Membangun Masyarakat Islam Melalui Tradisi Keilmuan

Sumber Foto; https://akarsejarah.wordpress.com/2015/04/12/membangun-kembali-tradisi-keilmuan-islam/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Mengenai Perkembangan Masyarakat Islam, Yogyakarta dahulu selalu ada ketakutan, sebagaimana digambarkan dengan indahnya oleh Dr. Mitsuo Nakamura di dalam disertasinya tentang Muhammadiyah di Kota Gede. la beranggapan bahwa, di kota seperti Yogyakarta maka Islam akan mengalami erosi atau pengikisan. Terdapat perpaduan 3 hal, yang sedikit demi sedikit mengikis semangat ke Islaman orang banyak, apalagi generasi mudanya.

Pertama, Yogyakarta adalah pusat studi ilmu-ilmu sekuler yang dilambangkan dengan Universitas Gadjah Mada, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan lain-lain. Lembaga ilmu Pengetahuan sekuler ini menganut wawasan ilmiah yang didatangkan dan dikembangkan dari kebudayaan-kebudayaan non-agama. Yaitu peradaban atau kebudayaan industri atau masa pasca industri.

Kedua, basis ekonomi masyarakat santri Yogyakarta dihancurkan oleh upaya golongan ekonomi kuat (non-pribumi, biasanya), oleh perusahaan-perusahaan raksasa multi nasional dan oleh proyek-proyek pemerintah. Dengan demikian tidak dapat dikatakan lagi sebagai proyek santri. Kehancuran ini dilambangkan dengan “The die myself drawmanship” atau keruntuhan industri barang dan batik yang dahulu di tangan santri. Kalah dalam persaingan yang sangat tajam sejak pra Perang Dunia 1, pada tahun 30an, di masa depresi sehingga akhirnya menjadi industri sampingan, industri kecil yang tiada artinya. Para santri yang dahulu merupakan saudagar-saudagar, kini melorot secara drastis.

Ketiga, di Yogyakarta ada budaya yang lebih menekankan kejawa-an daripada ke-Islaman. Di Kraton Yogyakarta ada kebudayaan Jawa (kejawen) dalam bentuknya disublimir menjadi suatu sistem kepercayaan tersendiri. Ini juga ditakutkan sebagai efek, suatu keadaan yang akan membawa dampak suatu impact yang bisa mengikis semangat ke-Islaman di daerah Yogyakarta.

Ternyata ketiga-tiganya tidak benar. Kita melihat generasi mudanya bangun kembali memasuki pelukan agama dan yang tua pun demikian pula la. Bahkan yang dinamakan kejawen, justru pusat-pusatnya dimasuki oleh pemikiran-pemikiran yang berorientasi santri. Demikian pula akan halnya gedung sekularisme ilmiah (bukan politis) yaitu: UGM. IKIP dan lain-lain, semua dimasuki semangat kesantrian. Mudah-mudahan di lain kali Sanata Dharma ada santrinya pula. Harapan ini artinya mengundang para pemuda Islam, para calon intelektual Muslim agar berani masuk ke mana saja, jangan hanya hidup di kandang sendiri. Kita tahu, ada saudara-saudara kita yang belajar di Sekolah tinggi Filsafat Driyarkara untuk mempelajari skolatisme Katolik, etika-etika yang mendukung skolatisme, dan kerangka-kerangka berpikir filosofis di mana kaum Yesuit sangat kuat di dalamnya. Sudah tentu kita harus belajar dari mereka dan tidak kehilangan identitas kita. Jadi kita harus sanggup berada di mana saja, bersaing dengan siapa saja dan siap berdialog kapan saja.

Inilah catatan saya, bahwa seandainya Dr. Mitsuo Nakamura kemari ia akan tersenyum puas. la bisa membuktikan bahwa prediksinya benar. Terjadi apa yang dikatakannya sebagai kebangkitan kembali kaum Muslimin di Yogyakarta.

Ia membatasi kasusnya pada Muhammadiyah di Kotagede, tetapi rasanya cukup aplicable, berlaku untuk kaum muslimin di Yogyakarta. Baik yang berada di tengah kota, di pinggiran kota bahkan mungkin di daerah yang nantinya menjadi kota.

