Dalam tulisan tersebut, Horikoshi menunjukkan “kebalikan” teori “makelar budaya” (cultural broker) Clifford Geertz dalam proses pembangunan. Kesimpulan ini didapatkan Horikoshi melalui kajian empiris yang mempunyai nilai tersendiri setelah sekian lama tinggal di pondok pesantren tersebut.

Menurut Clifford Geertz, peranan “makelar budaya” itu menunjukkan bahwa para kiai berperan bagaikan sebuah dam (bendungan) yang “menampung” begitu banyak manifestasi (kehadiran) budaya baru, dan melepas sebagian dari begitu banyak manifestasi budaya baru tersebut. Cara yang digunakan melalui proses memilih mana yang dilepas masyarakat dan mana yang tidak. Geertz melihat, dengan “banjirnya” modernitas budaya, bendungan tinggi itu akan dikalahkan oleh proses tersebut. Karena demikian banyak hal di luar kendali pondok pesantren, akhirnya budaya itu langsung “ditelan” masyarakat. Kebuntuan melakukan peran “makelar budaya” tersebut pada akhirnya akan “mematikan” pemeran budaya itu juga.

Namun, Horikoshi justru menunjukkan bahwa kiai bukanlah bendungan tinggi yang memiliki peranan pasif, melainkan justru menjadi “agen pembaharuan” dengan memilih sendiri mana yang ingin mereka sampaikan kepada masyarakat dan mana yang tidak.

Mudahnya untuk melihat peranan budaya itu, antara lain, dalam “perencanaan arsitektural” pondok-pondok pesantren pada masa lampau. Umpamanya saja, apa yang terlihat di Pondok pesantren Mambaul Ma’arif di Denanyar, Jombang. Pondok pesantren, yang dahulu didirikan pada awal abad ke-20 oleh almarhum KH M Bisri Syansuri, tersebut dimulai dengan pintu masuk melalui sebuah jalan tidak beraspal dari arah timur menuju ke barat, berdiri sebuah masjid yang berada di tengah tanah kosong (plaza). Di sebelah selatan, berdiri kamar-kamar para santri. Mulanya, di sebelah utara plaza itu, terdapat rumah tempat tinggal sang kiai, di kemudian hari pondok pesantren putri dan gedung-gedung sekolah juga didirikan di sebelah utara (di kanan kiri dan di belakang tempat tinggal kiai).

Jadi, jelaslah bahwa pendiri pondok pesantren itu “secara aktif” mengambil perencanaan arsitekturnya dari simbol budaya Jawa yang berlandaskan pada pagelaran wayang. Para santri adalah salikun (aspiran) yang berada di perjalanan menuju ke arah “kesempurnaan pandangan”. Kata salikun dalam bahasa Arab menunjukkan fungsi mereka yang mencari “kesempurnaan pandangan”.

Karena, proses belajar dan mengajar di lingkungan pondok pesantren bukanlah sekadar “menguasai” ilmu-ilmu keagamaan, melainkan juga proses pembentukan pandangan hidup dan perilaku para santri itu nantinya setelah “kembali” dari pondok pesantren ke dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, para kiai adalah mereka yang telah memiliki “kesempurnaan pandangan” (washilun). Dalam pengertian tasawuf, masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah antara keduanya merupakan tempat “pertempuran moral” berlangsung di antara para salikun, yang akan diubah perilakunya oleh washilun.

Filosofi cerita dalam legenda pewayangan Pandawa dan Kurawa, mereka adalah orang yang mencari kebenaran dan orang yang telah sampai kepada kebenaran itu sendiri. Tema “pencarian kebenaran” oleh kedua belah pihak, yaitu Pandawa dan Kurawa, dalam hal ini santri dan kiai, merupakan dua belah sisi yang bagaimanapun juga “berwajah budaya”.

***

DENGAN mengetahui peranan budaya yang dilakukan pondok pesantren, kita sebagai anggota masyarakat mendapatkan kekayaan pengetahuan tentang fungsi pondok pesantren. Jika peranan utama ini “hilang” dari kehidupan masyarakat, kita juga yang akan mengalami kerugian.

Peranan yang semula berdimensi budaya tidak dapat digantikan dengan peranan terakhir yang materialistis. Perkecualiannya adalah jika ada penggantian fungsi budaya oleh “peranan-peranan baru” yang tentu saja tidak dapat “ditukar” oleh sekadar keakraban dengan para pejabat dan penguasa.

Dengan “mengenal” peranan pondok pesantren seperti di sebut di atas, kita sampai pada sebuah kesimpulan yang sangat penting. Akan kita biarkan sajakah “penggantian” peranan budaya pondok pesantren seperti diuraikan di atas oleh peranan materialistis dari sebuah pendekatan politis? Tentu saja jawabnya tidak. Karenanya, kita justru harus memperkuat peranan budaya tersebut dengan memperkenalkan bentuk-bentuk “budaya” baru yang hingga saat ini belum dikenal oleh warga pondok pesantren sendiri.

Contoh proses itu adalah munculnya formalisasi penggunaan kata-kata bahasa Arab untuk nama pondok pesantren . Jika dahulu pondok pesantren dikenal berdasarkan nama daerahnya, seperti Pondok pesantren Tebu Ireng (Jombang) dan Krapyak (Yogyakarta), sekarang menjadi Pondok pesantren Salafiyah dan Al-Munawwir. Penggunaan bahasa Arab ini tidak mengganggu proses budaya yang seharusnya berlangsung. Memang mudah mengatakan perubahan, tetapi yang lebih susah adalah melaksanakannya, bukan?