Agama dan Demokratisasi

Sumber foto: https://www.komite-umkm.org/tag/demokratisasi-ekonomi/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Banyak yang bertanya kepada saya, mengapa begitu banyak orang yang menjadi Katolik Dengan demikian, bukankah dalam beberapa tahun saja, seluruh Indonesia akan beragama Katolik? Atau paling tidak, mayoritas umat yang beragama Islam di Indonesia akan hilang berganti dengan Katolik dan Protestan. Tingkat kemajuan yang luar biasa dari Kristenisasi ini, sangatlah mengerikan bagi yang meyakininya, dan sepertinya telah menjadi kenyataan (sejarah) yang harus diyakini. Tapi, yang tidak ikut-ikutan yakin seperti saya ini, malah dianggap sebagai pengkhianat Islam.

Lalu, apa yang harus mereka sikapi? Menurut saya, hal itu tidak usah diperhatikan secara serius. Dianggap sebagai pengkhianat atau bukan, sangatlah bergantung pada diri kita masing-masing. Bahkan, lebih jauh lagi, persoalan dianggap berkhianat atau tidak, bukanlah termasuk masalah yang prinsipil dan penting. Dan, jika saja masih dianggap sebagai pengkhianatan –padahal memang bukan– lebih baik dibiarkan saja. Bukankah, suatu saat nanti, fakta yang akan berbicara, bukannya kesan? Kalau memang tidak membantu kristenisasi, bukankah dianggap apa saja tak jadi soal?

Kristenisasi, sebagai suatu proses kemasyarakatan berjalan secara alamiah. Dengan demikian, masalah kristenisasi akan tetap terjadi kalau hal itu akan terus berlangsung. Karenanya, dari sini, tugas saya hanya ingin mendekatkan antara kaum Kristen dan muslimin di negeri kita ini. Bukankah para pendiri republik (the Founding Fathers) ini dulunya, selalu bekerja sama dalam memperjuangkan dan mendirikan negara-bangsa yang tercinta ini? Juga, bukankah tidak ada yang mengharuskan saya untuk beribadah secara Kristen, sama seperti yang telah dialami oleh ayah saya? Maka, diharapkan yang terjadi adalah perataan pemikiran antara kedua belah pihak. Seperti halnya, saya sering mengambil pemikiran Martin Luther King Jr, mengenai demokrasi. Bahkan saya sering mengambil pemikiran Mahatma Gandhi yang beragama Hindu atau Sulak Sivaraksa dari Thailand yang beragama Buddha. Dan juga tentunya, pemikiran Ali Abd Roziq, yang hampir semua buku-bukunya dilarang dibaca di Mesir.

Dengan kata lain, pencarian pendapat tentang demokrasi banyak saya ambil dari manapun, selama hal itu merupakan pencerminan teologi yang benar dan ketaatan yang saleh. Soal nilai kepercayaan masing-masing, saya tak pernah mempersoalkannya. Semua itu kita serahkan pada teolog dan masing-masing agama dan keyakinan. Dan, saya rasa, hanya dengan beginilah semua pengikut agama akan mampu memperjuangkan proses demokratisasi secara bersama-sama.

Kalau untuk proses demokratisasi saja prinsip-prinsip tersebut dipertahankan, maka terhadap hal yang sama juga saya lakukan atas berlakunya keadilan, berlangsungnya hak-hak yang sama di atas undang-undang dan persamaan kepentingan bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Ini berarti, kebebasan untuk berbicara haruslah dipertahankan dan kebebasan berpendapat harus dijaga.

Pembicaraan di atas, memang dapat disangkal dengan anggapan bahwa, tanpa berbicara dengan agama lain pun suatu agama dengan sendirinya dapat memperjuangkan demokrasi. Terhadap pernyataan ini, saya mempunyai dua keberatan. Pertama, karena belum tentu semua argumentasi yang dipergunakan sama. Sehingga dengan demikian, belum tentu pula ada perhatian yang sama terhadap hal-hal penting yang terdapat dalam berbagai aspek proses tersebut. Kedua, penegakan demokrasi mesti mengharuskan keikutsertaan semua warga negara yang hanya dapat diperoleh melalui persamaan pemikiran dan dekatnya pandangan-pandangan.