Ia akan puas melihat wajah-wajah muda yang sekian banyak ini, yang menyerahkan diri kepada Allah setiap malam dengan penuh kesadaran, tanpa ada yang mendorong. Bahkan ada yang curiga (ini fakta, bukan berbicara politis). Dunia ilmiah sering demikian. Saya dengar mulai ada keluhan bahwa mahasiswa tidak berani menjadi anggota HMI, PMI ATAUPUN IMM, karena nantinya tidak akan diangkat menjadi dosen. Masalah ini harus dikemukakan secara terbuka dan dibicarakan secara waras. Kita harus berani membicarakan hal-hal yang fundamental bagi masa depan ilmu pengetahuan ini. Sebab suatu sikap untuk mengadakan persekusi terhadap satu golongan, jika dilakukan dalam kalangan dunia ilmiah sama artinya dengan memperbudak ilmu pengetahuan dan merupakan tindakan penipuan intelektual walaupun tidak menyangkut ilmu pengetahuan secara langsung karena hanya menyangkut karier beberapa orang. Walau begitu tetap harus dibicarakan.

Sekarang apa yang harus dilakukan Pemuda Muslim kita berhadapan dengan warisan-warisan budaya masa lampau yang membagi-bagi diri kita hingga berkotak-kotak sedemikian rupa. Adalah suatu keanehan bila ada beberapa orang yang mampu menembus kotak-kotak ini. Sampai saat ini saya benar-benar sering merasa sakit hati karena dalam seminar selalu dihadapkan pada pertanyaan: “Bapak ini pendidikannya di mana? Di Pesantren?! Kok bapak mampu ikut!” Ini selalu saya dengarkan. Dan ini baik karena mau mengutarakannya. Tetapi yang paling susah adalah mereka yang menghina sambil diam-diam. Sikapnya baik, secara protokoler benar dan sama-sama partisipan tetapi bersifat tak mengacuhkan kita, dianggap kita tidak punya nilai dan tidak ada gunanya.

Dalam alam yang demikian perjuangan untuk menegakkan hal-hal yang kita anggap benar sangat berat. Warisan masa lampau terlalu sulit untuk diubah begitu saja, dalam satu hari bahkan ada kemungkinan besar kita yang berubah bukan kita yang mampu mengubah.

Oleh karenanya dalam konteks ini saya ingin membicarakan tentang apa yang harus kita lakukan sebagai pemuda Muslim. Siapa saja boleh mencatatnya, bagaimana orang Islam berkiprah, berperilaku dan bila sanggup silahkan jajaki bagaimana perasaan orang Islam. Mudah-mudahan tidak salah mengambil kesimpulan. Jangan mentang-mentang kumpul sekian banyak, lantas dianggap-ekstrim semua.

Sebagai pemuda Muslim, sebagai calon-calon intelektual dan sebagai orang yang akan menjalankan profesi, kita perlu mengambil manfaat yang dapat dipetik dari kehidupan beragama kita kemudian disumbangkan pada profesi masing-masing. Dan melalui profesi atau intelektualitas, kita mengabdi kepada bangsa dan negara.

Tidak mungkin ada satu orang pun menjadi “Jet of all trick,” hebat dalam segala-galanya. Itu hanya mitos saja. Jadi masing-masing ada keterbatasannya, tetapi di dalam keterbatasan ia memiliki kedalaman. Kedalaman inilah yang akan disumbangkan kepada bangsa dan negara serta dengan sendirinya kepada agama juga. Ini mengandaikan bahwa dari agama yang kita peluk yaitu Islam, kita mampu menarik sesuatu untuk disumbangkan kepada dunia luar.

Banyak hal yang dapat dipergunakan tetapi lebih dahulu kita melihat pada aspek tradisi keilmuan orang Islam.

