Menetapkan Pangkalan-pangkalan Pendaratan Menuju Indonesia yang Kita Cita-citakan

Sumber Foto: https://nursyamcentre.com/artikel/khazanah/toleransi_beragama_pada_masa_nabi_muhammad_saw

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam kehendak melaksanakan pembangunan, pertama-tama kita harus sadar betul bahwa hal itu merupakan pekerjaan yang berjangka panjang. Itu berarti sasaran akhir pembangunan tak dapat dicapai langsung. Diperlukan “pangkalan-pangkalan pendaratan” untuk mencapai sasaran akhir. Karena sasaran akhir pembangunan adalah menciptakan kesejahteraan hidup lahir batin bagi seluruh rakyat, maka diperlukan keterlibatan seluruh rakyat dalam usaha-usaha pembangunan yang dilaksanakan. Dengan demikian pangkalan-pangkalan pendaratan tidak lain adalah pendekatan- pendekatan yang akan kita gunakan dalam proses menyadarkan rakyat tentang makna pembangunan sehingga keterlibatannya secara aktif dapat diharapkan

Terbuka dua pilihan dalam menciptakan pangkalan-pangkalan pendaratan ini. Pertama, bagi yang romantik revolusioner yaitu dengan memobilisir gerakan rakyat. Rakyat disadarkan melalui pendidikan politik secara keras dan tajam disertai disiplin yang tinggi. Fanatisme rakyat terhadap pembangunan perlu dibangun. Hal ini bisa dilakukan bila terdapat apa yang dinamakan clear ideology. Dalam clearideology, kaitan semua aspek kehidupan dalam kerangka mencapai tujuan akhir dirumuskan secara jelas. Termasuk siapa kawan dan siapa lawan. Terlepas dari benar-tidaknya pendekatan ini, saya melihat pendekatan tersebut tidak mungkin dilaksanakan di Indonesia. Mengapa? Masalah ideologi itu sendiri di Indonesia masih belum clear.

Saat ini belum mungkin menyadarkan rakyat tentang ideologi Pancasila secara total. Bahwa Pancasila artinya ini-ini-ini dan itu itu-itu. Rumusan dari atas terlampau umum dan terasa dipaksakan. Lebih bersifat indoktrinasi ketimbang untuk dihayati. Sedangkan dari bawah belum mungkin mengajukan alternatip-rumusan. Dalam artian sama-sama Pancasila tetapi dengan penjelasan yang sifatnya merupakan alternatif dari penjelasan pemerintah. Hal ini disebabkan kita belum memiliki tradisi untuk melakukan yang serupa itu. Baik tradisi pers, partai atau gerakan-gerakan masyarakat lainnya. Walaupun saya mengagumi gerakan ta chai di RRC di mana mampu menggerakkan dokter-dokter serta paramedik untuk hidup di desa-desa, jalan kaki dengan tidak bersepatu, tapi pada akhirnya toh gagal juga. Kini RRC meninggalkan pendekatan pembangunannya yang lama dan mulai berpaling pada kapitalisme.

Pilhan kedua. Kita melaksanakan suatu proses yang dari awal kita sadari akan berakhir pada suatu strategi-alternatif, bukan ideologi-alternatif tentang pengembangan bangsa. Sebagai misal gerakan pedesaan yang dilakukan oleh Katolik. Oleh pak Sarino, atau oleh pesantren di berbagai tempat dan sebagainya. Kesulitan dalam melaksanakan pilihan ini, tidak ada pedoman yang pasti. Karena yang mau digunakan sebagai pangkalan itu sendiri merupakan sesuatu yang tidak mudah ditentukan. Pangkalan tersebut telah memiliki kehidupan tersendiri, sehingga sulit untuk mengubahnya begitu saja. Kita harus mengenal secara mendalam hidup kejiwaannya. Dalam hal pesantren misalnya, bila kita sudah mengenal hidup kejiwaannya yang terdalam, kita dapat mengintegrasikan diri secara penuh sehingga bisa memulai proses perubahan dari dalam (innerchanges). Saya sendiri masih ragu terhadap proyek-proyek yang sedang dikerjakan di berbagai tempat dewasa ini. Apakah memang bisa terjadi perubahan dari dalam? Sebab, yang berjalan sampai sekarang adalah ditawarkannya suatu hardware disertai sekedar software. Suatu rangsangan dari luar. Berarti tidak bermula dari dalam, dari obyek itu sendiri. Proyek LP3ES di bidang pesantren misalnya, baru bisa disebut berhasil bila mampu merangsang pesantren mengembangkan sumberdayanya sendiri. Tanpa tergantung pada rangsangan dari luar, dalam hal ini LP3ES. Sejauh ini belum nampak adanya interdynamic dan interlife dari pesantren seperti yang diharapkan. Demikian pula dengan apa yang disebut keberhasilan Desa Cangkringan yang mendapat hadiah dari pemerintah untuk penanggulangan masalah air. Menurut hemat saya. Keberhasilan tersebut karena adanya intervensi dari Dian Desa. Intervensi semacam ini biasanya mahal biayanya dengan hasil yang terlampau sedikit. Dengan menyebut contoh-contoh tersebut bukan maksud saya agar pilihan pendekatan kedua itu ditinggalkan. Yang hendak saya ingatkan hanyalah jangan berharap yang berlebih- lebihan. Proses seperti yang diharapkan ini membutuhkan waktu lama. Barangkali satu-dua generasi tidak cukup.

Dengan uraian di atas, yang hendak saya persoalan sebenarnya adalah:  dalam upaya melaksanakan pembangunan sekarang ini, kerangka transformasi bagaimana yang hendak kita tempuh? Dalam hal pesantren, yang dikerjakan sekarang ini adalah transformasi sosial-ekonomis. Satu usaha bagaimana meningkatkan kemampuan produksi lapisan rakyat terbawah dan dengan itu meningkatkan penghasilannya. Cara yang ditempuh yaitu dengan memasukkan inputinput yang diperkirakan akan dapat mengembangkan sumberdaya manusia pada suatu lingkungan masyarakat. Di sini peranan para Tenaga Pembina Lapangan (TPL) mempunyai arti penting. Tapi akan keliru bila kita menganggap bahwa merekalah yang melakukan transformasi. Lebih parah lagi kalau mereka yang terjun kedesa-desa ini merasa dirinya sebagai penggerak perubahan. Akan muncul pahlawan-pahlawan cengeng yang menganggap dirinya hebat hanya karena telah masuk ke desa. Bagaimanapun mereka adalah orang luar yang sebetulnya bukan apa-apa. Bekerja untuk lapisan masyarakat terbawah di pedesaan membutuhkan sikap rendah hati. Bahwa apa yang dikerjakan pada dasarnya hanyalah suatu proses awal. Gerakan yang sebenarnya, baru terjadi bila proses perubahan telah dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.

Melihat keterbatasan pilihan untuk menetapkan pangkalan-pangkalan pendaratan tersebut, seharusnya menyadarkan pada kita semua betapa peliknya permasalahan pembangunan. Itu kalau kita melihat pembangunan sebagai proses transformasi masyarakat dan bukan sekedar sebagai pembangunan sarana dan prasarana fisik.

MENGISI KEMERDEKAAN

Kita hendaknya jangan gegabah mengatakan bahwa yang kita kerjakan selama ini adalah dalam rangka mengisi kemerdekaan. Kalau mengisi berarti kita telah tahu persis apa yang hendak diisikan  Lha wong kita ini belum tahu kok. Isi kemerdekaan itu kan masih kita cari bersama? Apakah itu pembangunan dengan pendekatan trickle down effect? Kalau yang menetes dari pembangunan berupa tetesan yang dipolitur di sana-sini agar mengkilat lalu menjadi konsep bapak angkat-anak angkat di mana golongan ekonomi kuat diharapkan ngemong golongan ekonomi lemah seperti selkarang ini, itu kan namanya mengisi yang tambal sulam. Ataukah kita menempuh cara romantik-revolusioner dengan meletakkan semua alat produksi di tangan rakyat melalui semacam pengawal revolusi? Hasilnya kita sudah tahu yaitu tumbuhnya birokrasi baru. Menjadi kelasnya Milovan Djilas, Sosialisme yang mentah!

