Pendidikan Tradisional di Pesantren

Foto: NUOnline nu.or.id/opini/pesantren-sebagai-destinasi-pendidikan-islam-global-d7i7F

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pendidikan tradisional meliputi beberapa aspek kehidupan di pesantren, yaitu:

  1. Pemberian pengajaran dengan struktur, metode dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradisional ini dapat berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah (lingkaran) dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajaran tradisional ini adalah cara pemberian pengajaranya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah (letterlijk) atas suatu kitab (teks) tertentu. Pendekatan yang digunakan ialah menyelesaikan pembacaan kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan membaca kitab (teks) lain. Ciri utama ini masih dipertahankan hingga dalam sistem sekolah atau madrasah, sebagaimana dapat dilihat dari mayoritas sistem pendidikan di pesantren dewasa ini. Dengan demikian, dapat dikatakan pemberian pengajaran tradisional di pesantren masih bersifat non-klasikal (tidak didasarkan pada unit mata pelajaran), walaupun di sekolahan atau madrasah yang ada di pesantren dicantumkan juga kurikulum klasikal,
  2. Pemeliharaan tata nilai tertentu, yang untuk memudahkan dapat dinamai sub-kultur pesantren. Tata nilai ini ditekankan pada fungsi mengutamakan beribadat sebagai pengabdian dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Dengan demikian, sub-kultur ini menetapkan pandangan hidupnya sendiri, yang bersifat khusus pesantren, berdiri atas landasan pendekatan ukhrawi kepada kehidupan dan ditandai oleh ketundukan mutlak kepada ‘ulama. Diseputar pendekatan ukhrawi dan ketundukan mutlak inilah ddilaksanakan kegiatan-kegiatan yang memperlihatkan corak sub-kultural dari pesantren, seperti kecenderungan untuk bertirakat dalam usaha untuk mencapai keluhuran budi  dan jiwa, keikhlasan untuk mengerjakan apa saja bagi kepentingan guru, kelemahan penerapan ukuran-ukuran duniawi dalam kehidupan seorang santri, dan sebagainya. Dari kacamata pandangan hidup seperti inilah dapat dimengerti mengapa masih ada pesantren yang menolak bantuan keuangan dari pemerintah dan bahkan dari perorangan muslim yang kaya. Yang dikejar adalah totalitas kehidupan yang diridhai Allah, betapa remeh dan tidak berartinya sekalipun totalitas itu bila dilihat dari sudut pandang duniawi.

Sebagaimana lazimnya semua pranata (institusi) kehidupan, pendidikan tradisional sebagaimana diuraikan di atas memiliki kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan sendiri.

Kelebihannya antara lain terletak dalam hal-hal berikut:

  1. Kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga pesantren sendiri, dilandasi oleh tata nilai yang disebut diatas. Dengan demikian, sikap hidup berjiwa santri ini terlepas dari acuan-acuan struktural yang ada dalam susunan kehidupan masyarakat di luar pesantren. Sepintas lalu, keterlepasan ini memiliki perwatakan negatif, dimana seorang santri menjadi tidak dapat memahami tata pergaulan yang berkembang di luar pesantren. Akan tetapi, dipihak lain, keterlepasan dari acuan-acuan setruktural di masyarakat itu akan membuat santri mampu bersikap hidup tidak menguntungkan diri pada Lembaga masyarakat yang manapun.
  2. Kemampuan memelihara sub-kulturnya sendiri. Bila dilihat secara sepintas lalu saja, cara hidup dipesantren tampak berbeda sekali dengan cara hidup di luarnya, demikian pula ukuran-ukuran yang digunakan dalam menilai segala sesuatu juga tampak berbeda. Pandangan hidup pesantren yang bersifat ukhrawi, tentu saja dapat menjadi alternatif cukup tajam bagi pandangan hidup yang bersifat duniawi di masyarakat umumnya. Lingkungan pergaulan yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan sosial yang umum, tentu saja juga menjadi kaca pembanding bagi pergaulan yang menjadi kaku oleh ikatan-ikatan sosial diantara lapisan-lapisan masyarakat yang saling berbeda diluarnya. Dengan demikian, pesantren merupakan pantulan kehidupan yang ideal dan di dambakan oleh masyarakat dalam keadaan transisional seperti sekarang ini. Mungkin peranan ideal dari pesantren ini tidak diakui oleh Lembaga-lembaga masyarakat yang lainnya, tetapi ia merupakan fakta yang tidak dapat diingkari dalam kehidupan lapisan masyarakat yang terbawah. Oleh karena itu, pengaruh pesantren menjadi besar, walaupun pengaruh tersebut tidak didukung oleh peralatan-peralatan formal. Walaupun masih ada juga pihak-pihak yang belum menerima kenyataan ini, pemerintah sendiri justru dapat memahami peranan pesantren seperti ini, terbukti dari pengakuan bahwa “ulama adalah pemimpin informal dimasyarakat”. Pengakuan atas kepemimpinan ulama berarti pengakuan akan peranan ideal dari sub-kultur pesantren dalam kehidupan bangsa kita dewasa ini, karena ulama tidak lain hanyalah merupakan perwujudan perorangan belaka dari peranan ideal tersebut diatas.