Kita pada umumnya mengenyam pendidikan formal umum, hanya satu-dua yang melampaui pesantren dan pendidikan umum sekaligus. Bagi yang terakhir ini tidak akan heran terhadap apa yang saya kemukakan nanti. Tetapi bagi yang pertama mungkin sesuatu yang sangat aneh, yaitu: Islam di Indonesia memiliki wajah yang sangat berbeda dengan Islam di negeri-negeri lain. Wajahnya, bukan esensinya. Karena esensi Islam di mana-mana sama yakni Tauhid, syari’at dan akhlak, ini sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Begitu ia tidak bertauhid atau tidak bersyari’at ataupun tidak berakhlak maka ia bukanlah seorang Muslim.

Oleh karenanya di waktu MPR membicarakan masalah kebatinan, seorang Kyai sampai mengatakan: “Kebatinan itu tidak bisa diterima karena di dalamnya tidak ada syari’at.” Dan orang kebatinan pun mengatakan: “Kami mencapai ma’rifat, kenyataan kepada Allah tanpa melalui syari’at tertentu (ajaran tertentu). Kita mengikuti ajaran masing-masing.” Bapak Kyai menjawab: “Kalau demikian, ini jatuh ke dalam kategori yang dikemukakan oleh pelopor Tasawuf, Imam Bahluddin An Nasyabandi yang mengatakan:

– Barang siapa yang mencapai hakekat tanpa melalui syara’ maka orang tersebut adalah agnostik, tidak berTuhan.

Bagaimana saya bisa menerima ini, kalau kebatinan sendiri sudah mengatakan: ‘tidak bersyara’. Saya toleran, menghargai saudara-saudara sebangsa. Sudahlah, daripada repot-repot go out saja. Tidak menghalangi TAP MPR, juga tidak turut membuat. Jadi tidak punya tanggung jawab di akhirat kelak.”

Saya menjelaskan hal ini, sekedar ilustrasi bahwa kedudukan syari’at sangat penting bagi umat Islam, sama dengan Tauhid dan akhlak..

Lalu, apa yang membedakan Islam di Indonesia, dengan Islam di tempat lain?

“Begini, pak” kata seorang wartawan asing. Yulian GC, seorang produser siaran radio di Cambridge Massachussetts. Dia memiliki Independent Broadcasting Associated, membuat satu seri tentang Islam selama 13 minggu dengan mewawancarai 200 orang Islam di seluruh dunia, yang nantinya dibikin menjadi 13 seri, dan pada akhir kunjungan ketemu saya. Memang enak dapat giliran yang terakhir karena dapat bertanya tentang apa yang sudah ditemukannya. Mestinya diwawancarai, jadi saya mewawancarai.

“Yang kamu temukan dari Islam itu, apa?”

“Wah, wajahnya Islam di Indonesia kok lain, kenapa? Mereka tidak geger dengan ideologi negara. Mereka tidak secara eksplisit meminta adanya suatu negara teokrasi. Mereka tidak menuntut adanya formalitas negara Islam, tetapi mereka tetap Muslim. Mereka menjalankan ajaran agama secara sungguh-sungguh. Ini, berbeda dengan Islam-Islam lainnya.”

“Islam yang lain bagaimana?”

“Di sana kalau orang Islamnya ta’at, maka pikiran pertamanya adalah bagaimana mendirikan negara Islam, berbeda sekali! Saya sudah mewawancarai orang di mana-mana, seluruh dunia Islam bahkan di India yang penduduk Islamnya hanya 10%. Mereka yang menjalankan syara’ secara betul, masih bermimpi akan Daulah Islamiyah yang disebut sebagai Millah. Di Indonesia, kok tidak?”

“Di Indonesia sudah kalah di Konstituante pada tahun 1959, bagaimana lagi? Jadi kita melihat fakta, sudah kalah permainan, ya sudah.”

“Lalu bagaimana?”

