Pengembangan Kebudayaan Islam Indonesia

Sumber Foto; https://imujio.com/kebudayaan-islam-di-indonesia/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam kehidupan bangsa saat ini terbagi antara dua buah kecenderungan. Pertama, kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua, adalah kecenderungan untuk menjauhi sedapat mungkin formalisasi ajaran Islam dalam manifestasi kebudayaan bangsa. Masih belum dapat diramalkan mana yang akhirnya menjadi kecenderungan umum di kalangan kaum muslimin, karena pergulatan budaya selalu memakan jangka waktu panjang dan sulit diukur. Namun ada baiknya untuk menelusuri beberapa aspek terpenting dari pergumulan tersebut, karena hasilnya akan sangat menentukan bagi kehadiran Islam sebagai agama di bumi nusantara. Dengan demikian, juga berarti besar bagi kehidupan berbangsa kita di kemudian hari.

Formalisasi itu terutama mengambil bentuk desakan kuat untuk memanifestasikan apa yang dirumuskan sebagai “dimensi Islam” dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk kehidupan budaya kita. Kalau kebudayaan kita rumuskan sebagai corak kehidupan yang memperlihatkan kehalusan rasa dan keluhuran budi serta kedalaman pengalaman batin, maka dituntut kesemuanya itu harus ‘diwarnai’ oleh ajaran Islam. Bahasa sebagai medium utama bagi kehidupan suatu kebudayaan haruslah mencerminkan penyerapan ajaran formal Islam, karena hanya dengan cara demikianlah ajaran agama dapat diamalkan secara tuntas, tidak sepotong-sepotong. Tuntutan pengucapan salam sewaktu bertemu sesama muslimin, sebagai pengganti ucapan selamat pagi-selamat malam, umpamanya, adalah salah satu contoh kecil belaka dari kecenderungan tersebut. Karena bahasa juga, dituntut untuk “di- Islamkan”, maka semakin banyak tuntutan untuk menggunakan peristilahan bahasa Arab sebagai bahasa Al Qur’an, dalam kehidupan sehari-hari. Peringatan ulang tahun diubah menjadi “millad (kelahiran)”. Bahkan kata sahabat, yang pada dasarnya adalah bahasa Arab, terasa jauh dari “dimensi keislaman”, dan dituntun agar diganti dengan ikhwan. Dan demikian seterusnya. Kalau dalam penggunaan istilah bahasa saja sudah demikian, apalagi dalam hal-hal lain. Di samping tuntutan penampilan “dimensi Islam” dalam banyak manifestasi kebudayaan kita, juga muncul tuntutan untuk menghilangkan atau mengubah manifestasi kebudayaan yang dianggap “tidak Islami”.

Dengan demikian, yang muncul lalu adalah sikap untuk menampilkan Islam sebagai “budaya alternatif” terhadap segala macam bentuk budaya yang ada di tanah air kita. Dengan demikian, serangkaian manifestasi kebudayaan yang ditampilkan sebagai memiliki “dimensi Islam” lalu digunakan sebagai tolok ukur ideal untuk menilai manifestasi budaya pada umumnya. Penampilan Islam sebagai “budaya ideal”, yang terlepas dari akar budaya lokal, adalah dambaan kecenderungan ini.

Haruslah kita lakukan tilikan, betapapun ringkas dan hanya pada garis besarnya saja, atas segala tampilnya tuntutan akan “budaya alternatif Islam” itu, mengingat besarnya implikasi yang dikandungnya.

Al Qur’an sendiri, sebagai sumber utama pemikiran kaum muslimin dan sendi ajaran Islam, sebenarnya berwatak lokal, penggambaran surga sebagai “susu dan madu yang mengalir bak sungai”, buah-buahan yang didambakan oleh manusia penghuni padang pasir, dan pengertian-pengertian bangsa Arab akan kehidupan, merupakan wahana utama untuk menyampaikan pesan-pesan universal yang dibawakan Islam. Demikian pula hadits Nabi, yang penuh dengan ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang khas dari jazirah Arabia, bukannya bahasa Arab yang difahami kawasan lain, seperti penggunaan kata A’rabiyyun untuk orang kampung dan contoh-contoh lain.

