Fikih Dan Etika Sosial Kita

Sumber Foto: https://binaqurani.sch.id/kitab-rujukan-fikih-mazhab-syafii/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Seorang cendikiawan muslim kita menyatakan di harian ini sebuah pendapat yang menarik beberapa waktu yang lalu. Pasalnya bermula dari ajakan staf peneliti Badan Litbang Agama, Moeslim Abdurrahman, agar ormas-ormas Islam lebih menumbuhkan kesadaran akan etika sosial. Kesadaran yang ada sekarang terlalu dititk beratkan pada etika susila, menurut pendapatnya. Kalau keadaan dibiarkan, ormas-ormas Islam akan terjebak dalam rutinisasi kegiatannya.

Tentu saja pendapat itu memperoleh tanggapan bermacam-macam dari pihak yang berlainan. Salah satunya dari salah seorang cendikiawan, yang menyatakan perlunya ditinggalkan orientasi penganutan fikih, untuk digantikan orientasi teologis yang berwatak filosofis. Ajakan yang mendasar, karena bagaimanapun mayoritas kaum muslimin di negara kita saat ini masih berorientasi fikih. Ajakan itu sendiri, kalau toh dianggap serius dan didengar batang tubuh umat, jelas akan membuahkan perdebatan kontroversial. Belum lagi kalau dirinci secara teoritik, dan nantinya secara operasional.

Ajakan ini berarti mengubah konstelasi tiga unsur utama yang membentuk kerangka kehidupan individual dan kolektif kaum muslimin pada umumnya. Ketiga unsur utama itu adalah tauhid, fikih dan tasawuf. Ada juga yang membaginya dalam dua unsur saja, yaitu akidah dan syari’ah. Akidah mewakili tauhid dan syari’ah mewakili fiqh. Tasawuf tidak diakui dalam pandangan ini.

Menurut ajakan di atas, titik tolak kehidupan haruslah bersifat teologis, bukan legal-formalisme dari fikih. Teologi di sini tentunya bukan dalam arti tauhid, yang hanya merupakan ontologi atau pembuktian kebenarandan keesaan Tuhan belaka. Teologi dalam arti ini adalah pandangan hidup yang menjadi titik tolak kegiatan kaum muslimin. Arti teologi menurut wawasan orang Kristen, bukannya dari makna harfiyahnya: ilmu tentang Tuhan.

Terlepas dari benar atau salahnya ajakan itu, suatu hal harus dilakukan, untuk memungkinkan pertukaran pendapat yang sehat atas ‘ajakan itu sendiri. Penulis tidak bermaksud menanggapi ajakan itu dalam tulisan ini, mungkin dalam tulisan lain. Yang ingin diliput adalah kaitan antara fikih dan etika sosial yang dinginkan Moeslim Abdurrahman. Etika sosial yang menyadari hakikat dan sebab-sebab kemiskinan. Etika sosial yang bertolak dari keinginan mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan umat, serta menaikkan derajat mereka sebagai manusia. Etika sosial yang mendorong terbentuknya masyarakat yang berkeadilan dan berprikemanusiaan dalam praktek nyata, bukan sekedar sebagai slogan saja.

****

Fiqh, dalam arti terminologisnya adalah ilmu hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama sepanjang masa, katakanlah jurisprudensi dalam Islam. Sebagai kompendium jurisprudensial, fikih memiliki sistematikanya sendiri. Bukan hanya dalam kodifikasinya melalui “kitab kuning”, malainkan juga dalam penalaran hukumnya sendiri. Dengan kata lain, fikih tidak berdiri sendiri.

Sebagai disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan hukum, fikih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan hukum agama. Ada usul fikih (legal theory), yang membahas kategorisasi hal-hal yang digunakan dalam mengambil keputusan. Ada kaidah-kaidah fikih (legal maxims), yang menjadi patokan praktis dalam memutusi sesuatu kasus dilihat dari pandangan fikih. Tentu ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Hadits Nabi (traditions of the Prophet). Juga ilmu-ilmu bahasa Arab, tentunya.

Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki, sebanarnya memungkinkan fikih untuk dikembangkan secara kontemporer. Nabi bersabda “Kawinlah dan berbanyak-banyak anaklah kalian, (karena) akan kubanggakan kalian di hadapan umat-umat lain di akhirat kelak.” Dahulu, diartikan pengutamaan mempunyai banyak anak. Sekarang, tentunya harus dipertanyakan, apakah yang akan dibanggakan Nabi? Kuantitasnya ataukah kualitasnya? Tentu kualitasnya berarti diperlukan perencanaan jumlah anggota keluarga, guna memungkinkan pencapaian kualitas kaum muslimin sebaik mungkin. Tidak sulit melakukan kontemporanisasi atas fikih, bukan?