“Ya, sekarang kalau sudah tidak bisa bikin negara Islam, bikin masyarakat Islam, kan simpel? Negaranya Pancasila, Masyarakatnya Islam. Nah, ini Islam di Indonesia. Ya, ada satu dua orang seperti Imran yang mengaku Islam, yang merupakan gerakan sempalan karena batang tubuh umat menuju kepada perumusan masyarakat Islam dalam kerangka negara Pancasila yang ber UUD ‘45; ia yang geger sendiri, tidak mau. Ada juga segelintir Splitter group seperti itu yang terdapat di sana-sini dan mungkin beberapa orang muda yang kalap lalu mengkafirkan semua orang yang tidak secara formal menginginkan satu negara Islam, yang masih memandang rendah Pancasila. Apalagi 90% dari 147 juta jiwa tentu masih ada yang seperti itu. Yang penting batang tubuh umat Islam sudah menerima bahwa kita menciptakan masyarakat Islam dalam kerangka kenegaraan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45.

Perumusan yang demikian gamblangnya dimulai dari debat Soekarno-Mohd. Natsir, debat Soekarno – Agoes Salim yang menuju kepada suatu pengertian bersama tentang masyarakat Islam dengan penuh percaya diri akan mengislamkan Indonesia dalam kerangka kenegaraan yang ada. Dengan perjuangan yang berat selama 30 tahun inilah yang menjadikan Indonesia lain dari yang lain.

Adapun yang menjadi landasannya adalah orang Indonesia memiliki tradisi beragama yang tersendiri, yaitu mampu menjalankan dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupannya secara tuntas, baik dan teratur, tidak tegang serta galak. Bila anda telah pergi ke negara-negara Arab maka melihat kesadaran orang Islam yang tipis sekali. Kecuali kelompok-kelompok teokratis seperti: Firkah Hijrah wa Tafsir di Mesir yang akhirnya membunuh Anwar Sadat, Ikhwanul Muslimin di Syria, Libanon, Sudan, Tunisia dan Mesir. Begitu pula Natonaliration Party di Turki, yang dipimpin oleh Majinadin ar Barkan, mereka memang tuntas menjalankan Islam tetapi di luar mereka pelaksanaan Islam kecil sekali. Umpamanya di Indonesia orang masih malu membuka warung di bulan Ramadhan apalagi dekat masjid maka kalau di negara-negara seperti Mesir, tidak apa-apa dan di samping masjid buka warung minuman keras tidak menjadi persoalan.

Jadi tampak bahwa dalam masyarakat Indonesia tradisi mampu menghubungkan satu bagian dari masyarakat dan sektor-sektor tersebut dirangkaikan dalam kebulatan yang mendukung ajaran-ajaran Islam walau belum 100%. Secara menyeluruh orang Islam di Indonesia mampu menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal ini berasal dari tradisi keilmuan orang Islam di Indonesia. Dan sudah tentu dimulai dari zaman Rasulullah sebab Beliau demikian cinta terhadap ilmu. Bahkan Daoed Joesoef mengatakan bahwa: Al Qur’an turun di bulan Ramadhan dengan surat dan ayat pertamanya berbunyi: Iqra’ bismirabbikalladzi khalaq

Bacalah! Bayangkan, bagaimana Islam terhadap ilmu pengetahuan. Itu benar tetapi lanjutannya yang tidak enak karena dengan alasan Iqra’ turunnya di bulan puasa maka di bulan Puasa tetap belajar. Kalau mau konsekuen. Iqra’ diturunkan malam hari, mengapa sekolah bukannya malam saja?

Kita lihat dari Iqra’ dan dari mana saja seperti afaalaa tatafak karuun, afalaa ta’qiluun, afalaa…. dan seterusnya. Semua menunjuk kepada yaa ulil abshaar, yang merupakan kalimat-kalimat Al Qur’an yang mengandung ajaran untuk berpikir. Dan dengan berpikirlah kita mempunyai tradisi keilmuan serta ditunjang oleh hadits-hadits seperti: Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.