Tradisi itu diteruskan oleh para ulama dan budayawan serta patron-patron mereka. Warna lokal dari kesenian Islam sangat menonjol, demikian pula wawasan lokal dari pemikiran kaum muslimin selama ini. Universalitas dicari pada keabadian pesan-pesan Islam bukan pada manifestasi lahiriah dari kehidupan budaya masing-masing lokal. Karena itulah yang muncul di Jawa adalah kiai dan pesantren, bukannya syekh dan ma’had. Sedangkan di Sumatera, surau dan tuan guru, penyerapan warna lokal itu sudah berjalan demikian jauh, sehingga beberapa istilah kunci dalam ajaran formal Islam pun sudah di-“pribumi”-kan, seperti kata fardlu, yang dalam “bahasa lokal” di nusantara disebut perlu dan memiliki arti kebutuhan, padahal semula berarti kewajiban dan keharusan. Arsitektur tropis kita sejak semula sudah menolak manifestasi “arsitektural Islam” dari Timur Tengah, seperti penyediaan halaman luas di balik dinding tembok yang tinggi, dengan lorong sempit sebagai jalan penghubung dengan dunia luarnya. Pola tersebut didiktekan oleh kenyataan bahwa masyarakat Arab mengutamakan pola pergaulan anggota keluarga besar saja, yang berbeda dengan pola pergaulan kita yang serba terbuka. Juga kebutuhan kita akan alur terbuka bagi aliran udara, untuk mengatasi kelembaban udara yang tinggi, tidak memungkinkan penyekatan ruang oleh tembok-tembok sangat tinggi. Kalau dipindahkan kepada pengamatan bidang-bidang lain, terutama seni drama, seni rupa, sastra, dan seni musik serta tari, jelas warna lokal selalu terserap sangat banyak oleh apa yang kita kenal sebagai “kesenian Islam” seperti rebana, seudati, japin, hikayat-hikayat, dan seterusnya. Simbolisasi ajaran Islam dalam sejumlah “perlambangan lokal”, seperti tauhid oleh mustaka masjid di Jawa dan asketisme sufi oleh tarikat menurut cara daerah masing-masing, jelas memperlihatkan penyerapan sangat tinggi oleh “kesenian Islam” atas “budaya lokal”. Justru di sinilah terletak kekuatan adaptif Islam, yang memungkinkannya melakukan regenerasi diri tanpa kehilangan akar-akarnya. Kalau kita tilik dari sudut pandang di atas, haruslah kita prihatinkan munculnya desakan dan tuntutan kepada formalisasi ajaran Islam secara berlebih-lebihan dalam kehidupan budaya kita. Sesudah majalah Islam memuat teguran keras dari seorang pembacanya, yang menghardik cara mencium bendera dalam upacara ketentaraan, dengan vonis bahwa hal itu akan melarutkan tauhid dan keimanan kepada Allah semata. Contoh seperti ini dapat dicari deretannya secara tidak berkesudahan di kalangan kaum muslimin.

Masalahnya adalah apa yang harus dilakukan untuk menghindarkan tuntutan formalisasi yang berlebih-lebihan itu? Apakah akibatnya, jika kecenderungan itu dibiarkan? Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut sangat penting untuk kita renungkan.

Implikasinya nyata sekali. Jika kecenderungan formalisan ajaran Islam dalam budaya terlalu kuat, akibatnya adalah ketakutan luar biasa kepada Islam, di kalangan mereka yang masih mementingkan warna lokal dari kebudayaan nasional kita. Keanekaragaman budaya bangsa menjadi terancam oleh munculnya “regimentasi oleh Islam”, sebagaimana sekarang kita rasakan ketakutan kepada “regimentasi budaya feodalistik”. Karenanya, pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia haruslah memiliki arah yang jelas. Pengembangan itu harus ditujukan kepada sikap keterbukaan antarbudaya, di mana antara Islam dan paham yang pemikiran lain dan sistem budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti itu adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal, dan melayani kesemua budaya lokal itu menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing. Dan itu semua hanya dapat ditumbuhkan, kalau kebudayaan Islam justru menumbuhkan dalam dirinya sendiri sebuah wawasan Nasional yang berpijak pada bumi Nusantara, dan tidak terlalu banyak berpaling kepada.