Karenanya kita jangan terjebak dengan anggaran bahwa yang kita kerjakan selama ini telah merupakan usaha mengisi kemerdekaan. Dalam mencari isi kemerdekaan yang harus kita jaga, apakah pilihannya sosialisme atau kapitalisme, jangan berakhir pada kesudahan hilangnya arti kemerdekaan. Pernyataan bahwa yang kita kerjakan selama ini adalah usaha mengisi kemerdekaan mengakibatkan timbulnya koreksi yang salah kaprah. Produk-produk protes mahasiswa ataukah retorika romantik revolusioner yang dikumandangkan oleh berbagai kalangan masyarakat atau bahkan gerakan- gerakan masuk desa yang didasarkan keinginan membela nasib rakyat adalah bertolak dari anggapan bahwa kita sedang bekerja mengisi kemerdekaan. Padahal proses menemukan isi kemerdekaan itu saja menurut anggapan saya membutuhkan waktu dua-tiga generasi.

Perjalanan bangsa mencari isi kemerdekaan memerlukan masa transisi untuk mendewasakan diri. Dengan Proklamasi Kemerdekaan sebenarnya kita sudah punya modal walaupun minim, yakni adanya keinginan untuk menjadi suatu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Itu sangat penting. Apapun yang kita rasakan sekarang ini, apakah kita tidak cocok katakanlah dengan penafsiran mengenai Pancasila, kita tidak boleh lalu berontak atau macam-macam yang lain. Terlepas dari fantasi orang lain, saya menganggap hal itu tidak mungkin kita lakukan. Hal semacam itu sudah lampau yaitu dengan selesainya gerakan separatisme sekitar duapuluh tahun yang lalu. Syukur alhamdulillah bahwa bahaya seperti itu dewasa ini tidak saya lihat lagi. Maka apapun yang kita kehendaki haruslah kita selesaikan dalam lingkup sebagai bangsa.

Jadi minimal, kehendak berbangsa telah kita miliki. Demikian pula kita sudah berpikir dalam kerangka bangsa. Bahwa masih ada residu sedikit di sana-sinitak perlu kita khawatirkan. Pokoknya telah ada persamaan dasar. Misalnya, antara saya yang orang Islam di Jawa ada persamaan pemikiran dengan teman-teman yang Katolik di Indonesia Timur. Bandingkan dengan dulu sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Dewasa ini terdapat cukup kesadaran bahwa menjaga keutuhan sebagai bangsa menghendaki adanya kesamaan dasar pada kita dalam hal-hal yang pokok. Perkembangan ini menurut hemat saya merupakan modal yang sangat luar-biasa pentingnya di mana akhir-akhir ini saya lihat kurang disadari. Karena kurang disadari maka dalam menghadapi berbagai permasalahan, kita lalu mencari pemecahan sendiri-sendiri. Pengertian bangsa dijadikan hanya sebagai perlambang abstrak. Akhirnya sekarang ini mulai timbul kembali gejala neosektarianisme. Dapat kita dengar misalnya kekawatiran tentang bahaya Kristenisasi yang dilontarkan oleh beberapa kelompok Muslim. Demikian pula kekawatiran sebaliknya tentang adanya gerakan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.

Masih ada contoh lain yang memprihatinkan terutama bagi diri saya. Yaitu acara-acara seperti misalnya Pembukaan Sidang Raya DGI baru-baru ini. Upacara yang demikian besar dan megah, menurut saya merupakan semacam pernyataan kekhawatiran mereka bahwa ada yang akan mencaplok mereka, menelan mereka hidup- hidup. Oleh karenanya mereka merasa perlu menyatakan dalam sesuatu yang sifatnya masif berupa pembukaan yang demikian besar-besaran. Simatupang dalam pernyataannya memberi alasan bahwa pembukaan tersebut dilakukan demikian agar pelayanan masyarakat Sulawesi Utara setidak-tidaknya sama dengan pelayanan yang mereka berikan ketika berlangsung MTQ sebelumnya. Simatupang pasti tidak mengerti bahwa bagi saya pelaksanaan MTQ seperti yang berjalan selama ini merupakan hal yang tidak boleh ditolerir. Saya merasa berhak mengeritik pelaksanaan pembukaan Sidang Raya DGI karena saya juga mengeritik pelaksanaan MTQ.

Seandainya Sri Paus datang ke Indonesia, lantas orang Katolik menggunakan momen tersebut untuk menunjukkan kehebatan Katolik sebagai cara untuk mempertahankan identitas kekatolikan mereka, maka saya akan mengeritik pula. Atau bila orang Islam menggunakan abad ke 15 Hijriah ini sebagai momen untuk mempertahankan miliknya yang paling berharga, saya pun akan menentangnya. Patut kita bertanya pada diri masing-masing: untuk apa lagi manfaatnya mencari identitas golongan sendiri yang kuat? Hal ini hanya menunjukkan betapa telah terjadi kemerosotan kesadaran sebagai bangsa. Apa yang dulu telah kita capai secara minimum, sekarang mulai terancam.

Perkembangan akhir-akhir ini mengharuskan perlunya suatu tahap baru guna melestarikan apa yang pernah kita capai. Kesadaran berbangsa sebagai hasil kemerdekaan yaitu dengan mencari nilai-nilai dasar kebersamaan. Konsensus di bidang itu belum tercapai. Sejauh ini apa yang dikemukakakan hanyalah formula- formula kosong yang tidak berbicara kepada bangsa secara keseluruhan. Seringkali hanya untuk mempertahankan suatu kebijaksanaan yang tidak benar atau untuk menutup-nutupi kejadian yang salah. Lalu digunakanlah macam-macam rumusan yang muluk-muluk Rumusan semacam itu tidak akan berbicara apa-apa pada rakyat. Halini berbeda misalnya dengan apa yang dikembangkan oleh Nasser di Mesir. Saya kagum pada Nasser yang mampu memompakan “rasa harus maju” pada bangsanya. Dia berhasil memforsir suatu konsensus yang ditaati dan dipelihara oleh kalangan atas dan berhasil diteruskan sampai ke bawah. Dalam keinginan Mesir untuk mampu mencukupi sendiri kebutuhannya di bidang tekstil, ditetapkan tidak boleh ada nylon masuk. Dilaksanakan proyek seribu pabrik yang tekanannya pada tekstil. Demikian pula halnya dengan pemenuhan kebutuhan akan pulpen. Di sana tidak ada pulpen parker, yang ada hanyalah pulpen Hero. Kesemuanya itu dapat dilaksanakan karena terlebih dahulu Nasser berhasil meletakkan nilai dasar kebersamaan yakni kesederhanaan. Nasser memaksakan bahwa Mesir harus mampu hidup atas apa yang dimiliki. Dan tidak mentolerir pemupukan kekayaan pribadi.

Nilai dasar kebersamaan seperti yang dikembangkan Nasser tersebut, saat ini tidak kita miliki. Toleransi Cuma di mulut, tidak sampai “ke dalam”. Toleransi dan kebersamaan kita tidak tulus. Baik di kalangan yang memerintah maupun yang diperintah. Demikian pula antara yang memerintah dengan yang diperintah. Taleransi kita sekarang hanyalah sekedar proforma saja. Di baliknya terjadi perlombaan yang kasar, seolah-olah itu bagian dari sesuatu yang manusiawi. Kalau acara-acara yang mewah, seperti MTQ dan segala macam lainnya, dikatakan sebagai bagian yang dasar dari kehidupan bangsa dan negara, ini kan salah. Di sini saya melihat pentingnya diciptakan nilai-nilai dasar kebersamaan dari bangsa ini pada saat sekarang. Karena kita telah memiliki modal yaitu keinginan berbangsa sebagai hasil Proklamasi Kemerdekaan, maka kelanjutannya adalah merumuskan nilai-nilai dasar apa yang harus disepakati sebagai bangsa. Hendaknya dibedakan antara sense of beeing a nation dengan nationhood. Nah, yang belum kita miliki ada lah nationhood, rasa kebangsaan. Dalam usaha menumbuhkan nationhood haruslah kita jaga agar apa yang minimal telah kita miliki, tidak sampai sirna akibat kurang dihayati dan diperkembangkan.

