Politik Kita dan Perubahan Sosial

Sumber Foto: https://www.orami.co.id/magazine/perubahan-sosial?page=all

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

TULISAN “Yang Diagungkan, yang Dilecehkan” (Kompas, 7/5/04), melaporkan perubahan besar yang terjadi dalam pagelaran wayang, merupakan contoh dari kuatnya arus perubahan sosial yang kini sedang terjadi dalam kehidupan bangsa kita. Perubahan sosial ini terjadi dalam hampir semua bidang kehidupan, termasuk dalam “ketidaksopanan” berlalu lintas. Perubahan-perubahan sosial itu disebabkan berbagai faktor, baik yang ada dalam kehidupan internal bangsa maupun karena sebab-sebab eksternal.

Hal ini juga terlihat pada pandangan kita mengenai kehidupan itu sendiri, yang tampak dalam penggunaan bahasa yang kita lakukan. Bukan hanya munculnya bahasa prokem (preman), tetapi juga pada eufemisme (penghalusan) penggunaan bahasa nasional kita.

Seperti kata Prof. Dr. Toeti Herati Nurhadi, penggunaan bahasa semu telah merajalela seperti dicontohkan dalam istilah “diamankan” untuk istilah ditangkap dan “disesuaikan” untuk istilah harga yang dinaikkan. Hal yang semula bersifat “penghalusan bahasa”, akhirnya berubah menjadi pelarian dari kenyataan.

***

EUFEMISME itu mengakibatkan tersekatnya komunikasi terbuka antargolongan, yang mengakibatkan munculnya budaya kekerasan (culture of violence) karena sudah tidak adanya komunikasi sosial yang berarti.

Ini terlihat gamblang dalam kejadian tindakan-tindakan pihak kepolisian negara di kampus UMI (Universitas Muslim Indonesia) Makassar baru-baru ini. Mahasiswa dipukuli, ditendang, ditembak, itu adalah bukti tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia di kalangan aparat kepolisian kita. Mahasiswa seolah-olah musuh mereka yang harus dibunuh, tidak untuk dilindungi.

Perubahan fungsi dalam hubungan antara mahasiswa dan itu menunjukkan perubahan nilai-nilai dalam kehidupan bangsa, yang juga menunjukkan terjadinya perubahan sosial yang amat dahsyat. Hal inilah yang harus kita mengerti dari “Peristiwa Makassar” itu.

Dari sudut pandang ini, masalah pergantian Kepala Kepolisian RI (Polri), seperti diusulkan DPR, hanya merupakan bagian dari proses amat besar untuk menyikapi perubahan sosial itu. Tentu ada pihak yang menganggap penggantian Kepala Polri diperlukan untuk menunjukkan keprihatinan pemerintah atas kebutuhan menata kembali sistem nilai kita yang “diporakporandakan” perubahan sosial yang terjadi saat ini.

Namun, tentu ada yang ingin agar segala sesuatu berjalan menurut aturan–yang juga dapat berarti pelarian dari “tanggung jawab”–sehingga pergantian itu harus menunggu perintah dari presiden. Pendapat terakhir ini menunjukkan betapa besarnya perubahan sosial terjadi, yang berarti juga terjadi “pembalikan moral” oleh sementara kalangan, terutama pejabat dan pimpinan berbagai lembaga yang terkait erat dengan pemerintah. Tidaklah heran jika rakyat lalu dibuat bingung oleh perubahan-perubahan sosial itu.

Dalam lagu-lagu dangdut, umpamanya, terlihat nyata perubahan-perubahan nilai sebagai bagian perubahan sosial. Kalau penggemar lagu-lagu dangdut dulunya cukup disuguhi ungkapan-ungkapan “pertemuan dua mata saling memandang dan berpegangan tangan” untuk menyatakan cinta kepada lawan jenis, kini sudah “harus” dengan ungkapan-ungkapan hangat, seperti “ciuman bibir dan peluk-memeluk” antara dua sejoli. Itu pun mungkin masih “untung” karena mereka masih berlawanan jenis. Bagaimana halnya jika di masa depan orang yang saling mencintai itu sama jenisnya? Perkawinan kaum homoseks (kaum gay dan lesbi), yang diperkenankan diakui oleh hukum di berbagai negara saat ini, bukan tidak mungkin akan merembet kemari. Bagaimanakah sikap kita bila hal itu benar-benar terjadi secara legal di sini?

***

PERUBAHAN sosial itu kini juga merasuki sistem politik kita. Baik orientasi untuk organisasi pemerintahan maupun cakupan kegiatannya menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan sosial.

Dari sudut orientasi, kini yang mencuat justru orientasi kekuasaan, termasuk bagaimana mencapai dan mempertahankan kekuasaan itu. Bila dulu para pendiri Republik ini memadukan antara aspirasi pribadi maupun kepentingan umum, kini dengan tak malu-malu, sebagian pemimpin politik kita tampak hanya memikirkan bagaimana kemenangan harus dicapai. Kalau perlu dengan cara-cara yang curang, manipulasi, dan intrik-intrik.

