Membaca Sejarah Lama (23)

Sumber Foto: https://travel.okezone.com/read/2016/11/17/406/1543705/misteri-letak-keraton-yogyakarta

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sewaktu penulis ke Tapanuli Selatan (Tap-Sel), baru-baru ini, ia diterima oleh seorang raja adat yang memberikan kain ulos dan tutup kepala kepadanya, di samping menjamu makan siang secara adat. Setelah itu, ia ikut serta dalam mobil yang ditumpangi, hingga di sebuah pesantren di atas tanah miliknya, seluas sepuluh hektare dan disediakan bagi sebuah pembangunan pesantren di atas. Ia bercerita pada penulis tentang impiannya mengenai pesantren itu. Yang menarik adalah apa yang diperhatikan penulis; sebagai raja yang memimpin adat, ia justru dengan kata-katanya mencoba menghubungkan hukum adat dan pendidikan Islam. Untuk itu, ia mendirikan sebuah pesantren yang mau tidak mau merupakan sebuah gerakan agama, berbentuk lembaga pendidikan.

Ini sejalan dengan tindakan gereja Kristen Protestan di tanah Batak, yang mengusulkan agar seseorang raja pemimpin adat, yaitu Sisingamangaraja ke XII diangkat sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah. Di sini, tampak penghargaan dari sebuah gerakan agama, yaitu gereja Kristen Protestan yang nota-bene adalah sebuah gerakan agama, untuk menghargai seorang raja adat. Di sini, terlihatlah hubungan simbiotik antara raja sebagai sebuah institusi dan gerakan agama, juga sebagai institusi. Hal ini dapat dijumpai dalam sejarah lama kita di segala penjuru tanah air.

Jelaslah dengan demikian, betapa hubungan saling mendukung terjadi antara raja adat dan gerakan agama. Karena keduanya adalah institusi yang berakar pada tradisi, dengan sendirinya tradisi kedua belah pihak berpilin menjadi satu dalam hubungan saling mendukung dan memberikan legitimasi. Hal inilah yang sering membuat pusing kalangan kaum pembaru yang mengatasnamakan “modernitas” yang ingin memaksakan kehendak atas keduanya. Kalau keinginan mereka itu tidak didengarkan oleh kedua belah pihak, maka baik raja maupun gerakan agama yang bersangkutan dianggap kolot.

*****

Penampilan yang saling bertentangan dalam fungsi, baik institusi yang modern maupun lembaga yang kolot, juga dialami oleh keraton Yogyakarta, tegasnya oleh Hamengkubuwono. Sebagai lembaga yang “modern”, ia dianggap berpengaruh besar dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Tapi, sebagai institusi yang “kolot”, seorang Sultan dibenarkan oleh sejarah untuk mengembangkan wayang dan sebagainya, sebagai bentuk tradisional dari kesenian daerah. Bahkan, seorang Sultan Hamengkubuwono melindungi kaum pembaru dan kaum tradisional yang dianggap “kolot”, di kalangan umat Islam.

Sejarah mencatat, bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan pembaru dalam Islam, didirikan dan dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan di tahun 1912. Ia adalah seorang penghulu keraton (Danuredjo), yang tidak mau terikat dengan madzhab hukum agama mana pun. Semboyannya “jangan hidup dari Muhammadiyah, melainkan hidupi Muhammadiyyah”, tak lain adalah sebuah pendekatan baru dalam kehidupan kaum muslimin. Begitu juga titik berat kegiatannya dalam soal-soal pendidikan, kesehatan, dan kerja-kerja sosial sangatlah berjiwa baru.

Sebaliknya, keraton juga berpegang pada hal-hal tradisional, seperti “Masjid Pethok Negoro”, antara lain di Wonokromo dan Mlangi. Para Kiai yang memimpin masjid-masjid tersebut, sering bersikap kolot, dan Sultan harus melindungi mereka. Karena itu ia pun dianggap tradisional dan “kolot” juga. Karena ia mewakili sebuah institusi, dengan sendirinya lembaga yang dipimpinnya, yaitu keraton, juga berwatak sama. Sekarang keraton juga menjadi tempat berlangsungnya sema-an, yang tadinya dirintis oleh Kiai Hamim Jazuli dari Ploso Kediri, sering juga dikenal dengan nama Gus Mik.

*****

Fungsi ganda lembaga tradisional kita, di samping membawa pembaruan dan memelihara kekolotan sekaligus, adalah sesuatu yang tak perlu diherankkan. Memang masyarakat bangsa kita demikian itu halnya, dan hal ini justru menjadi kekuatannya. Justru bagaimana memelihara tradisi dan sekaligus mengambil hal-hal baru adalah tanda kematangan. Di sini berlakulah adagium NU: memelihara yang baik dari masa lampau, sambil menyerap hal-hal baru yang lebih baik (Al-Mukhafadzatu ‘ala al-Qadîmi ash-Shalih, wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah). Dengan demikian, institusi yang mewakilinya, seperti pondok pesantren dan masjid-masjid, memiliki watak yang sama. Hal inilah yang perlu dikatakan dengan rinci, kalau diinginkan kita mengetahui NU dengan mendalam. Hal ini, yang sering tidak diperhatikan orang karena keasyikan ingin me” modern” kan organisasi ini.

Kecenderungan melakukan modernisasi dengan mencari sesuatu yang relevan dari masa lampau, sering dilakukan tanpa disadari. Greg Barton, seorang peneliti dari universitas Deakin di Geelong, Australia, menyebut dalam disertasinya akan empat orang pembaru Islam seperti itu. Keempat perubahan itu, menurutnya, adalah intelektual muslim neo-modernis. Dimaksudkan dengan kata tersebut, yakni kemampuan memandang masa depan dengan tidak tercerabut dari akar-akar tradisi masa lampau. Salah satu dari keempat orang itu, menurut Barton, adalah Dr Nurcholish Madjid, yang dinilainya sebagai pemikir yang menghormati warisan budaya masa lampau, seperti tersimpan dalam buku-buku/kitab-kitab lama. Literatur lama (al-Kutub al-Muqarrarah) itu adalah sumber yang memelihara tradisi, lengkap dengan kekolotannya. la berperan untuk memelihara agar pembaruan yang terjadi tidak tercerabut dari akar-akar budaya lama.

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa baik raja-raja adat maupun para intelektual neo-modernis, adalah pelaku-pelaku sejarah yang mementingkan kontinuitas (persambungan) dalam melakukan pembaruan. Mereka bukanlah orang-orang yang malas berpikir, melainkan berhati-hati dalam melakukan tindakan. Kita mencapai modernitas sebagai bangsa, tanpa harus terpecah belah antara yang kolot dan yang modern. Semuanya, memperoleh tempat dalam kehidupan bangsa yang demikian banyak jumlahnya. Inilah, makna sebenarnya dari semboyan nasional; Bhinneka Tunggal Ika, yaitu persatuan dalam keragaman.