Membaca Sejarah Lama (6)

Sumber foto: https://id.pinterest.com/pin/56506170334274985/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam buku-buku sejarah selalu dikemukakan, pendiri Majapahit adalah Raden Wijaya. Ia adalah menantu Kertanegara dari kerajaan Singosari. Bahwa ia mendirikan kerajaan baru dekat desa Tarik (sekitar Krian, sekarang) adalah kenyataan sejarah yang tak terbantahkan. Begitulah kata buku-buku sejarah, yang berdasarkan literatur agung seperti Negara Kertagama dan sebagainya.

Penafsiran pertama atas kejadian ini, menunjuk pada ambisi politik pribadi dari Raden Wijaya, karena dia tidak mungkin akan menjadi raja di Singosari. Lalu ia pun akhirnya mendirikan kerajaan Majapahit untuk memenuhi ambisi politik pribadinya tersebut. Hal ini sesuai dengan keputusan MPR RI untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa guna memenuhi ambisi politik pribadi masing-masing–bahkan, kalau perlu dengan melanggar UUD.

Sebuah penafsiran lain menunjuk pada kenyataan yang berbeda. Bahwa untuk mendirikan kerajaan baru itu, Raden Wijaya haruslah dibantu Angkatan Laut China yang–saat itu, menguasai laut Jawa. Mereka adalah pelaut-pelaut muslim dan mustahil mereka mau membantu Raden Wijaya meriskir kemarahan Kerajaan Singosari, jika bahkan karena alasan agama yang mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Yaitu, bahwa Raden Wijaya adalah juga seorang muslim. Memang tak ada prasasti yang membuktikan hal ini, tapi, pertimbangan-pertimbangan akal mendorong kita ke arah penafsiran tersebut.

***

Jika penafsiran di atas dapat dianggap benar, jelas bahwa di masa itu telah ada masyarakat muslim di kawasan utara pulau Jawa. Ini bersesuaian sepenuhnya dengan apa yang di uraikan R Boechori, kepala dinas purbakala kita dalam “An Introduction to Indonesian Historiography” dengan editornya Sudjatmoko. Menurut Boechori, dalam abad ke-10 telah ada komunitas muslim di Gresik, tak jauh dari desa Tarik. Masyarakat itu didirikan oleh Fatimah binti Maimun di desa Leran, dekat Gresik. Mustahil dalam masa tiga abad tidak ada perkembangan Islam sama sekali. Apalagi dalam kitab “Al-Kawakib al-Lamma’ah” juga disebutkan bahwa ada Sayyid Jamaluddin Husain, kakek dari Sunan Ampel, yang sekurun dengan masa sekitar hidupnya Gadjah Mada. Tentu, Sayyid Jamaluddin Husain ini-pembangun surau yang kemudian didampingi Klentheng di Gunung Kawi, adalah pejuang yang menginginkan tegaknya masyarakat Islam di tanah Jawa.

Berarti, waktu itu telah ada masyarakat minoritas Islam di tengah-tengah mayoritas masyarakat Hindu-Budha (Bhairawa). Ini berarti, telah merasuknya masyarakat baru yang mendambakan kemajuan negeri dan perkembangan teknologi, di tengah-tengah kesibukan para raja Majapahit untuk memperluas kekuasaan mereka melalui peperangan. Jadi pantas, jika masyarakat muslim yang menjadi alternatif itu tampak menarik bagi masyarakat Majapahit pada saat itu.

Jadi, dugaan bahwa orang banyak bosan dengan sikap raja-raja Singosari dan beberapa raja Majapahit, serta mencari alternatif dengan menyelusupnya sejumlah kaum muslimin ke dalam istana Majapahit merupakan sebuah hipotesis yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis. Apalagi kalau hal ini dihubungkan dengan bantuan Angkatan Laut China yang beragama Islam yang menguasai perairan antara Madagaskar, dekat benua Afrika, dan Ascunsion (pulau Tahiti) yang terletak di kawasan Pasifik.

***

Dalam karya “1492” (Quatroze Neuf-Deux) disebutkan bahwa Angkatan Laut China yang beroperasi itu adalah kekuatan muslim, tentu mereka turut campur dalam persoalan-persoalan politik lokal. Baru dalam abad berikutnya, ketika seorang menteri peperangan China menjadi salah seorang Mangkubumi (regent), Angkatan Laut ini dipanggil pulang ke tepian daratan China. Di kawasan itu, keseluruhan kapal laut tersebut dibakar habis, karena sang menteri–yang, adalah seorang Konfucius fundamentalis, merasa takut jika masyarakat Tionghoa di tanah rantau itu akan menumpuk kekayaan.

Dengan begitu, mereka dapat membeli tanah di daratan Tiongkok dan menjadikan seluruh negeri beragama Islam. Masyarakat Tionghoa muslim di pulau-pulau nusantara, terutama di Jawa, akhirnya kehilangan kontak dengan daratan China dan segera mereka diserap oleh masyarakat pribumi” dan dengan sendirinya hilang ke-China-an mereka. Jika penafsiran ini benar maka pergumulan yang terjadi antara masyarakat muslim dan Bhirawa di Majapahit dalam abad 14 itu tentu berjalan sangat menarik.

Sebuah andaian lain juga menjadi sesuatu yang sangat menarik. Jika Raden Wijaya adalah seorang muslim, apakah ia tidak berasal dari keturunan Tionghoa, alias dari kaum Peranakan? Jika benar, nama Wijaya tentu menunjukkan marga yang dimilikinya, yaitu marga Oey atau Wie, yang dalam cabangannya juga disebut Wong atau Wang. Dan jika ini benar, tentu sangat menarik bahwa raja-raja terkemuka selalu menggunakan gelar Brawijaya (raja-raja Wijaya). Ini tentu sejalan dengan nenek moyang penulis yang bersal dari marga Tan (bahasa Mandarin: Chen). Menarik bukan?