Masalahnya, fikih oleh kaum muslimin sering diperlakukan sebagai norma dogmatis, tidak bisa lagi digugat-gugat jika sekali telah diambil keputusan. Fikih, dalam arti penalaran, menurut cara berpikir sistematis sesuai dengan kerangka berpikir mazhab masing-masing, tidak lagi dikenal, karenanya fikih tidak lagi memerlukan tinjauan ulang. Permasalahannya bukan terletak pada fikih itu sendiri, melainkan bagaimana kita mengaplikasikan fikih sebagai disiplin ilmu dan perangkat judisial.

****

Kita boleh tidak setuju kepada fikih, tetapi ia memiliki fungsinya sendiri. Fiqh-lah yang selama ini mengurusi tata nilai kaum muslimin. Karenanya, akan lebih konstruktif jika fungsi itu yang dipersegar kembali. Masalah halal-haram tidak harus diberlakukan hanya pada makanan atau tindakan sehari-hari belaka. la harus diberlakukan juga kepada bangunan sosial yang ada. Sudah benarkah struktur sosial yang timpang? Kalau tidak benar, bukankah seharusnya menjadi wajib upaya menegakkan sturktur masyarakat yang adil? Fikih dapat berbicara soal ini, mengapa tidak?

Salah satu kaidah fikih berbunyi tasarraful imam ‘ala ra’iyyatih manuutun bilmaslahah. Artinya:Kebijakan penguasa atas rakyatnya, bertumpu sepenuhnya atas kesejahteraan mereka. Kurang apa lagi, kalau sudah begini? Bukankah dari kaidah ini dapat dikembangkan teori-teori sosial yang kompleks?

Salah satu bentuk jihad, menurut “kitab kuning” lanatut talibin, adalah pencegahan kerusakan dari mereka yang harus dilindungi. Siapakah mereka? Baik muslim maupun nonmuslim yang hidup bersama dalam satu masyarakat. Bentuk perlidungan? Penyediaan makanan agar tidak mati karena kekurangan gizi, penyediaan pakaian untuk menutup aurat, penyediaan papan agar tidak terkena gangguan, penyediaan obat dan perawatan bila sakit. Ini baru fikih, walaupun ini bukan fikih baru! Bukankah strategi pemenuhan kebutuhan pokok berangkatnya dari premis-premis seperti itu?

Penulis tidak melihat adanya halaman fundamental untuk mengembangkan kerangka sebuah etika sosial yang relevan bagi kebutuhan kita kini, yang bertolak dari pemahaman kontemporer atas fikih. Mungkin yang dimaksud oleh penulis ini justru adalah apa yang dikehendaki cendikiawan yang tadinya meminta orientasi fikih itu ditinggalkan saja. Kalau memang demikian, sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat. Yang ada hanyalah mispersepsi atas fungsi fikih dalam kehidupan, sesuatu yang dapat diperbaiki kalau kita jujur.

Dari pada kita memperdebatkan perlu atau tidaknya fikih dilestarikan, sebenarnya lebih konstruktif kalau dilakukan kampanye pemahaman ulang atas fikih itu sendiri. Dalam kenyataan, mayoritas “kaum fikih” sendiri masih memperlakukannya sebagai warisan final. Mereka melupakan, bahwa fikih sebenarnya berfungsi “mengawal perkembangan zaman.” Mengawal berarti menjaga agar perjalanan berlanjut, tetapi tidak tersesat jalan. Bukannya justru menghentikan perjalanan itu sendiri.

Definisi umum yang diterima tentang fikih adalah “hukum-hukum yang disimpulkan dari dalil-dalil keagamaan”. Dalil-dalil keagamaan itu bisa berwujud ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, konsensus umat maupun qiyas (analogi). Bukankah inti kerja fikih adalah menyimpulkan, bukannya menerima saja sesuatu keputusan masa lampau tanpa dilakukan pemeriksaan ulang atasnya?

Dapat disimpulkan disini, bahwa fikih sebagai kompendium dan kompilasi keputusan hukum, potensial memiliki khazanah yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan secara kontemporer, Sedangkan fikih sebagi disiplin ilmu, dengan segala alat bantunya, dapat dijadikan salah satu dari rangkaian titik tolak bagi pengembangan etika sosial yang memadai bagi pembentukan masyarakat yang adil, sejahtera dan manusiawi.

Sudut pandang ini perlu dikemukakan, karena dari kerja pengembangan fikih itulah sebuah etika sosial yang relevan tetapi memiliki perspektif kesejarahan dapat dilakukan.