Terserah Suara Rakyat

Sumber Foto; https://www.liputan6.com/hot/read/4380171/tujuan-negara-indonesia-dalam-uud-1945-dan-pancasila

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam harian Media Indonesia edisi 17 Oktober 1998, dimuat artikel karya Ir. Salahuddin Wahid, salah seorang pendiri Partai Kebangkitan Umat (PKU). Walaupun katanya ia bermaksud mengadakan koreksi terhadap penulis, dalam kenyataan ia tidak pernah menghubungi penulis dalam kaitan mendirikan partai tersebut. Padahal, menurutnya, ini adalah koreksi.

Baru kali ini ada koreksi yang diberikan tanpa menghubungi pihak yang terkena tindakan itu. tetapi tidak mengapa. Namanya juga bersaudara, sehingga masih banyak media lain untuk mengekalkan persaudaraan itu di luar soal koreksi mengoreksi sikap politik.

Dalam tulisan itu Salahuddin meragukan sikap penulis yang tertuang dalam kolom yang juga dimuat dalam harian ini beberapa hari sebelumnya. Dalam kolom itu penulis menyatakan bahwa ayahandanya, salah seorang mantan menteri agama dan pahlawan nasional, yang kebetulan juga pendiri Partai Nahdlatul Ulama, setelah Muktamar Palembang tahun 1953, memiliki gagasan menjadikan Pancasila sebagai salah satu tempat pengambilan hukum yang berlaku di Indonesia kini. Atau dengan kata lain, Pancasila adalah sumber hukum dari perundang-undangan yang diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Dengan demikian ia adalah orang yang mengutamakan Pancasila di atas syari’ah Islam.

Pendapat ini diragukan kebenarannya oleh Salahuddin yang menganggap ayahanda kami berdua ini tidaklah demikian. Menurut pendapatnya, A. Wahid Hasyim adalah pengikut dari pandangan bahwa syari’ah Islam, dan bukan Pancasila, yang harus menjadi sumber hukum bagi tokoh gerakan-gerakan Islam di negeri ini. Dalam pandangan Salahuddin, Wahid Hasyim adalah Pemimpin Islam yang menganggap bahwa syari’at Islam memiliki kedudukan yang sama sebagai sumber hukum dengan keputusan parlemen.

Kita tidak heran dengan pendapat ini, karena sudah pernah diutarakan orang sebelumnya. Pandangan Endang Saefuddin Anshari dalam tesis MA-nya juga menyatakan hakikatnya hukum Islam yang berlaku di negeri ini. Bagi Salahuddin, hal itu terjadi jika ada penyesuaian antara hukum negara dengan hukum Islam. Ini berarti, Salahuddin menjadi warga negara RI dengan keinginan untuk memperjuangkan aspirasi mayoritas kaum muslimin menurut pandangannya.

Kalau mayoritas kaum muslimin memang benar-benar menghendaki berlakunya syari’ah Islam, maka hukum nasional kita pun oleh mereka harus diputuskan sesuai dengan syari’ah Islam. Hal ini tidak ada bedanya dengan pendapat Amien Rais beberapa waktu lalu tentang representativeness dalam susunan pemerintahan kita. Menurut teori ini, kaum muslimin akan memilih mayoritas anggota DPR yang memperjuangkan berlakunya hukum Islam dalam kehidupan bernegara kita. Dalam pandangan ini, kenyataan adanya mayoritas muslim berarti mereka secara formal harus mendukung gagasan penyandaran hukum negara kepada hukum Islam.

Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa UUD ’45 menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara di negeri ini, dan bukan hanya Islam. Dengan kata lain, sumber hukum kita hanyalah pembukaan dan batang tubuh UUD ’45. Sedangkan perundang-undangan kita berdasarkan keputusan DPR RI, dan tidak harus bergantung kepada syari’ah Islamiyah. Siapa pun yang dengan teliti membaca dokumen-dokumen di atas haruslah megakui bahwa keduanya tidaklah ditulis hanya untuk pengikut syari’ah Islamiyah belaka. Kedua dokumen itu memungkinkan upaya mensekulerkan hukum negara kita, dan bukannya mengisyaratkannya. Manakah di antara kedua hal ini yang benar-benar mewakili kepentingan umat Islam? Jawabannya mudah saja, yaitu mana di antara dua pandangan itu yang terbanyak didukung oleh mereka.