Tradisi keilmuan ini berkembang dari Rasulullah kepada para sahabat, para tabi’in sampai pada tahun seratusan Hijriyah atau antara abad ke 7- 8 Masehi yaitu masa terjadi Flowering, berbunganya pohon-pohon Islam di hidang ilmu pengetahuan. Dimulai dari orang-orang seperti Chalil Ibnu Al Farabi yang meletakkan dasar-dasar ilmu yang benar dengan membuat kamus pertama dalam bahasa Arab: Kaumusul A’in di mana banyak Kyai dan dosen-dosen IAIN yang belum melihat kitab ini karena belum dicetak ulang. Saya melihat dengan tulisan tangan dan menangisi kertas yang sudah tidak bisa diangkat lagi dan untuk itu diperlukan sendok khusus. Saya menyaksikan ketika kitab itu akan difotocopy dan dimicrofilmkannya. Engkaulah yang menjadi penjaga utama kehidupan kaum Muslimin dan engkaulah awal dari suatu tradisi yang membanggakan.

Kemudian muncul kitab Sibaweh yang berasal dari bahasa Parsi; Sibbun Waihun, artinya pipi yang merah seperti buah apel. Dari sinilah muncul kitab yang dinamakan AL KITAB (dahulu Al Quran masih disebut Al-Mushaf) dalam bahasa Inggris disebut THE BOOK, yaitu grammar-nya kitab SIBAWEH demikian tinggi reputasinya dan hebat bukan main. Lalu muncul seperti Abi Nawary, Abi Usman al Jahist dan Yakub al Humawi yang membuat catatan perjalanan serta ensiklopedia pertama tentang binatang. Setelah itu muncul para filosof seperti Al Kindi, Al Farabi dan seterusnya hingga munculnya mazhab-mazhab dalam fikih, Tauhid, bahasa Arab dan lain-lain. Ini adalah tradisi keilmuan yang dimulai sejak dulu dan semuanya merupakan perkembangan yang sangat berarti sekali.

Akhirnya secara keseluruhan memunculkan apa yang dikenal sebagai ilmu agama. Padahal bila dikaji, ilmu agama dalam Islam bukanlah ilmu agama saja Pada tahun 911 H, Imam Suyuthi merumuskan ilmumil Islam (ilmu-ilma Islam) sebanyak 14 macam dalam sebuah kitab sangat kecil, yaitu ITMAMU DHIRAYAH. Dalam kitab ini telah dikategorisasikan fikih, tafsir hadits dan lain-lain. Tradisi ini di Indonesia dipelihara secara utuh. Padahal Indonesia jauh dari mana saja dalam arti sah dari Pusat Kerajaan Islam Pada masa itu pusat-pusat kerajaan Islam di Kairo (Daulah Fatimiyah), Istambul (Daulah Ismaniyah), Baghdad (Daulah Abbasyiah) dan kerajaan kecil lainnya, semua mengumpulkan atau mendokumentaskan karya-karya ilmah para ulama (orang pandai). Akhirnya di Indonesia terjadi upaya untuk menyusun sendiri text book yang dibawa dan negara-negara Arab yang disebut mutum (textbook dasar) yang sangat sederhana. Sebagai contoh Minhajul ‘Abidin (metode orang beribadah, orang yang menyembah Tuhan) dari Imam Ghazali, kitab akhlak yang sedikit filosofis. Sesampainya di Indonesia dikembangkan dalam bentuk terjemahan dan dikomentari. Bahkan 1000 tahun kemudian (tahun 1936) kitab tersebut dikomentari oleh Kyai Ikhsan Jampes Kediri dalam bentuk buku (2 jilid) yang diberi nama Sirajuth Thalibin (obornya para pelajar). Ini menunjukkan kuatnya tradisi keilmuan Islam di Indonesia. Bahkan sekarang kitab ini dipakai oleh Al Azhar sebagai acuan dalam post graduate untuk program doktor dalam filsafat Islam. Barang siapa mau belajar tasawuf harus terlebih dahulu membaca buku Kyai Ikhsan al Kediri tersebut. Anehnya mereka tidak tahu Kyai Ikhsan adalah orang Indonesia.

Buku tersebut juga dipakai di Syantet. Ketika saya berjumpa dengan Prof. Dr. Sulaiman Young, guru besar ilmu pemerintahan pada University Georgetown di Washington, ia bertanya:

“Pernah mendengar yang namanya Ikhsan al Kediri?”

“Oh, ya!”

“Tahu kitabnya?”

