Kata Pengantar: Meretas Kinerja Politik yang Lebih Baik
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Baik secara pribadi maupun sebagai salah seorang pimpinan di DPP PKB, saya menyambut dengan sangat gembira terbitnya buku Partai untuk Rakyat oleh DPW PKB Jawa Tengah ini. Buku ini bukan saja dapat dijadikan pedoman berpolitik secara etis oleh kader-kader PKB, melainkan juga sebagai panduan bagi anggota masyarakat agar mengetahui cara menuntut hak-hak politiknya terhadap lembaga-lembaga politik dari para politisi yang dipilihnya.
Adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri oleh siapapun yang mau jujur bahwa hingga saat ini proses politik kita masih bersifat sangat elitis. Artinya, keputusan-keputusan politik lebih banyak ditentukan oleh para elit politik yang telah dipilih oleh rakyat melalui pemilu, namun setelah mereka menduduki jabatan politik tidak lagi perduli terhadap tuntutan-tuntutan politik dan aspirasi masyarakat.
Kita senantiasa melihat terjadinya kesenjangan antara konfigurasi politik di tingkat rakyat yang berbeda dengan konfigurasi politik di tingkat elit, sehingga apa yang menjadi kehendak sebagian besar rakyat justru hanya menjadi kehendak sebagian kecil elit politik. Kenyataan ini memberi kesimpulan bahwa kinerja politik kita tidaklah aspiratif. Ini kita catat sebagai ironi dari proses reformasi yang telah kita bangun dengan banyak pengorbanan. Tidaklah mengherankan jika kemudian ada yang mempertanyakan manfaat partai politik untuk rakyat. Mereka menanyakan, apa gunanya rakyat mempunyai atau memilih partai politik, jika dalam kenyataannya rakyat hanya diperalat untuk memilih tetapi aspirasinya tidak pernah diperhatikan.
Hal itulah yang menurut saya sangat relevan untuk menjelaskan hadirnya buku Partai untuk Rakyat yang disusun oleh LP2KS (Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Kajian Strategis) DPW PKB Jawa Tengah ini. Sebagai partai politik yang menjadi salah satu pemenang pemilu dalam debutnya yang pertama tahun 1999, PKB mencatat dengan seksama adanya kesenjangan atau tiadanya garis yang berbanding lurus antara kehendak rakyat dan kehendak para politisinya. Lihat saja dalam proses penanganan berbagai kasus dugaan KKN yang lebih banyak diselesaikan melalui deal-deal atau tukar menukar pemutihan kasus di antara partai politik yang tokoh-tokohnya dianggap terlibat. Karena mereka mempunyai palu sebagai penentu keputusan formal-politik maka kongkalikong seperti itu terus berjalan, sementara rakyat tetap tak berdaya untuk mengubahnya. Apalagi para politisi itu mempunyai akses yang sangat besar terhadap media massa untuk mengelabui publik dengan opini yang dibangunnya secara tidak fair.
Rakyat tidak buta dari kenyataan bahwa berbagai lembaga penelitian yang independen baik nasional maupun internasional selalu menyimpulkan bahwa Indonesia selalu masuk dalam lima besar negara paling korup di dunia, tetapi dalam kenyataannya hampir tidak ada koruptor yang dihukum karena dakwaan korupsi. Memang dari ribuan kasus dugaan korupsi ada juga yang dihukum, tetapi selain jumlahnya sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari sebenarnya mereka dihukum hanya karena apes tak bisa mencari lubang penyelamatan dan bukan dihukum karena sebuah tindakan rencana yang disiapkan secara sistematis oleh pemerinah untuk menegakkan hukum.
Dalam pengamatan saya, kenyataan ini, minimal, disebabkan oleh dua hal. Pertama, birokrasi penegak hukum kita dan para pemain politiknya masih warisan lama yang korup juga sehingga mereka terus bermain dengan cara lama yang berwatak korup. Kedua, pemain-pemain politik baru yang direkrut melalui proses reformasi ternyata tidak dilakukan secara selektif karena tiba-tiba saja ada kue politik yang harus dibagi melalui partai-partai baru yang ternyata memperoleh kue pemilu. Tepatnya, proses rekrutmen atau pemain-pemain baru ini dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa kriteria yang ketat untuk mendukung reformasi. Akibatnya banyak pemain politik baru yang gagap dalam berpolitik, tidak profesional, dan selalu kalah dalam taktik-taktik politik karena tidak paham pada konsep dan tidak menguasai medan korup yang mengelilinginya.
Lebih gila lagi, tidak sedikit para pemain politik baru ini yang justru bervisi balas dendam, artinya mereka berpikir bahwa menjadi politikus itu merupakan kesempatan untuk membalas dendam dengan memanfaatkan peluang untuk korupsi karena dulu korupsi hanya dinikmati oleh pemain politik Orde Baru. Mereka berpendapat bahwa “inilah kesempatan untuk menikmati korupsi yang dulu hanya bisa dinikmati oleh orang-orang Orde Baru. “Astaghfirullah al-Adziem”.
Tapi kita tidak boleh berputus asa dan tidak boleh turut mengajak publik agar menjadi bangsa ini kembali saja ke Orde Baru dengan alasan bahwa korupsi Orde Baru lebih terkendali. Pandangan seperti ini tidak boleh dikembangkan dan harus dibendung habis-habisan. Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki kinerja partai dan elit politiknya. Proses rekrutmen politik oleh internal partai harus dilakukan melalui seleksi dan kriteria kualitas moral dan profesionalitas yang jelas. Dan dalam waktu yang bersamaan kita harus membangun kesadaran rakyat untuk bisa paham akan hak-hak politiknya serta cara meng-agregasi dan mengartikulasi kepentingan politiknya, termasuk cara mengontrol para politisinya baik di legislatif maupun eksekutif. Inilah urgensi dari buku yang diberi judul Partai untuk Rakyat ini.
Buku ini dapat menjadi pegangan atau buku pintar, paling tidak secara elementair, untuk mendukung gagasan perbaikan yang tanpa putus asa tersebut, minimal, untuk seluruh warga PKB. Syukur-syukur bisa diterima juga oleh masyarakat di luar PKB secara meluas sebagai gagasan rasional dan tulus. Isinya yang disajikan dalam bentuk tanya jawab dengan bahasa yang mudah untuk dicerna menyebabkan buku ini dapat dibaca oleh berbagai kalangan dan tingkat intelektualitas yang tidak harus tinggi.
Atas pandangan dan penilaian seperti itulah, maka dengan senantiasa mohon petunjuk Allah Yang Maha Agung, saya turut mengantarkan kehadiran buku ini ke tengah-tengah masyarakat. Semoga bisa bermanfaat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi perjalanan bangsa Indonesia yang kini sedang berusaha keluar dari krisis untuk kemudian meretas jalan baru guna menuju masa depan yang lebih baik.