Pemilihan Lima Gubernur dan Tradisi Demokrasi

Sumber Foto: https://www.inews.id/news/nasional/batas-laut-pulau-jawa-berdasarkan-peta-daratan-luas-hingga-kondisi-alamnya

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Apa yang dapat dicatat dari hasil pemilihan Gubernur Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat? Menurut undang-undang yang ada, ada permainan uang, penggunaan APBD, dan intimidasi fisik kepada sebagian anggota DPRD provinsi. Tapi, hasil yang dicapai diterima baik oleh yang kalah maupun masyarakat.

Memang masih ada masalah ikutannya, tetapi hal itu diselesaikan melalui prosedur hukum, dan tidak melalui proses politik dengan penggunaan kekuatan massa. Apa pun keberatan dari calon yang kalah maupun masyarakat, penghormatan kepada proses hukum harus dilihat sebagai proses pendewasaan kehidupan politik yang wajar-wajar saja. Sikap menerima kekalahan oleh Ace S.M. di Banten, Tarmidi Suhardjo di DKI Jakarta, Abdul Kahfi di Jawa Timur, dan Mardijo di Jawa Tengah mendorong tercapainya stabilitas politik yang amat diharapkan saat ini.

Jika dikombinasikan dengan krisis multidimensi yang berkepanjangan dan tidak jelasnya kedaulatan hukum di negeri kita, sebuah sikap untuk menggunakan kekuatan politik dalam pemilihan gubernur di sebuah provinsi, akan menghasilkan situasi tidak menentu. Dan itu akan menghambat pertumbuhan demokrasi kita. Dengan menunjukkan sikap “jantan”, serta mendasarkan diri pada proses hukum, yang bagaimana cacatnya sekalipun tentu akan diproses dengan benar pada saatnya nanti.

Jika proses-proses lain turut membantu, proses demokratisasi akan berjalan terus dan dalam jangka panjang akan menghasilkan negara yang demokratis. Ini penting dijadikan catatan awal tulisan ini, karena mengandung signifikansi amat besar bagi kehidupan sebagai bangsa.

Dengan ringan, Tarmidi, Ace, dan Mardijo yang seluruhnya dicalonkan arus bawah PDI Perjuangan mengakui “keunggulan” lawan, sambil melihat kenyataan, perlu ada perbaikan dalam cara memilih gubernur di masa datang.

Menurut Tarmidi dan Mardijo yang menyakitkan bukan pemilihan gubernur itu sendiri, tetapi dipecat DPP PDI-P dari kedudukan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) provinsi di tiap wilayah. Tarmidi menyatakan itu dalam dialog interaktif dengan penulis dan Ace di sebuah televisi swasta baru-baru ini. Sedangkan Mardijo disampaikan melalui sebuah radio swasta di Jakarta.

***

PERNYATAAN tokoh-tokoh itu untuk menerima hasil pemilihan-meski tidak adilnya sekalipun-adalah tanda kedewasaan pandangan politik yang diperlukan guna menegakkan demokrasi sepenuhnya bagi kita di masa datang. Kedewasaan pandangan politik itu memungkinkan tegaknya stabilitas politik di negeri ini. Karena tantangan politik dewasa ini akan mementingkan tercapainya stabilitas politik yang amat dibutuhkan untuk mengatasi krisis-multidimensi di berbagai bidang kehidupan. Stabilitas politik juga diperlukan guna menumbuhkan proses demokratisasi politik di negeri ini, sesuatu yang sebenarnya amat diharapkan oleh mereka yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia (HAM).

Ketika jatuh korban mahasiswa di Universitas Trisakti dan Atma Jaya tahun 1998, oleh tangan-tangan kriminal– entah milik siapa-sebenarnya masyarakat demokratislah yang diharapkan akan tumbuh di negeri ini setelah pemerintahan otoriter Orde Baru ditumbangkan. Tetapi hal itu tidak kunjung terwujud, bahkan kini KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) merajalela jauh lebih hebat dari masa lampau. Ketika seorang aktivis politik menjadi anggota DPR ingin mengusut tuntas pembelian pesawat Sukhoi, anggota DPR lain dari sebuah partai besar mengintimidasinya dengan menyatakan upaya itu sebagai cara untuk mendiskreditkan Presiden.

Ini jelas intimidasi politik yang menghambat proses demokratisasi di negeri kita. Bandingkan ini dengan sikap “mengalah” yang penulis tunjukkan saat dilengserkan secara inkonstitusional oleh MPR pertengahan 2001. Bila dulu seorang presiden dapat dilengserkan karena pertimbangan-pertimbangan politik-meski secara hukum tidak terbukti berbuat salah-justru kini seseorang dengan jabatan sama “dilindungi” dengan intimidasi dari pemeriksaan secara sah oleh seorang anggota DPR.

Berkaca dari kejadian itu, masih adakah harapan bagi tegaknya demokrasi di negeri ini pada hari-hari mendatang? Ini penting dijawab dan diwujudkan, karena tidak ada jawaban maka rakyat akan menggunakan satu-satunya cara untuk merebut kekuasaan, yaitu revolusi sosial atau konflik horizontal melalui penjarahan dan tindak kekerasan lain.

***

OLEH karena itu, tindakan mereka yang kalah dalam perebutan jabatan gubernur di lima daerah yang disebut itu adalah sebuah perkembangan politik amat penting dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Sikap mengalah ini amat besar artinya meski masih terjadi intimidasi dan politik uang. Kedua hal itu dapat dihilangkan di masa depan dengan pemilihan kepala daerah (gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota) secara langsung oleh rakyat. Hal ini sesuai dengan kenyataan, presiden dan wakil presiden dalam pemilu nanti akan dipilih langsung. Di negeri mana pun, pemimpin eksekutif dalam pemerintahan adalah orang yang dipilih melalui pemilu.

Sebuah demokrasi memerlukan tumbuhnya tradisi demokratisasi, tidak hanya adanya institusi atau lembaga yang mencerminkan demokratisasi, seperti MA, BPK, Bank Sentral yang independen dari campur tangan pemerintah. Institusionalisasi tanpa tradisi, tidak akan menciptakan demokrasi yang benar di mana pun juga, seperti dibuktikan pemerintahan Orde Baru selama puluhan tahun.

Sikap mengakui kenyataan dari mereka yang dikalahkan dalam pemilihan gubernur di lima daerah yang disebutkan adalah bagian pembentukan tradisi politik yang baru di negeri kita, hal ini sama pentingnya dengan penetapan proses pemilihan langsung bagi kepala daerah.

Pembentukan undang-undang pemilihan kepala daerah yang bebas dari campur tangan pemerintah pusat sebagai langkah institusional penting, selain diimbangi tradisi berdemokrasi yang sehat oleh tokoh-tokoh yang kalah. Dalam hal ini seorang Ace, Tarmidi, Mardijo, dan Kahfi bahkan bernilai sama tinggi dengan yang menang, bahkan lebih tinggi dari yang menang, jika kemenangan itu diraih dengan cara inkonstitusional.

Seorang pemenang dengan tangan “berlumuran darah”, tidak tinggi nilainya dalam pandangan sejarah untuk jangka panjang. Karena itu kita juga harus menghormati tradisi itu, sama halnya saat mendiang Presiden John F. Kennedy menyatakan penghormatan kepada Senator Robert E. Taft yang kalah dalam pemilihan Presiden AS, dan Harry S. Truman menilai keduanya sebagai orang yang sama besar bagi sejarah AS.