“ Tahu, Suraputh Thalibin.

“Itu dipakai di Gambia untuk orang-orang yang mau jadi Kyai. Ujiannya harus mampu membaca kitab itu.”

Padahal kitab tersebut baru dicetak pada tahun 1936 tetapi kekuatannya begitu hebat sehingga dengan mudah dikenal orang dan dipakai sebagai textbook yang tangguh, tidak kalah dengan textbook di bidang lainnya.

Sayangnya, tradisi keilmuan yang begitu harum, ternyata mulai kena  erosi akibat kita modernisir diri dan lupa akan tradisi sendiri. Bukti erosi tersebut adalah tidak dikenalnya kitab tersebut di IAIN apalagi di UGM dan IKIP. Padahal karya beliau masih ada satu lagi yang belum diterbitkan, yaitu: Minhajul Imdad dan tidak hanya itu saja karena dengan tradisi yang kuat itu ulama kita pernah mendominir ilmu pengetahuan pada akhir abad ini (1870-1930). Kita menyaksikan kehebatan ulama-ulama Indonesia di Mekkah, pusatnya Islam.

Kyai Nawawi Banten atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nawawi al Jawi  (Jawa) untuk membedakan dari Al Fadhani (Padang). Al Sumbawi  (Sumbawa) dan lain-lainnya. Beliau mendapat gelar Sayyid Ulama al Hijaz, yaitu ulama  Madinah-Mekkah. Jadi apa yang beliau tulis fatwa, dianggap  sebagai pemutus kata bagi para Khalifah. Di Istambul, Sultan Abdul Hamid menulis surat untuk bertanya pada ulama Hijaz, Ulama al Humud (Hindu, India). Ulama Iffritiyah yang merupakan perwakilan-perwakilan kawasan atau koordinator regional di kalangan ulama.

Kemudian oleh Kyai Mahfudh Tremas tradisi tersebut diteruskan di Kasingan, Bangkalan dan di mana-mana. Malahan di Jampes untuk tasawuf dikenal Kyai Saleh Dharat dan tradisi ini terus bergerak hingga saat ini, walaupun mengalami erosi, kekuatannya masih dahsyat. Kalau orang berbicara tentang Islam di Mekkah maka yang paling berhak berbicara adalah Syekh Yasin Padang yang sekarang menjadi sehebat-hebatnya orang di sana.

Adapun maksud saya mengemukakan hal ini adalah agar tradisi keilmuan yang hebat dan kuat ini jangan dilupakan. Misalnya bila anda dari jurusan sejarah, cobalah digali! Jangan mentang-mentang pesantren itu tempatnya bakiak hilang maka terus dianggap tidak ada artinya, tidak diteliti, dikaji dan tidak diapa-apakan. Jadi di balik kekomprotan, kekotoran dan di balik segala macam, dari panu hingga kadas sekalipun, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang maha hebat dan ini yang harus dimengerti serta dikembangkan seperti Prof. Dr. TM Hashi Ash-Shiddiegy yang telah mengembangkan studi perbandingan dikenal dan digali kembali dengan cara, yang mampu menggali memberikannya kepada yang tidak mampu.

Misalnya kalau berbicara tentang jihad, bagaimana? Jihad dalam Islam bukanlah Komando Jihad karena itu bukan bikinan orang Islam. Jadi jihad dalam Islam dapat dilihat pada kitab YA’AMATU THALIBIN, jilid 4, tentang kitabul jihad. Hal ini membuat alat-alat keamanan mengkirik, bangun bulu kuduknya karena yang dibayangkan adalah DI/TII, Imron dan sebagainya. Padahal bila mampu membaca kitab tersebut jihad adalah:  kewajiban yang fakultatif, minimal setahun sekali dikerjakan oleh setiap orang Islam dan kalau tidak ada yang mengerjakan dosalah semua, namun bila ada yang mengerjakan maka maka gugurlah yang lain. Penguraiannya sebagai berikut:

  1. Kita hanya berperang di jalan Allah kalau diserang. Jika tidak diserang maka tidak berperang. Di negara Pancasila kalau menyerang cuma dengan peraturan seperti tidak boleh libur di bulan Ramadhan maka tidak usah repot-repot menyerang. Tunggu saja matinya, toh mati sendiri, lama-lama akan bosan dan akhirnya akan libur kembali.
  2. Menegakkan bukti keesaan Allah, Tauhid, yang dinamakan ontologi Jadi bagaimana Tuhan itu Esa dibuktikan.
  3. Mencegah kerusakan bagi mereka yang telah dilindungi agama.