TOLERANSI DALAM ISLAM

Menurut saya, kalau kita beriman dalam artian yang jujur, kita akan toleran Nabi Muhammad s.a.w. dahulu toleran pada orang Yahudi. Sebelum orang Yahudi melakukan tindakan politik memotong wibawa nabi, tidak ada tindakan apa pun terhadap mereka. Jadi waktu tindakan diambil, itu bukan lagi tindakan agama atau iman, melainkan tindakan politik. Sudah tak ada sangkut-pautnya dengan iman. Walaupun orang Islam, bila bertindak demikian, ya akan dipotong juga, akan diambil tindakan.

Tidak benar bahwa toleransi dalam Islam secara imani merupakan hal yang mustahil. Mengapa? Pertama bahwa dalam iman Islam, Tuhan sudah menegaskan berkali-kali bahwa kita merupakan bagian terakhir dari suatu perjalanan panjang. Bahwa umat ini telah melalui bermacam-macam pengalaman dalam mencari Tuhan yang satu. Qur’an sendiri mengakui. Betul Qur’an dan Hadist mengatakan bahwa Islam pada akhirnya adalah pencapaian yang benar. Tapi jangan dilupakan bahwa pada waktu mengatakan itu, tidak ada pengingkaran pada hak mereka yang berbeda keyakinan. Buktinya Qur’an sendiri memberi perlindungan kepada orang non-Muslim, baik Kristen maupun Yahudi. Eksistensi mereka diakui.

Saya melihat ada statement Qur’an yang sampai sekarang, menurut saya, dipegang secara salah, yaitu: “Orang Kristen dan Yahudi tidak akan rela demi kamu, sehingga engkau Muhammad mengikuti mereka”. Saya melihat ini salah aplikasi. Mengapa? Sebab itu kan berbicara kepada Muhammad, di mana Muhammad dihadapkan kepada kelompok-kelompok Kristen yang memang- militan pada waktu itu di Medinah, yang ditantang oleh Muhammad. Persis seperti di sini, orang Cina yang sudah binnen di bidang ekonomi, ditantang oleh golongan ekonomi lemah, dia tidak rela.

Masalahnya bukan masalah agama melainkan masalah percaturan kekuatan. Jadi, kita jangan lalu mengatakan bahwa orang Kristen tidak rela kepada Islam, karena iman mereka melarang Islam. Bukan begitu! Pengertian dari statement di atas adalah bahwa mereka sebagai golongan yang dominan ditantang, tentu tidak rela kepada engkau, Muhammad. Kita harus bisa mengerti secara ini, apa yang terdapat dalam Qur’an. Mengapa? Bagi saya mudah, sebab itu dibicarakan kepada Muhammad. Kalau toh itu suatu kondisi absolut, observasi absolut, diktum absolut. Yang tak mungkin diubah, maka ada dua hal yang harus dipenuhi. Pertama, kenyataannya juga harus begitu. Padahal kita tahu bahwa Konsili Vatikan II, menyatakan bahwa orang Katolik menerima kehadiran agama lain. Gerakan Oikumene juga arahnya ke sana. Bahwa terdapat minoritas Muslim yang hidup di negara-negara yang mayoritas non-Muslim. Kedua, harus dilihat message ditujukan pada siapa, sebab Qur’an punya spesifikasi. Kalau dia berbicara kepada Muhammad, itu sesuatu yang kondisinya historis, yang kondisi obyektifnya ada, bukan sesuatu yang mengada-ada. Kalau dia menggunakan: “Hai orang-orang beriman” atau “Hai umat manusia, itu baru lain. Jadi kalau Qur’an mengatakan “orang Kristen tidak akan rela dengan agamamu, Muhammad, sehingga engkau mengikuti mereka.” Konteksnya bukan konteks imani. Orang Islam, terutama di Indonesia dewasa ini tidak memahami hal ini. Mereka melihat ini pada aspek umat, karena itu mereka tidak toleran. Dengan dalih Qur’an sudah mengatakan demikian.

Bila kita melihat Qur’an dan ajaran Islam secara keseluruhan,tidak terdapat hal seperti di atas. Bahkan juris-juris kita sudah lama membicarakan hal ini. Misalnya pengertian tentang jihad. Jihad adalah perang untuk menyebarkan agama. Itu hanya salah satu pengertian. Tapi sebetulnya, ini merupakan bagian terkecil. Ada satu buka yang disusun oleh juris juris Islam, Fadhul Muin, tebalnya sampai 150 halaman tentang masalah jihad ini. Di situ dinyatakan bahwa jihad merupakan kewajiban fakultatif bagi umat Islam, artinya, kalau yang satu mengerjakan, yang lain harus turut, setidak-tidaknya setahun sekali. Bentuknya, pertama berperang di jalan Allah jika diserang. Jadi bila tidak diserang, ya tidak. Kedua, membuktikan keesaan Tuhan. Ketiga, menyampaikan ajaran Islam, seperti dakwah dan sebagainya. Keempat, mencegah kerusakan dari mereka-mereka yang sudah dilindungi, sudah terlindung atau terjaga. Diartikan oleh komentatornya bahwa yang dimaksudkan dengan menjaga serta mencegah kerusakan dari golongan yang sudah terjaga sebagai pertama, memberikan makanan kepada orang-orang yang tidak punya makanan; kedua, memberi pakaian bagi orang yang tidak punya pakaian. Dijelaskan lebih lanjut, untuk makanan kalau di indonesiakan, beras 0.6 Kg/hari: pakaian untuk negara subtropis minimal dua pasang yaitu pakaian tebal dan pakaian dingin. Di samping itu, tempat tinggal yang aman dari pencurian dan lain-lain gangguan. Ini kan basic needs. Masih ada lagi yaitu ongkos pengobatan ditambah harga obatnya. Dan yang menarik di belakang semua penjelasan ini adalah: melindungi mereka yang sudah dilindungi undang-undang; menghormati mereka yang hak-haknya sudah dilindungi undang-undang, termasuk non-Muslim yang tinggal di dalam masyarakat Islam. Semua ini jihad. Nah, bagaimana mungkin dikatakan bahwa Islam itu tidak toleran? Semua ini sudah ditulis, tapi orang-orang itu tidak mau membacanya. Lantas cari diktum-diktum yang memahaminya saja mereka keliru. Kalau mereka mau menggali lebih dalam agama Islam, mereka akan mendapatkan bahwa Islam itu toleran pada semua orang. Dan ini dibuktikan selama berabad-abad secara Islam. Minoritas non-Muslim mempunyai bak tersendiri dalam Islam.

Inspirasi dasar dari sikap toleran dalam Islam adalah pertama karena Tuhan sendiri sudah mengatakan bahwa Kujadikan manusia dan makhluk halus, hanya untuk mengabdi kepadaku saja. Jadi nilai manusia itu sendiri, nilai intrinsik manusia sebagai manusia sebetulnya relatif. Dia hanya mempunyai arti kalau dia memahami Sang Chaliq, Sang Pencipta. Berarti keragaman isi dunia yang diciptakan Chaliq, juga harus disadari. Mengabdi kepada Pencipta berarti menghargai ciptaan-Nya. Ini berarti tidak ada perbedaan warna kulit, Jenis kelamin, termasuk masalah perbedaan kultural dan agama. Perbedaan kultural dan agama tidak seharusnya dijadikan hambatan untuk toleran. Bila tidak mampu memahami hal ini berarti tidak beribadat kepada Tuhan dalam arti yang luas, yaitu menghargai ciptaan-Nya. Di samping itu Tuhan pun mengatakan bahwa kehidupan itu sangat suci. Ini berarti kehidupan adalah satu-satunya konsiderans yang harus dipertahankan sekuat mungkin. Dengan demikian kehidupan tidak boleh dihina, didegradasikan dengan membuatnya tidak tolerable bagi sejumlah manusia. Karena itu hak-hak dasar dari manusia harus ada, yakni kebebasannya sendiri. Atas dasar ini diperkenankan adanya minoritas non-Muslim dalam suatu masyarakat Islam. Sebab termasuk hak dasar:  kebebasan memilih Tuhan sendiri sudah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam memilih agama, Laa igraha fi’ddien.

