Membaca Sejarah Lama (19)

Sumber Foto: https://bprsku.co.id/kedatangan-bangsa-eropa-ke-indonesia/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Penafsiran atas sejarah, dapat dibagi dalam dua hal, yaitu penafsiran umum yang dapat terjadi atas sejarah semua bangsa, seperti yang dilakukan Arnold Y. Toynbee dalam A Study of History yang kolosal itu (sebelas jilid). Sebaliknya, ada yang hanya mengkhususkan diri pada kerangka analisis khusus untuk sebuah kelompok manusia saja. Contoh dari pendekatan khusus ini adalah karya O. Spengler, yaitu Untergang des Abenlandes yang hanya khusus membicarakan bangsa-bangsa Barat. Menurut analisisnya, sebuah bangsa akan menempuh masa formatif, masa dewasa, dan masa lanjut. Dan, menurutnya lagi, “bangsa-bangsa Barat” sudah berada di usia lanjut dan berada di masa senja, tinggal menunggu kehancurannya.

Mengenai kerangka yang digunakan Toynbee itu, ia menunjuk kepada sebuah proses, yaitu tantangan (challenge) dan jawaban (response), yang berlaku bagi semua bangsa. Ia menyimpulkan, umpamanya, bahwa kerajaan-kerajaan besar selalu lahir di tepi sungai-sungai besar, seperti Mesir di tepi sungai Nil, Sumeria di tepi sungai Tigris, dan Euphrate (kawasan Mesopotamia, di Irak sekarang). Contoh ini dapat diteruskan dengan Beijing di tepi sungai Hwang Ho, Mohenjodaro di tepi sungai Indus, Majapahit di tepi sungai Brantas, dan Sriwijaya di dekat Sungai Musi.

Tepi sungai dalam pandangan Toynbee memberikan banyak tantangan, seperti banjir, penguasaan pelayaran sungai, dan pengamanan daerah-daerah tepi sungai. Kalau jawaban yang diberikan tepat adanya maka akan terjadi akumulasi kekuasaan dan kemampuan untuk menjawab tantangan, karena akumulasi itulah yang menjadi jawaban yang diperlukan untuk menciptakan kerajaan yang besar. Hanya saja, teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapakah ada kerajaan-kerajaan besar yang tidak terletak di sungai yang besar pula? Sedangkan tantangan yang dihadapi tidak pernah dijelaskan, bagaimana mengukurnya?

*****

Yan Romein, seorang sejarawan berkebangsaan Belanda, melihat perkembangan sejarah dari sudut lain. Dalam bukunya, Aera Europa yang diterjemahkan dalam tahun-tahun 50-an ke dalam bahasa kita, ia melihat adanya sebuah Pola Kemanusiaan Umum (Algemeene Menseliyk Patroon) di dalam melihat sejarah semua bangsa. Pola Kemanusiaan Umum (PKU) ini memiliki tanda-tanda keyakinan agama tradisional, jalan hidup masyarakat yang agraris dan kekuatan raja yang sangat besar. Ini ia dapatkan dalam sejarah setiap bangsa.

Ketika terjadi krisis moral yang melanda umat manusia di sekitar abad VI SM, timbullah dua jenis reaksi yang sangat berbeda. Di kalangan semua bangsa, terjadi penyegaran moral, dengan sang moralis memperoleh penghargaan tinggi dan menjadi panutan semenjak itu. Akhnaton di Mesir, Zarathustra di Persia, Budha Gauthama di India, dan Loutse dan Konghuchu di daratan China, menjadi contoh-contoh moral yang diikuti orang hingga saat ini.

Berbeda halnya dengan Eropa, yang menempuh jalannya sendiri. Di mulai dari para filosuf Yunani Kuno, yang mengemukakan rasionalitas sebagai ukuran tindakan manusia, maka terjadilah penyimpangan Eropa dari PKU di atas. Melalui supremasi hukum dalam Pax Romana, pengorganisasian yang rapi oleh gereja Katholik, dilanjutkan oleh masa pencerahan/Aufklärung, diteruskan oleh rasionalitas yang bertumpu pada pendekatan empirik, munculnya revolusi industri, dilanjutkan dengan abad ideologi dan abad XX M yang membawakan ketidakpastian ideologis. Kesemuanya itu, membuat bangsa-bangsa Eropa pada akhirnya mengalahkan PKU dan memaksa PKU untuk mengikuti garis hidupnya atas nama “kemajuan”.

*****

Begitu banyak kerangka ditawarkan oleh para sejarawan kita, tetapi tidak ada satu pun yang dapat menerangkan perjalanan bangsa-bangsa dengan kepastian yang memuaskan. Karena itu, datanglah godaan untuk menganggap memang tidak ada kerangka yang tepat untuk itu. Bukankah semua kerangka yang ditawarkan memiliki perkecualian-perkecualiannya sendiri? Inilah yang membuat kita ragu-ragu menggunakan kerangka penafsiran apa pun untuk memahami sejarah manusia.

Keragu-raguan seperti itu patut pula diragukan karena jangan-jangan memang ada penfsiran yang layak digunakan. Bukankah keengganan menerima sebuah kerangka pemahaman dan penafsiran atas sejarah bangsa-bangsa, timbul dari sikap yang terlalu menganggap benar hal-hal yang sifatnya rasionalistik? Karenannya, sikap yang benar adalah memahami sebuah cara penafsiran secara tuntas, untuk digunakan pada sebuah kasus saja, dengan tidak menempuh cara generalisasi (taʼmim) apa pun. Biarlah sejarah melakukan selebihnya, karena kita tidak puas dengan satu metoda penafsiran pun.

Mungkin cara dewasa seperti ini, memang diperlukan dalam memahami sejarah dunia. Hidup manusia yang begitu kaya dengan hal-hal yang tidak dapat dimasukkan kerangka apa pun, tentunya menolak penafsiran tunggal, betapa agungnya sekalipun kerangka yang digunakan. Di sinilah, sejarah harus menundukkan kepala menghormati wewenang filsafat. Pada titik inilah kita menghormati analisis falsafi, seperti apa yang dilakukan Ortega Y. Gasset, dalam Rebellion de la Massas, yang pada akhirnya, massa-lah yang menentukan segala-galanya.