Maksudnya:

  • mereka, dalam arti baik yang Muslim maupun non Muslim yang berada dalam masyarakat, wajib dipelihara keamanannya di Indonesia,  tidak hanya sesama Muslim saja karena kita mayoritas.
  • Mencegah kerusakan, diartikan terancamnya kehidupan karena kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, caranya: memberikan makan bagi yang tidak punya (fungsi Bulog) sebagai kewajiban fakultatif, jangan ada yang mati kelaparan. Termasuk di dalamnya malnutrisi yang mengancam kebutaan dan gondok 1 juta penduduk di Indonesia. Demikian pula kebutuhan akan sandang dan pangan.

Hal ini secara detail dibentangkan dalam kitab tersebut, tinggal dikembangkan, karena sudah kuno, dan dari titik ini kita bertolak. Ini semua sudah ada dalam tradisi-tradisi yang begitu kaya yang bersumber pada AL Qur’an, Al Hadits dan kitab-kitab para ulama. Dan ini adalah tradisi keilmuan yang dibawakan oleh orang Islam di Indonesia, membuat para Kyai pesantren diikuti orang Inti dari kehidupan Kyai adalah melayani kebutuhan masyarakat di bidang masing-masing dengan bertitik tolak dari ajaran agama. Ini yang harus dikembangkan.

Saya hanya mengimbau saudara-saudara untuk memikirkan masalah in semua secara sungguh-sungguh, berbicaralah dengan kitab-kitab kuning, dan carilah terjemahan-terjemahan berbagai macam kitab-kitab karena di dalamnya terdapat mutiara-mutiara kehidupan.

Saya kebetulan mendapat tugas dari UNICEF, untuk mengkaji tentang pandangan Islam terhadap gizi yang ternyata dengan Al Qur’an dan Hadits saja, telah segerobak bahan (60 halaman) hingga bingung mau diapakan. Karena saya bukan nutrisionis maka tidak mampu berbuat banyak, mudah-mudahan ada ahli gizi yang tahu. Jadi saya hanya mengambil prinsip-prinsip pokoknya saja, umpamanya:

  • Islam memuliakan kehidupan,
  • Untuk kehidupan suatu hak yang asasi dari manusia, untuk menjaga kemuliaan hidup, maka hidup harus dipertahankan hingga kualitas yang cukup.
  • Kualitas yang cukup ini, membutuhkan perhatian pada masalah-masalah gizi.

Mari kita teruskan tradisi keilmuan umat Islam, kita semua mewarisi suatu tradisi yang gemilang di mana kita semua punya hak untuk mengambilnya dari situ. Dan kita juga mempunyai kewajiban untuk melestarikan warisan budaya umat Islam di Indonesia yang sangat tinggi. Dikatakan sangat tinggi karena ketika saya berumur 15 tahun, sudah diharuskan untuk menghafal Alfiah yaitu: grammar bahasa Arab 1000 baris dengan sajak dan disertai tirakat: tidak makan nasi, tidak boleh kena garam dan tidak boleh makan daging berjiwa selama 9 bulan. Sehingga kekurangan vitamin segala macam, badan hijau semua, dan kudisan. Waktu itu merasa jengkel karena bagi saya relevansinya tidak terasa sama sekali. Apalagi jam 12 malam mauh disuruh ikut Kyai ke masjid untuk membaca segala macam doa.

Ini tradisi yang begitu ketat dan keras. Dan tidak semua orang harus demikian, tetapi tradisi ini harus kita warisi dan diteruskan dengan cara, tingkat serta sesuai dengan bidang masing-masing. Ini yang paling penting.