Dengan sendirinya, jelas dari uraian di atas, sama sekali tidak benar bahwa dalam Islam terdapat kemutlakan untuk menghakimi yang lain. Ini disebabkan oleh dua hal, yaitu: universalitas yang dibawakan oleh ajaran agama mutlak sifatnya, sebagai konsiderans tunggal. Penghargaan kepada kehidupan di dunia yang begitu beragam, yang diciptakan Tuhan. Maka otomatis tidak ada tempat bagi hal-hal yang tidak toleran. Kedua, karena Qur’an adalah dokumen historis yang diturunkan kepada suatu bangsa yang tidak mengenal Budha. Hindu dan sebagainya, selain Kristen dan Yahudi. Sehingga eskatologi, kepercayaan kepada orang suci, malaekat dan hari-akhir dari umat-umat lain, tercermin dalam Qur’an. Bahwa semua toh pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan, juga merupakan pesan agama lain, yang dikenal Qur’an pada waktu itu. Jadi terdapat kesamaan. Malahan bukan hanya itu. Medium bagi macam-macam agama, entah itu Musa. Ibrahim atau Yesus atau lainnya, mendapat penghargaam yang tinggi dalam Al Qur’an. Ini berarti, kalaupun dianggap bahwa para pengikutnya ada kesalahan dalam memahami iman yang benar dari agamanya, mereka tidak lantas didegradir demikian rupa, tidak ada nilainya sama sekali, walau katakanlah mereka tidak mencapai titik akhir dari keimanannya. Sekali-kali tidak. Berdasarkan ini, saya memandang dalam Islam tidak terdapat kemutlakan menghakimi pihak manapun.

KEMUTLAKAN DALAM KONTEKS PANCASILA

Di dalam upaya kita untuk lebih memahami dan mewujudkan Pancasila dalam kehidupan nyata, sebetulnya tidak boleh ada kemutlakan-kemutlakan. Pancasila sebagai ajaran pokok, mutlak. Itu disarikan dari pengalaman hidup bangsa kita. Termasuk pengalaman hidup mereka yang Islam. Ini bukan sesuatu yang oportunistis. Kesadaran para pemimpin Islam waktu itu adalah bahwa kesatuan bangsa hanya terwujud dengan Pancasila dan tidak melalui sesuatu yang lain. Yang dasar sudah disetujui bersama. Tapi kalau yang dasar ini hendak dijabarkan, harus ada kesempatan untuk selalu memperbaharui penjabaran. Tidak berarti sektarianisme. Saya tidak setuju separatisme dan lain-lain bentuk seperti itu. Atau mengganti, sehingga Pancasila hanya menjadi sesuatu yang dimanipulasikan. Bahwa Pancasila dihadapkan pada fenomena kehidupan masyarakat yang berubah-ubah dari waktu ke waktu, mengharuskan penafsirannya mengalami perubahan terus-menerus.

Menurut saya. Yang tidak boleh dikutik-kutik dari Pancasila hanyalah formulasi yang lima itu. Tidak boleh lebih atau kurang dari itu. Kalau lebih dari itu jadinya Cuma atribut Pancasila. Sekarang ini atribut Pancasila sudah ditempatkan demikian tinggi. Terus terang saja, suatu waktu nanti kita harus mengoreksinya. Bahkan P4 pun sudah diletakkan begitu tinggi. Secara formal itu memang produk negara. Tapi secara kultural saya rasa tidak ada yang mengerti apa artinya itu. Termasuk juga yang bikin, yang rumuskan, juga tidak mengerti. Mereka toh cuma sekrup-sekrup dalam satu mesin yang besar. Cuma gir roda yang kecil-kecil. Karena prosesnya demikian mula-mula mungkin ada yang mengerti. Tapi terus membesar-membengkak. Sumbangan dari sini dari sana, macam-macam.akhirnya P4 ini tidak keruan potongannya. Terlalu over idealistis, tidak mungkin diterapkan dalam kehidupan.

Bagi saya problemnya bukan pada kelemahan UUD ‘45. Wajar saja bila UUD ‘45 punya kekurangan. Di mana-mana di seluruh dunia, juga begitu. UUD Republik Kelima di Perancis, tidak kurang gawatnya dari UUD ’45, di dalam memberikan kekuasaan pada presiden yang demikian besar. Hanya saja di sana ada daerah penyangga, yaitu tradisi demokrasi parlementer yang sudah kuat sekali. Sehingga walaupun presiden Perancis tidak bisa dijatuhkan oleh Parlemen, tapi umpamanya kalau parlemen sampai tiga kali atau lima kali menolak Perdana Menteri yang dicalonkannya– dari partai yang menang umpamanya– dengan sendirinya presiden merasa bahwa dia perlu mengundurkan diri. Hal ini tidak terdapat di sini. Kawasan penyangga tidak ada. Kita belum punya pengalaman di bidang itu. Sehingga menurut saya, tidak penting mencari kesalahan pada UUD ’45, melainkan lebih penting mencari kawasan penyangga tersebut.

Pemerintah, kalau dia mau jujur, mau dikontrol, atau mau melaksanakan UUD ‘45 secara dewasa, memantapkan demokrat, maka dia harus menumbuhkan kawasan penyangga. Jangan lalu melaksanakan UUD ‘45 secara murni. Dalam arti: kekuasaan ada di tangan saya, kamu mau apa? Salah kalau demikian. Tetapi kecenderugan kearah itu sepertinya sudah tak ada, terlalu jauh. Apa yang penting, perlunya ada budaya politik, juga sulit.

Di dalam negara, bertindak semau gue juga satu etik, satu budaya politik. Kita sebenarnya sudah punya budaya politik, tapi orientasinya pada kekuasaan. Karena pertama, tradisi kita sebagai bangsa adalah tradisi memberikan kepercayaan penuh kepada penguasa. Ini berjalan dari dulu sampai sekarang. Hal ini mungkin disebabkan dulu agama-agama bisa mengecek tingkahlaku raja melalui suatu daerah penyangga yang sifatnya moral. Astabrata, tutwuri handayani, dan sebagainya, dulu menjadi pola tingkahlaku dari raja. Setidak-tidaknya pola tingkahlaku ideal. Kedua, pamongraja dan kaum ningrat, bertindak selaku satu daerah penyangga tersendiri. Umpamanya, mengapa Yogya, Solo, yang radiusnya segitiga yang sisi terpanjang Cuma 60 Km, masing-masing bisa mengklaim bahwa mereka adalah raja ning alam. Tercermin dari gelarnya: Pakubuwana, Mangkunegara dan Hamengkubuwana. Mereka mengklaim sendiri-sendiri. Mereka tidak punya hubungan diplomatik, tidak punya hubungan apa pun, masing-masing berdiri sendiri. Ini adalah plot dari kaum ningrat. Sehingga tidak mungkin ada raja yang mutlak menguasai mereka. Ini bukan pendapat saya, melainkan hasil penelitian yang dapat dibaca dalam Yogyakarta Under Pangeran Mangkubumi and Hamengkubuwono I. Yang menyimpulkan bahwa kaum ningrat Jawa sudah bosan dengan perang 90 tahun sejak jaman Amangkurat sampai pakubuwono III.  Mereka lantas menciptakan satu sistem di mana tidak mungkin ada raja yang dominan. Setiap raja yang dominan akan diimbangi kedua raja lainnya. Dibuat sistem seperti ini sehingga aman. Sebab bila tidak, kaum ningrat ikut kacau-balau. Ada perubahan situasi sedikit, dipenggallah leher mereka. Jadi diciptakan daerah penyangga, apa yang disebut sebagai etik budaya politik priyayi. Ini kemudian diteruskan sewaktu pemerintahan kolonial. Belanda menggunakan institute ruler. Penguasa- penguasa pribumi dipakai untuk mengekalkan kolonialisme, penjajahan di sini Setelah kekuatan kaum ningrat dinetralisir oleh administrasi si Belanda dengan Residen, di mana Bupati menjadi suruh-suruhan Residen, ada daerah penyangga baru yaitu sejumlah gerakan protes. Hal ini telah diselidiki oleh Pak Sartono Kartodirdjo. Gerakan protes ini terutama terjadi di abad ke 18, 19 dan awal abad 20. Umumnya dan lingkungan kyai, dengan mistisisme, meleneralisme, ataupun Ratu Adil. Barangkali ini untuk mengecek. Selama masa itu budaya politiknya, budaya orientasi pada kekuasaan, tapi memiliki daerah-daerah penyangga. Sehingga persoalannya tidak menjadi kritis.

