Gus Dur Menjawab: Meliputi Kolusi, ICMI, PPP, Khittah, dan Hubungan Antara PBNU (Wawancara)

Sumber Foto: https://www.nu.or.id/fragmen/penghargaan-dan-doktor-kehormatan-yang-pernah-diberikan-kepada-gus-dur-voOIv

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Hari kedua, acara dialog temu alumni PMII tingkat nasional, Senin, 19 April 1994, pukul 16.30 (wib) di ruang audensi Hotel Salemba, Jakarta Pusat, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menjawab. Ini merupakan tanggapan pertanyaan peserta setelah menyampaikan orasi ilmiah.

Muhammad Iqbal Assegaf, PMII periode 1988-1991 mengajukan pertanyaan mengenai perhatian NU terliadap persoalan politik. Warga NU, katanya, bingung dengan perilaku politik NU sekarang ini. Gus Dur dipandang sebagai biang keladi persoalan itu. Pemuda yang sekarang menjadi staf ahli Menpora ini akhirnya menyarankan perlunya implementasi khittah agar warga NU tak terus-terusan bingung.

Soal kebingungan sebagian warga mantan Ketua Umum PB NU tak hanya diajukan oleh Iqbal. Kemas Arsyad, ketua Foksika Jambi RIFQI RIVA 92 merasa bingung dengan perilaku Gus Dur sendiri. la melihat warga NU di daerah-daerah begitu tertekan oleh situasi politik sekarang ini. Sementara menurutnya, Cak Dur (Kemas memanggilnya dalam dialog-Red) mendapatkan hadiah prestisius Magsaisai dari Negeri tetangga Philipina. Mantan anggota legeslatif daerah Tingkat I Jambi itu menuduh Gus Dur mendapatkan hadiah itu karena darah para warga NU.

Lebih dari itu, kesengsaraan warga NU di daerah, katanya, bertambah parah gara-gara pertentangan Cak Dur dengan Habibi (ICMI). Sementara nentara tampak dari bawah Gus Dur malah rangkulan dengan LB Murdani, tandasnya. Sekarang ini pun, lanjutnya, Cak Dur bersedia menjadi ketua PPP.

Lain Kemas lain pula Saimuri. Pencipta Mars PMII ini menyalahkan Gus Dur berkenaan karirnya. Tokoh daerah yang dua kali menjadi Wali Kota ini merasa terhambat gara-gara NU. Dia gagal menjadi Kepala Kantor Inspektorat Daerah Tingkat I Padang setelah identitas ke-NU-annya diketahui atasan.

Gus Dur pun memberi jawaban yang tak kalah emosionalnya. Tentang penghargaan Ramon Magsaisay. “Saya memperoleh hadiah Magsaisay dengan darah, tidak benar. Konsideran pemberian penghargaan itu jelas karena alasan keumatan. Hadiah itu untuk warga NU. Bukan untuk saya. Uang yang menyertai piagam penghargaan itu saya gunakan untuk kepentingan warga NU”.

Juga masalah terhambatnya karir dalam jabatan eksekutip. “Saudara sebagai alumni jangan melihat perjuangan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Kehidupan petani di desa-desa itu butuh pembelaan. Mereka kebanyakan adalah warga kita. Harga gabah anjlog. Petani diperas untuk kepentingan orang-orang kota. Tanah mereka juga kena gusur dengan cara tidak adil. Itu mestinya yang harus dipikirkan oleh alumni PMII.

“Saya juga saudara tuduh anti ICMI. Habibi itu memang punya kharisma ilmiah dan teknologi. Tapi apakah dia betul-betul membawa asprasi Islam. Dia bertugas untuk menggiring orang. Sesudah itu ya sudah. Sekarang tugas itu dilimpahkan kepada Tarmidzi Taher.

Tarmidzi Taher itu bukan orang tidak pinter. Saya cukup lama bergaul dan bekerjasama dengannya, sejak dia masih di Pusat Pembinaan Mental (PUSBINTAL) ABRI.

Walau kenal dia sudah lama, NU tak pernah kolusi dengan Pemerintah. Kolusi justru terjadi dalam KAHMI. Antara birokrat dan pengusaha anggota KAHMI. Karena organisasi itu menghidupi kaum pengusaha. Itu politik. Saya dituduh rangkulan dengan LB Murdani. Hubungan saya dengan Pak LB memang baik, sebagaimana dengan lainnya. Dia memang orang pandai. Tapi bukan berarti saya seperjuangan dengannya. Sayalah orang yang menyatakan tidak setuju dengan Petrus. Yaitu pemberantasan kejahatan dengan cara membunuh penjahat secara misterius pada zaman LB Murdani menjadi Pangab.

Saya juga tak habis pikir, kenapa saya juga dituduh nggembosi PPP. Saya tak pernah melakukan itu. Tak pernah nggembosi PPP. Karena itu saya tidak akan minta maaf. Tindakan itu dilakukan oleh oligarki Jatim. Termasuk pula Pak Mahbub. Harus dibedakan antara memposisikan NU sesuai khittah dengan aksi penggembosan.

Meski begitu bukan berarti saya mau dijadikan Ketua Umum PPP. Pada dasarnya saya menolak, tidak mau menjadi ketua PPP. Cuma kalau saya menyatakan secara blak-blakan, saya kasihan dengan orang-orang NU di PPP. Mereka itu juga saudara kita.

Saya ini ketua umum PBNU. Saya adalah pengemban pelaksanaan khittah. NU sama sekali tak ada kaitan organisatoris dengan PPP. Ketua Umum juga tidak dibenarkan merangkap jabatan pengurus harian dalam organisasi lain. Mana mungkin saya mau menjadi Ketua Umum PPP. Namun, saya memang sering beda dengan anggota PBNU lainnya. Mengapa tidak, sebab saya ini terbiasa hidup menderita. Saya dan keluarga saya, ketika masih di Jombang, selama delapan tahun hidup dari jualan kacang. Lain dengan sementara ketua lainnya. Ada yang — ibaratnya — sejak lahir sudah menjadi anggota DPR. Beberapa periode duduk di situ. Lalu menjadi duta besar. Dan sepulangnya lalu menjadi anggota DPA bersama Pak Domo sekarang ini. Karena latar belakang itulah, kami selalu berbeda.

Karena itu saya tak terlalu berharap implementasi khittah itu rampung sekarang. Pekerjaan itu akan diselesaikan nanti oleh generasi NU yang sekarang masih dibawah umur tiga puluhan. Iqbal sendiri (mantan ketua PB PMII) tak termasuk di dalamnya. Kalau Anda mau terlibat, bantulah mereka dengan buku-buku atau kitab-kitab. Saya sendiri juga akan menghabiskan umur saya untuk terus membantu mereka.

Untuk saat ini, biarlah sisa-sisa lasykar Pajang itu habis. Sesudah itu baru kita rangkum dengan ikatan dan acuan sama. Yakni khittah. Dengan itu pembelaan Islam dilakukan secara secara konstitusional. Kendati begitu NU tak menuntut kekuasaan. Namun posisi berdasar khittah itu bersifat sentral. Berdasarkan keputusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983), sila Ketuhanan dalam Pancasila sebagai aqidah umat Islam, yakni tauhid. Sila-sila yang lain sebagai syariah. (Supna Yusuf)