Lembaga-lembaga kenegaraan digunakan untuk keperluan itu, seperti aparat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal itu tampak dalam penyelenggaraan pemilu legislatif beberapa waktu lalu.

Dengan berbagai dalih dan cara, dilakukan kesalahan-kesalahan dalam mendaftarkan calon pemilih, demikian juga dalam penghitungan suara dan pencatatannya, baik di tingkat tempat pemungutan suara, kelurahan, kecamatan, maupun pusat. Demikian masifnya manipulasi dan kecurangan itu berlangsung, hingga penulis sendiri turut menolak hasil-hasil pemilu legislatif itu.

Ketakutan masyarakat dan berbagai lembaga di dalam-nya untuk memberikan penilaian terhadap pemilu legislatif itu menunjukkan masih besarnya rasa ketakutan masyarakat untuk menerima kenyataan adanya orientasi ingin berkuasa dari sejumlah orang tertentu, melalui sistem politik yang dibinanya sejak lebih dari puluhan tahun lamanya.

“Pengorganisasian” yang dilakukan untuk menjamin kemenangan pihak tertentu dalam pemilu legislatif lalu juga dikembangkan tanpa malu-malu. Seperti tampak dalam cara penghitungan suara yang dilakukan secara tertutup dan melanggar ketentuan undang-undang, penghitungan suara melalui komputerisasi, yang akhirnya diragukan dan tinggalkan setelah para hacker mengganggu kinerjanya dengan “Kolor Ijo” dan lainnya.

Akibatnya membuat sistem penghitungan suara yang berharga ratusan miliar itu tidak ada artinya lagi. Hal inilah yang mengakibatkan 14 parpol tidak turut mengesahkan hasil penghitungan suara yang terakhir. Itu pun masih diikuti “ancaman” Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menyatakan mereka yang tidak dapat menerima hasil penghitungan suara tidak dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu kali ini. Tentu akan ada reaksi amat besar jika “ancaman” Ketua KPU itu dilaksanakan karena pelecehan atas proses demokrasi begitu transparan.

***

MENGENAI pengamat Ikrar Nusa Bhakti maupun seorang pemimpin negeri ini, yaitu Prof. Dr. Amien Rais (yang notabene saat ini masih menjabat Ketua MPR), yang mengeluarkan penilaiannya bahwa para calon presiden secara rasional harus menerima hasil pemilu legislatif, dapat diberikan jawaban yang sederhana: bila penghitungan suaranya bersih dan rasional, hal itu tentu akan mendapat respons secara rasional pula.

Cara pandang ini sejalan dengan kasus-kasus lain, bila semuanya sudah tidak dilaksanakan secara rasional, tetapi hanya dengan orientasi berkuasa saja, akan berlaku jalan “kekerasan”. Penyebabnya sepele saja: jika rakyat yang mengeluarkan reaksi yang keras karena merasa tidak dibela, negeri ini dapat hancur lebur.

Jadi, seharusnya Amien Rais berterima kasih kepada mereka yang tidak menerima hasil penghitungan suara. Anjuran mereka agar hal ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi justru mengabaikan kenyataan, sistem peradilan kita yang masih dipenuhi “mafia peradilan” menimbulkan ketidakpercayaan di masyarakat.

Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang harus diperhitungkan para pembesar kita dalam melakukan perubahan-perubahan menuju demokrasi sesungguhnya.

***

DARI uraian di atas, menjadi jelas bagi kita, menegakkan demokrasi di negeri ini berkaitan erat dengan perubahan-perubahan sosial. Hal itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, terkadang dengan sikap keras atau tindakan lembut. Kita bagaikan “menarik rambut dari tepung”, bagaimana agar tepungnya tidak berhamburan, tetapi rambutnya tetap dapat ditarik.

Di sinilah kita pahami arti dinamis dari adagium “politik adalah seni hal yang mungkin” (politics is the art of possible), yang selama ini disalahartikan oleh cukup banyak orang.

Bagi orang yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa ini, kita harus mampu menggunakan semua hal yang kita kuasai untuk mencegah tindak kekerasan dalam kehidupan bangsa ini.

Perubahan nilai-nilai harus dilakukan seteliti mungkin karena akan menentukan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan bangsa kita.

Pada saat bersamaan, berlangsung pula proses demokratisasi yang akan memakan waktu 80 sampai 90 tahun. Kita berharap kedua proses itu tidak gagal. Karena itu, kita harus bersungguh-sungguh menjaga agar tindakan demi tindakan yang dilakukan tidak menghentikan proses demokratisasi itu sendiri.

Karena itu, pemerintahan dan sistem pemilu yang bersih harus dijaga sebaik-baiknya dan tidak boleh mandek di tengah jalan. Jadi, ambisi politik pribadi maupun golongan untuk mencapai kemenangan politik harus berjalan di atas rel yang benar, yaitu kejujuran dan transparansi.

Hal ini mudah dikatakan, namun sangat sulit untuk dilaksanakan.