Sekarang ini pertama budaya politiknya hilang total, termasuk hilangnya daerah-daerah penyangga. Kedua, ditambah problem kemiskinan yang semakin memuncak. Tidak seperti dahulu. Sekarang, meningkatnya pelayanan kesehatan masyarakat, membuat manusia Indonesia yang survive, tidak lagi hanya yang kuat. Kalau dulu persentase bayi yang meninggal, tinggi sekali. Ini menunjukkan bahwa yang hidup tinggal yang kuat. Tapi sekarang yang tidak kuat pun bisa hidup. Dengan penicilin, sulfa dan sebagainya, bisa hidup. Nah, sekarang kultur kemiskinan ini mempunyai budaya politiknya sendiri yaitu budaya politik tidak tahu masalah, masalahnya sendiri. Tidak ambil pusing karena sudah tercekam dengan kemelaratan itu sendiri. Ini yang disebut budaya kemelaratan (poverty culturel). Mereka sudah tidak punya apa-apa lagi. Ini terjadi karena daerah penyangga terhadap kekuasaan, tidak ada. Daerah penyangga kekuasaan harus diciptakan. Budaya politik penyangga yang asli tidak mungkin lagi diharapkan. Dari yang sekarang tidak bisa timbul karena kemelaratan sudah begitu mutlak. Mereka tercekam oleh budaya kemelaratan. Tidak akan tumbuh apa pun dari situ. Tidak mungkin ada penyangga baru, kecuali bila ada intervensi dari kaum elit dan kaum terelit. Elit dan elit tandingan harus setuju bahwa mesti ada satu daerah penyangga yang diciptakan untuk sistem protes. Bagaimana protes bisa didengar dan kongkrit, tetapi tidak sampai membahayakan kehidupan bangsa dan negara? Ini harus diciptakan. Jangan terlalu khawatir bahwa kalau ada protes, negara akan hancur. Tapi juga jangan lalu tiap hari kita bikin protes, tanpa hasil yang positif. Tidak adanya kesepakatan untuk menciptakan daerah penyangga ini yang sebetulnya mendasari keresahan yang ada sekarang.

Tidak mungkin kita bicara tentang basic needs, bicara tentan penyadaran massa, di luar konteks daerah penyangga ini. Akan berbahaya sekali, sebab akan menjurus kepada romantik revolusioner. Sekarang lebih baik kita sepakati satu hal, menciptakan daerah penyangga guna menjinakkan kekuasaan. Dan ini menghendaki munculnya suara-suara dari bawah. Bisa muncul kalau mereka tidak lagi berada di bawah garis kemiskinan mutlak. Jadi saya menyetujui upaya untuk meningkatkan kehidupan. Hanya itu harus diletakkan dalam konteks bahwa bila mayoritas bangsa kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi. Dengan itu mereka bisa memikirkan yang lain. Ini yang pokok. Mustahil melaksanakan semua ini dengan berhasil tanpa masuk ke dalamnya. Contoh. Saya tidak membanggakan diri. Tetapi saya merasa berbahagia bahwa saya berada dalam lingkungan orang-orang yang katakanlah kalau toh mereka memikirkan masalah meningkatkan kemampuan orang bawah serta mengatasi kemiskinan, tetapi mereka juga berbicara tentang masalah-masalah yang lebih langgeng. Proyek-proyek yang bertujuan menciptakan pangkalan-pangkalan merupakan sesuatu yang masih dubious bagi saya, justru karena tidak menangani masalah dasar tersebut. Hanya mengambil jurusan yang sesisi, yaitu mengangkat derajat kemiskinan saja. Kalau hanya itu, maka yang terjadi nanti adalah mob rule, Pemerintahan oleh gerombolan orang banyak. Mereka tidak dibekali sense of belonging sebagai bangsa dan segala macam lainnya. Betapa banyak contoh dalam sejarah bahwa suatu bangsa dengan keyakinan yang kuat, toh setelah taraf hidupnya meningkat, semua orang bisa bicara secara terbalik. Contohnya Republik Guemar setelah Perang Dunia I di Jerman. Mereka berada di bawah keadaan yang kacau-balau, ekonomi tidak keruan dan inflasi begitu hebat. Muncullah orang yang bisa mengatasi keadaan itu, Hitler. Mereka naik. Apa yang terjadi kemudian, kita tahu semua.

MODERNISASI

Bicara soal modernisasi, khususnya dalam hubungan dengan orang-orang yang menamakan dirinya agen modernisasi (agent of modernization), saya mempunyai beberapa kritik. Begini. Agen modernisasi yang terbaik adalah bukan yang diimpose dari luar. Sebab begitu diimpose, dia bukan lagi agen sebenarnya. Dia sudah merupakan pengacau (intruder). Jadi, kalau kita bisa merangsang, katakanlah kelompok-kelompok tradisional. Lebih-lebih lingkungan elit dan  terelit, dan terlebih lagi di tingkat bawah di desa-desa. Untuk emahami kebutuhan masa mendatang dan mengembangkan rasionalitas mereka sendiri. Serta memberi kerangka kemasyarakatan untuk wadah rasionalitas tersebut yaitu menciptakan daerah penyangga guna menjinakkan kekuasaan dan meningkatkan taraf hidup rakyat, menurut saya, kita sudah modern walaupun bentuk luarnya belum. Jadi modernisasi bukan di tangan TPL yang dikirim dari kota. Modernisator yang sebenarnya datang justru dari sang kyai, sang pandita, sang kepala desa, kepala suku, yang memahami bahwa dirinya harus berbuat begini, berbuat begitu, untuk ini dan untuk itu. Walaupun mereka masih menggunakan pola-pola lama di dalam kehidupan pribadi atau kelompoknya, selama dia sudah ditransformir hidupnya, menurut saya, dia sudah menjadi modern. Rangkaian tulisan saya di TEMPO tentang kyai untuk tujuan ini. Merangsang kyai-kyai di desa bahwa mereka bisa jadi modern tanpa perlu meninggalkan sarungnya.

Mengenai persepsi hidup orang Jawa, mereka memang punya persepsi hidup yang kokoh, yang solid, tetapi mbulet. Di dalamnya ada juga aspek-aspek ekonomis yang modern, hanya selama ini tidak diberi tekanan. Buku Fadhul Muin, tentang basic nees dan jihad tadi, umurnya sudah 600 tahun. Para kyai setiap hari mengajarkannya, tapi sifatnya menumbuhkan etik perorangan, kasihanilah sesama manusia. Tidak ada kerangka kemasyarakatannya. Yang saya katakan kerangka kemasyarakatan adalah, untuk apa basic needs ini. Tentunya untuk mengangkat derajat masyarakat. Jadi kalau kita bicara tentang kemiskinan pada kyai yang miskin cuma ditertawakan Lalu apa? Ya, kita harus berbicara tentang perbaikan kualitas hidup. Bahwa pendidikan ini menyangkut masalah keimanan. Kalau terdidik, akan beriman lebih baik. Menyangkut masalah keluarga. Bila sudah dididik pola kehidupan keluarganya lalu menjadi lain. Menyangkut masyarakat, struktur bernegara dan lain-lain. Untuk semua ini diperlukan tunjangan ekonomi agar mencapai hasil yang optimal. Dengan uraian demikian mereka akan mengerti. Saya berbicara kepada para kyai di pesantren, dalam konteks seperti ini dan mereka mengerti. Tapi kalau dikatakan: Pak, Indonesia ini bangsanya melarat, harus kita tingkatkan, akan ditertawakan oleh mereka. Mereka toh sudah biasa dengan kemelaratan.