Mendua

Kalau pendapat Salahuddin dan Amien Rais di atas benar mengikuti pandangan Endang Saefuddin Anshari, sudah tentu partai seperti KPU dan partai yang sejenis akan menang dalam pemilu yang akan datang. Inilah untuk pertama kalinya kaum muslimin bebas menentukan pilihan di antara kedua macam pandangan di atas. Sebaliknya, bagaimana dengan mereka yang berpandangan bahwa hukum nasional kita tidak demikian. Manurut penulis tesis MA ini, para pemimpin Islam tidak menolak Pancasila dan juga tidak menetapkan ideology Islam di bawahnya. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang mendua, antara Islam dan Pancasila. Sayang buku Endang ini tidak diminati masyarakat Indonesia, sehingga dialog antara Islam dan Pancasila tidak juga begitu ramai. Dan rasanya, tambahan dari Salahuddin ini juga tidak banyak menarik simpati masyarakat.

Salah satu hal yang dilupakan orang, adalah pidato Moh. Natsir di Karachi Pakistan, yang menunjukkan bahwa Pancasila adalah hukum Islam, pada awal tahun 50-an. Tanpa keterangan apakah hukum Islam dan Pancasila memang senafas, ia menyelaraskan antara keduanya, sehingga tampaknya ia menyamakan keduanya. Apakah dalam hal ini Moh. Natsir, waktu itu orang pertama dalam gerakan Islam Indonesia, sepandangan dengan Salahuddin atau tidak, tidak pernah kita ketahui. Sangat disayangkan, karena hal itu berarti kita tidak akan pernah tahu bagaimana pandangan sebenarnya dari Moh. Natsir.

Yang jelas, semua pemikir Islam tentang negara kita mau tidak mau tergoda oleh pertanyaan, apakah ada dasarnya hukum Islam bersumber pada Pancasila atau tidak? Atau dengan kata lain dapat ditumbuhkan di sini pertanyaan, apakah Pancasila sebagai sumber hukum dapat dianggap mewakili aspirasi Islam? Dalam pandangan penulis, berarti hukum-hukum yang diundangkan oleh DPR RI memiliki kekuatan keagamaan, sebagai syari’ah yang harus dianut oleh umat Islam. Dengan kata lain, hanya bersandar pada syari’ah Islam saja, tidak akan diperoleh hukum kenegaraan yang lengkap bagi bangsa Indonesia.

Sebaliknya bagi Salahuddin, hukum yang berlaku di Indonesia baru memiliki keabsahan, apabila didukung oleh syari’ah Islamiyah. Hukum yang tidak sama dengan syari’ah Islamiyah menjadi tidak sah dan harus ditolak sebagai produk syari’ah. Kalau penulis dianggap sebagai pemikir sekuler, maka Salahuddin dapat saja dianggap menyimpang dari ketentuan yang dihasilkan oleh DPR RI. Bagi penulis, Indonesia adalah yang pertama dan satu-satunya sebagai wadah harus bersandar pada syari’ah Islamiyah yang benar. Karenanya tidak banyak gunanya memperdebatkan masalah ini berkepanjangan, kecuali dengan menunggu hasil pemilu yang akan datang. Kenyataan inilah yang meminta perhatian kita sebagai pengamat perkembangan politik di negeri kita.

Dalam jangka panjang, apakah mereka yang menginginkan hukum nasional dengan memperhitungkan kepentingan berbagai golongan sebagai kata akhir/pemutus dalam pembuatan hukum nasional? Ataukah justru mereka yang ingin mendasarkan hukum negara kita pada syari’ah Islamiyah sebagai pemutus kata terakhir.

Dicoba untuk menghadapi, bahwa pilihan tidak berada pada dua-duanya, melainkan pada jalan tengah, yakni menyerasikan antara syari’ah Islamiyah dan hukum yang tidak berdasarkan atasnya. Penulis merasa hal ini adalah sesuatu yang sia-sia belaka, karena masalah pokoknya bukanlah di situ, melainkan pada pilihan yang dimaksudkan.

Hukum nasional harus memilih antara kedua hal ini. Dan bukan seperti yang ada sekarang, menggantungkan masalah kepada keadaan. Dalam hal ini, pilihan penulis sudah jelas, yaitu dengan membuat hak asasi manusia sebagai bagian dari hukum nasional kita di masa depan, walaupun berbeda dari syari’ah Islamiyah. Bagaimana dengan pendapat yang sebaliknya?