Gerakan demokratisasi

Kalau tidak demikian, berarti proses demokratisasi harus diserahkan pada ideologi-ideologi besar; seperti, nasionalisme maupun sosialisme sebagai pemikiran nonkeagamaan. Ini, dapat kita lihat dalam sejarah bangsa-bangsa yang besar, seperti Rusia, Cina, dan India. Di negeri-negeri tersebut, agama seolah-olah tak punya hak untuk turut menentukan parameter dan proses demokratisasi yang berjalan. Bahkan kehadiran partai beragama Hindu di Indonesia, beberapa tahun yang lalu sebagai penjaga demokrasi, terasa sangat mengherankan dan hampir-hampir tak dipercayai orang. Sekarang pun orang belum percaya terhadap Liga Muslim (ML) di Pakistan, yang turut memperjuangkan demokrasi sejak negeri ini masih di bawah jajahan Inggris, dan Partai Islam yang berkuasa di Iran sekarang yang dulunya bekerja menentang tirani, yaitu Syah Iran.

Hal yang sama, juga sangat terasa sekali di negeri kita. Misalnya, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) hampir-hampir tidak pernah sebagai bagian dari gerakan kemerdekaan. Yang selalu dianggap Partai Nasionalis-nya Bung Karno ataupun golongan sosialis pimpinan Sneevliet. Bahkan golongan komunis pun bisa dianggap lebih bersikap nasionalistik. Padahal bagi mereka, kemerdekaan tak lain adalah salah satu tahap pencapaian sosialisme itu sendiri. Kalau memang demikian, mengapakah gerakan-gerakan Islam tidak pernah dianggap demikian, padahal mereka telah mempunyai proses yang sama?

Ketidakadilan sejarah ini, menurut saya, terjadi karena kaum muslim lebih asyik berbicara masyarakat Islam dan sedikit sekali mereka berbicara tentang kemerdekaan sebagai proses sejarah. Bahkan, mereka lebih banyak berbicara tentang masyarakat Islam pada masa Nabi yang sudah berlangsung empat belas abad yang lalu daripada kemerdekaan yang harus dicapai. Maka, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam lalu dianggap terlepas dari proses mencapai kemerdekaan, apalagi mempertahankannya.

Yang menarik, dewasa ini, hal yang sama terulang lagi. Manakah di antara gerakan Islam yang banyak berbicara tentang proses gerakan demokratisasi? Bukankah mereka lebih banyak berbicara tentang pentingnya mempertahankan kekuasaan? Bahkan sekarang pun banyak gerakan Islam yang lebih tertarik mempertahankan status quo –termasuk mempertahankan rezim pemerintahan kini, ketimbang pentingnya membina masyarakat baru yang lebih demokratis. Dalam hal ini, contoh terbaik dari gerakan-gerakan Islam yang mencoba mempertahankan rezim yang tak demokratis itu berhadapan dengan protes para mahasiswa dan cendikiawan. Lalu, herankah kita kalau proses demokratisasi itu akhirnya “direbut” oleh berbagai gerakan yang memperjuangkan demokratisasi? Bukankah hal ini berlaku pada proses perdamaian, keadilan hukum, kebebasan berbicara dan berpendapat serta persamaan hak dan kewajiban warga negara di hadapan UU.

Suatu pengecualian dalam hal ini, secara filosofis adalah gerakan-gerakan Kristen di Indonesia, terutama gerakan Katolik. Kalau kita perhatikan, justru koran-koran yang dianggap mewakili gerakan-gerakan Kristen dan Katolik, muatan perjuangannya terhadap proses demokratisasi terasa sangat mendalam dan lebih sarat. Paling tidak, dalam aspek teologi dan filsafat agama, keduanya memberikan tempat yang besar pada hal-hal di atas. Sedangkan koran-koran Islam, tampak lebih banyak membicarakan halal-haramnya sesuatu –yang berarti, pada hukum agama. yang lebih banyak berorientasi

Herankah kita, jika di masa depan nanti, subjek demokratisasi akan lebih banyak ditentukan oleh kedua agama tersebut? Dan, karena masa depan kita akan lebih banyak berurusan dengan demokrasi, setidak-tidaknya dalam 25 tahun mendatang, bukan sesuatu hal yang mustahil akan terjadi proses Katolikisme dan Protestanisasi yang lebih besar lagi. Lalu, siapakah yang kan disalahkan, jika bukan para pemimpin mereka sendiri? Yang jelas, bukan saya. Sebab, pada saat itu, saya sudah bukan lagi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ironis bukan?