Untuk menangani masalah-masalah lapisan rakyat terbawah tidak ada cara lain selain membuat pengkajian yang mendalam melalui proyek-proyek di desa-desa. Contoh, KB melalui dalang toh bisa dilakukan. Nah, ini harus kita kaji bagaimana caranya. Saya tidak bisa memberikan jawaban bagaimana bentuknya yang pasti, sebab selama ini saya ekslusif hanya mengurusi orang santri. Bagaimana yang bukan santri, katakanlah yang Islam statistik, saya tak tahu. Bagaimana dunianya yang persis saya tak tahu. Tapi menurut saya, orang Islam berkewajiban menunjukkan kepada mereka yang Islamnya nominal seperti itu, bahwa dalam Islam ada sesuatu yang luhur, yang berkepentingan dengan mereka, dengan masalah-masalah mereka yang paling dasar.

Dengan pendekatan ini akan tercapai dua hal sekaligus. Pertama, mereka akan tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang nampak secara lahiriah di mata mereka selama ini. Dengan begitu mereka akan lebih mendekat dengan keimanan Islam. Jadi kalau toh nominal, derajatnya lain-lain. Yang kedua, mereka sendiri lalu mengalami kebangkitan kultural untuk mencoba memahami dan meningkatkan diri. Saya rasa hal ini kewajiban. Tidak saja bagi orang Islam, yang Kristen pun harus demikian. Jadi kita tidak bisa hanya ekslusif saja.

Sejak permulaan tadi saya katakan, kalau saya berbicara tentang Islam itu artinya menghargai manusia. Maka saya juga menghimbau saudara-saudara yang beragama lain: kami punya ini, nah anda mbok ya cari yang seperti ini di agama anda. Tapi terus terang saja, dalam hal ini sampai sekarang, kita lebih banyak utang sama mereka. Orang-orang Katolik misalnya sudah punya penggalian-penggalian yang mendalam. Dalam hal ini, saya malah banyak belajar dari mereka. Saya tergugah!

Orang Muslim sekarang, keras sekali terhadap hal-hal sepele, dan lunak terhadap hal-hal dasar seperti maling, korupsi dan sebagainya. Karena kerangka etis kaum Muslimin sekarang sifatnya perorangan. Tidak ada kerangka kemasyarakatannya. Sociological framework, belum mereka miliki. Mereka baru sampai kepada taraf teriak-teriak bahwa Islam itu begini, begitu. Tapi mereka belum punya kerangka kemasyarakatan. Seorang koruptor besar, asal dia sudah menyumbang untuk mesjid, semua orang akan menjunjungnya. Orang lupa bahwa korupsi lebih jahat, lebih banyak buruknya daripada mendirikan mesjid. Hal ini terjadi karena ketaatan agama, penghayatan agama dalam bentuk membangun mesjid, yang sifatnya etik perorangan, lebih ditekankan daripada etik bermasyarakat yang tidak setuju dengan korupsi. Menurut saya, orang Islam harus mampu mengembangkan sisi yang bermasyarakat secara lebih dewasa. Dan ini harus dimulai dari elitnya. Caranya, mereka harus menyadari nilai-nilai dasar kehidupan bangsa. Seperti toleransi, tidak mau menerima keterbelakangan, kebodohan, dan yang lain. Bila pada elit tidak lagi terdapat semangat itu, mereka tidak berhak lagi menjadi elit. Mereka harus disingkirkan.

PERANAN AGAMA DAN AGAMAWAN

Dewasa ini terlihat bahwa ksum agamawan dalam menyampaikan  pesannya, tidak jelas. Pada kothbah-kothbah Jum’at misalnya, mereka bicara bahwa korupsi tidak baik. Tapi bicaranya mutar-mutar sehingga jadinya tidak jelas. Padahal, dia berbicara tentang masalah yang jelas-jelas ada di depan matanya. Akibatnya, pesan tersebut tidak diterima dengan gamblang oleh pendengarnya. Teriak tentang judi, toh kaum Muslimin masih berjudi juga. Karena apa? Karena pesannya tidak diterima. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Pesan yang disampaikan tidak tulus lagi.

Yang diharapkan bukan pesan demikian. Masyarakat mendambakan pesan-pesan yang berhubungan dengan kerangka kemasyarakatan. Saya bisa mengatakan begini, karena pengalaman saya menunjukkan demikian. Saya berbicara pada suatu forum di hadapan 300 kiai di Jawa Timur. Begini: “Prioritas yang dibicarakan orang sekarang, salah. Yang diributkan hanyalah soal perjudian. Film cabul, lokalisasi wts, ONH yang naik setiap tahun dan hal-hal lainnya. Tetapi tidak concern terhadap masalah-masalah yang paling dasar. Mari kita tata masalah paling dasar ini: “Kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan serta kesehatan yang masih jauh dari memadai. Nah, untuk ini diperlukan suatu bangunan masyarakat yang lebih baik dari sekarang”. Para kiai itu terpukau. Selesai saya bicara, mereka datang ramai-ramai pada saya dan berkata: kenapa tidak ada yang berbicara seperti ini dari dulu? Ini yang dulu dibicarakan Wahid Hasyim, Mahbub Sidik.

Pesan-pesan yang dilontarkan dengan lantang selama ini, terus- terang saja, sifatnya hanya menjaga bentuk formal dari Islam. Yang sebenarnya tidak didukung oleh kenyataan di belakangnya. Semacam siaran yang tidak didengar orang Hampir sama dengan indoktrinasi. Nasibnya pun sama dengan indoktrinasi, tidak dihitung orang. Sayang mereka tidak sadar. Jika hal ini tidak mereka sadari. Suatu ketika dislokasi di dalam lingkungan umat akan demikian besar, sehingga terlemparnya juga bukan main jauhnya. Akan terjadi kejenuhan terhadap pesan agama itu sendiri. Malahan gejalanya sudah mulai nampak dewasa ini. Bahwa sekarang diteriakkan: moral-moral-moral; harus begini-begitu, yang bersifat kerangka perorangan. Orang tidak boleh pacaran, toh kita tahu semua anak orang Islam pacaran, hubungan seksual sebelum menikah meningkat pesat; pengguguran meningkat. Semuanya meningkat justru di tengah ramainya dengungan dan teriakan pesan agama. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan hanya tidak didengar, tetapi malah dilawan. Seandainya mereka tidak berpesan demikian, menangani masalah secara demikian, saya pikir boroknya tidak akan sebesar sekarang. Maksudnya, orang dewasa ini seperti sengaja menunjukkan bahwa mereka berani melawan pesan.

Agama tidak bisa mengatur kehidupan dunia secara komprehensif. Agama hanya memberikan dasar-dasar untuk mengarungi lautan kehidupan. Sebagai dasar, agama tidak dapat dituntut terlalu banyak. Bila tidak nanti terjadi overclaim. Dan ini tidak hanya berlaku atas agama, ideologi negara pun demikian. Kalau kita terlalu banyak menuntut, dari ideologi negara, hasilnya: sepakbola Pancasila dan sebagainya. Atau berbagai sebutan seperti rumah sakit Islam, sekolah Kristen. Semua ini adalah overclaim. Sekolah adalah sekolah, pendidikan adalah pendidikan. Bolehlah diwarnai ajaran agama, tapi kalau pendidikan sudah dieksklusifkan, dikotak-kotakkan, akibatnya manusia menjadi terkeping keping, tidak utah lagi. Atau kesenian misalnya. Ini kan sesuatu yang universal. Begitu dibatasi dengan kesenian Islam misalnya, sifatnya tidak lagi penuh sebagai kesenian. Jadi harus tahu persis bahwa agama sebenarnya hanya punya klaim yang intens tentang dasar-dasar kehidupan.