Diatas telah disebutkan bahwa pendidikan tradisional memiliki pula kelemahan-kelemahan, diantaranya adalah hal-hal sebagai berikut:

  1. Tidak adanya perencanaan terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan itu sendiri. Kalupun ada, perencanaan itu hanyalah bersifat sangat terbatas, tidak meliputi hubungan antara berbagai sistem pendidikan yang akan dikembangkan dengan jenjangnya masing-masing. Sebagai akibat, tidak ada sistem pendidikan tradisional yang integral, yang memiliki wawasan-wawasan yang dibatasi dengan jelas. Memang ada usaha ke arah itu, seperti kurikulum pesantren Tegalrejo di Magelang, dimana keseluruhannya dituangkan ke dalam suasana pelajaran berjenjang untuk tujuh tahun, dengan sistem yang cukup rasional. Akan tetapi, kurikulumnya baru mencerminkan pendidikan agama pada tingkat dasar, dan belum mampu menjadi sebuah sistem integral. Ciri utama dari sistem pendidikan tradisional adalah banyak diberikanya pengajaran diluar kurikulum formalnya, pengajaran tambahan yang senantiasa berubah-ubah formatnya dari tahun ke tahun. Dengan demikian, tidak ada mekanisme penddidikan yang dapat dikata berlangsung secara menetap, kecuali kesadaran tunggal bahwa pengajian dan pengajaran harus diberikan secara berjenjang. Mungkin juga dapat ditambahkan adanya kesadaran bahwa literatur yang digunakan dalam pengajaran juga sudah ada semuanya, hingga tinggal memilih yang akan digunakan saja.
  2. Tidak adanya keharusan untuk membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicernakan dan dikuasai oleh anak didik. Cara pemberian pelajaran tradisional, dimana seorang santri diajari membaca kitab (teks) kata demi kata dan memahami kalimat yang tersusun dari kata-kata secara harfiah, ternyata tidak mampu meninjau apakah seorang anak didik tidak membutuhkan pendekatan lain. Pokoknya, kitab wajib telah dibacakan dan diterangkan sesuai dengan kemampuan guru, terserah pada anak didik untuk menguasainya atau tidak. Evaluasi atas kemampuan anak didik dengan demikian tidak memperoleh tempat yang sesuai dengan kepentinganya dalam sistem pendidikan tradisional.
  3. Hampir-hampir tidak adanya pembedaan yang jelas antara hal-hal yang benar-benar diperlukan dan yang tidak diperlukan bagi suatu tingkat pendidikan. Pedoman yang digunakan adalah mengajarkan penerapan hukum syara’ dalam kehidupan sehari-hari dengan mengabaikan sama sekali nilai-nilai pendidikan. Akibat dari tidak adanya pembedaan seperti ini adalah tidak adanya sebuah filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap. Pendidikan didukung oleh sebuah tata nilai, oleh sebuah pandangan hidup ukhrawi, tetapi tidak dilandasi oleh sebuah filsafat pendidikan. Oleh karena itu kita masih melihat belum adanya hasil besar dari perubahan demi perubahan yang dilakukan selama ini. Tidak akan ada hasil perbaikan yang memuaskan, selama tidak diperhatikan penyusunan landasan kokoh berupa filsafat pendidikan yang jelas dan terperinci.

Setelah meninjau sepintas lintas kelebihan-kelebihan pendidikan tradisional di pesantren serta kekurangan-kekurangannya, sampailah kita pada beberapa kesimpulan, yang akan dicoba untuk dirumuskan di bawah ini:

  1. Pendidikan tradisional, sepanjang menyangkut pemeliharaan tata nilai dan pandangan hidup yang ditimbulkanya di pesantren, harus tetap dikembangkan , karena memiliki cukup banyak kelebihan. Pengembangan tata nilai tradisional inilah yang akan mampu memelihara kepemimpinan informal yang telah dimiliki pesantren dikalangan masyarakat selama ini.
  2. Sebaliknya, usaha-usaha untuk menyempurnakan sistem pengajaran yang ada di pesantren harus diteruskan, terutama mengenai metode pengajaran dan penetapan materi pelajarannya sekali. Untuk memberikan landasan yang kokoh pada usaha menyempurnakan sistem pengajaran yang ada, harus dirumuskan sebuah filsafat pendidikan agama yang tradisional, jelas, dan terperinci. Dari filsafat pendidikan yang sedemikian itu, disusun kurikulum dan silabus sebuah sistem pendidikan agama tradisional dengan literatur baru guna dikembangkan lebih lanjut.