Bersuara seperti ini memang menimbulkan resiko, antara lain dicap sebagai pengkhianat. Itu wajar saja dan biasa. Tapi bagi saya bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah masalah kekuasaan. Orang cenderung memelihara pengaruh, kekuasaan dan sebagainya. Tidak lebih dari itu. Kalau orang sadar betul tentang esensi agama, maka dia akan tahu bahwa antara warna agama lain dengan dasar-dasar agama. Berbeda jauh. Warna adalah sesuatu yang fakultatif, sesuatu yang dikembangkan dengan persuasi. Tidak perlu formal dan membuatnya menjadi aturan-aturan yang katakanlah justru mematikan tujuan atau klaim dasar dari agama itu sendiri.

Kalau agama menyatakan bahwa dia memberi kebebasan kepada manusia untuk menyatakan pendapat. Kemudian asal ada buku yang tidak sesuai lantas dibakar, menurut saya sudah tidak benar. Bahwa sikap Islam dalam proses Raden Pandji Kusmin dahulu: Langit Makin Mendung, maupun inkuisisi Gereja Katolik abad pertengahan, sama saja tidak benarnya. Kalau saya, karena agama memberi kebebasan pada manusia, ya silakan. Dalam kasus ini menarik soal film Sunan Kalijaga, film Walisanga. Suman Djaja bikin film Walisanga. Ini kan klenik dan mistis, model kebatinan Jawa. Semua lantas ribut. Teman-teman saya, para pimpinan agama lantas ngomong, apakah penonjolan bahwa para wali berasal dari Cina tidak berbahaya untuk Islam? Saya bilang, apa bahayanya: Kalau memang para wali itu asalnya dari Cina, wong dia Islam kok. Islam Cina, Islam Arab, Islam Indonesia atau Islam manapun, bagi saya semuanya sama. Bahkan jika dia tidak Islam pun saya bisa mengerti bahwa dia juga anak manusia. Kedua, mereka khawatir bahwa nanti menyesatkan dengan ajaran-ajaran mistik dan sebagainya. Kemungkinan menyesatkan memang tetap ada. Tapi counter-nya tidak dengan melarang, melainkan mendudukkan persoalannya kepada umat kita:  bahwa itu salah. Suatu propaganda, ya harus diimbangi dengan counter propaganda. Bukan dengan melarang. Sebab bila dilarang, lantas apa artinya kebebasan berpendapat yang katanya dijamin dalam Islam?

Tentang Walisanga ini ada dua versi. Versi kebatinan Jawa yang sekarang mau difilmkan, dan versi Islam. Mereka tanya lalu bagaimana dengan versi Islamnya? Bikin saja film Walisanga versi Islam. Jangan hendaknya kita menjadi diktator dalam gagasan. Hal ini akan mematikan dasar-dasar Islam sendiri tentang kebebasan menyatakan pendapat. Begitulah jawab saya. Sama halnya menbicarakan apa Qur’an ini turun dalam pengertian global ataukah letterlijk seperti adanya: Qur’an sudah boleh dibicarakan demikian, artinya kita ambil tekstualnya atau tujuannya saja. Dulu orang bisa membicarakan ini dalam keagungan Islam. Mengapa sekarang tidak boleh? Cuma membicarakan saja kan tidak apa-apa. Kalau itu dianggap menyesatkan umat, bikinlah counter argument, sehingga orang bisa memilih. Bagi saya, semua bentuk larangan diktatorial sudah tidak benar lagi.

Qur’an menuntut manusia untuk menggunakan akal dan pikiran, ‘afalaa ta’qiluun, ‘afalaa tafakkaruun, “apakah kamu tidak menggunakan pikiranmu?” Di dalamnya terdapat pengakuan terhadap derajat akal manusia. Dalam Qur’an ada panggilan: “Hai orang yang mempunyai mata hati”. Ini berarti panggilan untuk orang yang menggunakan hatinya sebagai pedoman akal. Tuhan tidak menyatakan: “Apakah kamu tidak menggunakan akalmu, hai orang-orang yang sudah sempurna akalnya?” Kan tidak. Ini ditujukan kepada semua orang, Bahwa ada yang kurang ada yang lebih, itu urusan manusianya. Permintaan Tuhan adalah agar semua orang dalam kapasitas masing-masing, menggunakan pikirannya. Tentu hasilnya pun akan sama.

Dengan sendirinya saya mengharapkan peranan yang lebih besar dari instansi-instansi maupun para pimpinan agama. Tapi dalam kapasitasbagaimana? Kalau dalam kapasitas regresif, saya tidak setuju. Maksud saya, saya akan senang kalau kaum agamawan bisa meluruskan orientasi kehidupan bangsa. Bisa membicarakan secaratuntas masalah-masalah dasar bangsa kita. Bisa mendorong terciptanya kawasan penyangga yang akan menumbuhkan budaya politik yang sehat. Saya setuju kalau demikian. Karena itu saya pun setuju kalau DGI mengeluarkan pernyataan. Tidak cukup hanya dengan tidak setuju tapi harus pula mengingatkan orang yang korupsi umpamanya. Sebab memang di situ peranan agama, menangani masalah-masalah dasar. Tapi kalau policy yang dijalankan hanyalah mengurus film porno atau yang seperti itu, menurut saya tidak benar. Mereka harus menangani masalah dasar, tanpa perlu menangani masalah kekuasaan itu sendiri. Saya tidak setuju pemerintahan oleh agamawan. Mutlak tidak setuju. Entah itu Khomeiny, atau siapa pun, tetap tidak setuju. Yang memerintah itu ada bagian tersendiri. Tapi bahwa orientasi penguasa, termasuk ditentukan juga oleh agama, saya setuju.

Memang kekuasaan yang dibangun oleh Khomeiny kuat sekali, tapi akan salah arah. Mengapa? Sebab mengurus hal-hal yang tidak betul. Mempersoalkan cadar misalnya. Lha Islam tidak melarang kok Dalam Islam muka orang boleh saja dilihat. Tidak apa-apa. Kitab-kitab bilang: kalau mau melamar gadis, lihat dulu, jangan sampai keliru. Agar jangan menyesal di belakang hari. Teliti dahulu tingkah lakunya dan segala macam. Lha kok Khomeiny meributkan. Itu dibuat-buat. Maksud saya, lalu ada overclaim dari agama. Dengan agamawan menjadi penguasa, mudah sekali dia mengajukan overclaim.

Ada contoh tentang hal ini yang terjadi di Malaysia dewasa ini. Di sana ada satu gerakan, akibat lingkungan dan kehidupan yang sekuler. Mereka belajar ke Barat, dan di Barat mereka mendapatkan bahwa peradaban Barat tidak mampu mengatasi krisis yang ada sekarang. Lantas mereka kembali ke agama secara total. Mereka membuang segala bentuk modern yang ada. Kemudian mengisi dirinya dengan agama dalam bentuk yang paling kongkrit. Mereka mencoba menterjemahkan agama dalam lingkungan kekuasaan di kalangan mereka. Lalu Ketuanya menyatakan: Laki-laki tidak boleh menerima telpon dari wanita. Lha, lalu mesti pakai apa? Suara wanita di telpon kok dia geger. Bertemu dan berbicara dengan wanita itu biasa, kok malah lewat telpon yang orangnya tidak kelihatan dia ributkan. Ini kan overclaim. Bila terjadi overclaim, agama lantas menjadi tandingan bagi sektor-sektor lain dari kehidupan. Dan ini tidak sehat. Pribadi manusia tidak hanya ditentukan oleh agama, tetapi juga oleh rasionya, oleh akalnya, oleh rasa harunya dari seni, oleh kesadaran yang dibawakan ideologi, di samping oleh keyakinan akan kebenaran yang dibawa agama. Jadi masing-masing daripadanya harus nunjang. Tidak bahwa ini contending mengalahkan yang lain. Jangan sampai agama menjadi faktor tandingan (contending factors),terhadap yang lain. Bukan! Agama justru mendasari semua bal. Karena itu tidak menandingi semua hal.

PENGARUH LUAR DAN DAYA MENGATASINYA

Masuknya berbagai pengaruh luar, terang menimbulkan berbagai pengaruh, baik positif maupun negatif. Kita mempunyai daya untuk membendung ini. Daya itu ada, Cuma belum dikembangkan. Artinya, potensial kesadaran dan kemampuan bangsa kita untuk merumuskan soal-soal dasar bangsa, akan menimbulkan suatu orientasi yang meletakkan bangsa kita mampu berdialog dengan seluruh dunia tanpa kehilangan artinya sendiri. Tapi ini potensial. Selama masih potensial, bahaya tetap ada, bisa terjadi justru kebalikannya. Kita larut! Ya, sekarang ini sebetulnya sudah larut. MNC datang kita terima begitu saja. Ini berarti kita larut dalam pertikaian yang sedang berlangsung di dunia dewasa ini. Akibatnya, mau tak mau kita sudah tidak bebas-aktif lagi sekarang. Kalau kapal Amerika datang, tidak apa-apa. Tapi kapal Rusia, kita tolak Kan. mestinya dua-duanya ditolak. Kita bisa bilang kepada keduanya bahwa kita menolak. Tapi sekarang jelas tidak mungkin. Bahkan laksamana dan jenderal-jenderal Amerika datang ke mari, ke pusdiklat-pusdiklat tentara kita sudah begitu rutin. Sehingga, saya pikir, requirement kita di bidang kemiliteran sepertinya ditentukan oleh mereka. Senjata apa yang kita perlukan, ya sepertinya ditentukan oleh mereka dan dari mereka.

Masalahnya sekarang, bagaimana mengangkat potensi ini agar menjadi efektif? Siapa yang mulai? Kesadaran ini ada, namun terisolir pada beberapa kelompok kecil. Sebenarnya, walaupun kita sudah tahu masalah dasar dari rakyat bawah, kita masih di menaragading, sebab kita belum mencapai rakyat bawah. Cara mencapainya, nomor satu belajar. Belajar berbicara kepada rakyat bawah. Saya tidak melihat cara lain. Cara lain, jadinya nanti seperti protes mahasiswa, yang hanya ribut soal siapa yang akan menjadi presiden itu sama sekali tidak penting. Tidak relevan! Itu Cuma gagah-gagahan sehari-dua, yang kemudian berakhir kepada pleido dengan judul yang seram-seram. Atau berakhir pada petisi-petisi.

Menghadapi ini semua, kita membutuhkan identitas yang jelas. Baik sebagai perorangan maupun sebagai bangsa. Ini masalah utama sekarang. Kritik saya kepada kaum intelektual yang ada di pucuk-pucuk menara adalah: sebetul-betulnya dan sebenar-benarnya apa yang mereka katakan, toh tidak sampai ke bawah. Hanya mubeng di situ saja di kalangan sejumlah jetset. Kalau jet-set yang biasa, cuma gosip-gosipan. Maka mereka ini gosipnya sudah berupa gosip pembangunan. Lantas ikut seminar, keliling pakai jet ngalorngidul. Ini jetset yang baru, the new jetset. Tidak mencapai ke bawah sama sekali. Saya menghargai usaha-usaha yang dilakukan di pedesaan, dengan keterbatasan masing-masing. Saya senang terlibat dengan mereka. Karena saya tahu bahwa itu the ultimate answer, baru babak pertama. Tidak benar bila menganggap sudah menyelesaikan masalah. Lalu mereka juga akan overclaim. Ini salah besar. Dan bahaya ke arah itu ada, karena yang mereka kerjakan memang kongkrit. Sudah banyak sekarang yang mengklaim sebagai pahlawan pedesaan. Tapi bila ditantang untuk tinggal di pedesaan, tidak berani. Lebih baik kita belajar dari orang desa, dalam mencari identitas diri. Ini yang ingin saya lakukan.

KEDUDUKAN KAUM INTELEKTUAL

Bicara mengenai orientasi dan komitmen yang sebenarnya dari kaum intelektual, terlebih dahulu kita harus melihat lapangan keintelektualan mereka. Kalau di bidang politik, yang benar adalah menciptakan kawasan penyangga guna menjinakkan kekuasaan. Di bidang ekonomi, harus berpikir tentang bahwa kawasan penyangga itu tidak akan berguna dan tidak mungkin dilaksanakan kalau bangsa ini belum terangkat ke suatu tingkat kehidupan minimal. Kalau agamawan, tentu harus menangani masalah-masalah dasar yang benar, dan tidak mempersoalkan masalah yang semrawut. Nah seharusnya demikian. Yang penting adalah menciptakan suatu identitas bangsa. Dengan itu mampu mengangkat diri sampai suatu tingkat tertentu, dan setelah itu baru beranjak menciptakan bentuk yang kekal daripada bangsa, seperti daerah penyangga, budaya politik yang sehat dan sebagainya.

Sayang, kaum intelektual kita belum menemukan identitasnya sendiri. Katakanlah kalau seorang intelektual bekerja di satu lembaga ilmu pengetahuan, dia berpikir bahwa bagi dia cukup tinggal di kerangkengnya itu. Dia tidak merasa berkepentingan untuk turun ke bawah, belajar dari rakyat tentang segala hal untuk membuatnya lebih komunikatif kepada elit dan kaum terelit pada lapisan terbawah. Ini namanya dia tidak mengerti dorinya sendiri. Padahal justru yang diperlukan. Menurut saya, hal itu sebagian mungkin ditibulkan oleh keangkuhan. Intelektual kita sebenarnya cuma tampangnya saja rendah hati, berbaik-baik, tapi sebetulnya angkuh. Saya tidak melihat gejala, mereka mau turun ke bawah. Menganggap seolah-olah bidangnya sendiri yang paling benar, paling besar serta paling hebat.

Apa akibatnya? Kalau orang sudah merasa dirinya yang benar, yang terbaik, lebih tahu dari yang lain, maka dia merasa tidak perlu berguru lagi. Tidak merasa perlu apa-apa lagi. Yang ada dirasanya telah cukup. Bagaimana dia mempunyai komitmen? Tidak ada kesungguhan, tidak ada ketaatan-asas (konsistensi) dalam hal ini. Hidupnya sendiri tidak cocok dengan apa yang dibicarakannya. Ini berarti dia tidak mempunyai identitas yang jelas.

Lebih jauh, memang kita agak sulit mengatakan apakah kita mempunyai intelektual Indonesia. Saya ingin bertanya, apakah intelektual kita hidupnya sudah sesuai dengan apa yang dibicarakannya? Apakah dia berbuat, berpikir, bertindak dan mempunyai pola hidup yang intelektual? Saya rasa yang demikian sulit dicari di Indonesia. Memang secara metodologis, jumlah peralatan metodologis yang dikuasai, dia boleh disebut intelektual. Tapi intelektual yang sungguhan, paling-paling Cuma satu-dua orang. Dalam hal ini, terus terang, kita kalah dengan orang India, Aljazair dan lain-lain. Dengan Mesir bahkan kita kalah jauh.

Masalah ini terang perlu dipecahkan. Tapi tidak bisa dipecahkan secara gross definition, dengan definisi-definisi besar saja. Itu tidak bisa! Kita tahu ini proses politik. Krisis intelektual itu ada, karena mereka belum matang. Intinya di situ. Sekarang saya sudah mulai melihat hal-hal yang menggembirakan. Misalnya anak-anak ITB yang membantu penjernihan air minum di Cipayung, sampai mendapat hadiah lingkungan hidup. Atau anak-anak IAIN yang mau jadi BUTSI. Asal mereka menyadari itu sebagai panggilan, ya nilainya besar. Sehingga orang lantas bertanya-tanya, namanya IAIN kok lebih bergulat dengan masalah-masalah non agama? Saya sudah melihat hal ini. Hanya proses pendewasaan memang membutuhkan waktu agak lama.

Kaum intelektual kita tidak memasyarakat karena senang yang eksklusif. Pendidikan formal menjadi pokok dan non-formal dikesampingkan. Padahal, justru yang non-formal ini yang lebih menetukan. Mapala, Karang Taruna, atau bentuk-bentuk seperti ini seharusnya kita perlakukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri, independen. Tidak memperlakukannya sebagai perimbangan antara pendidikan formal dan non-formal. Nah, menurut saya, inilah penyebab mengapa kita menjadi cetek. Bila mau merombak pendidikan, rombaklah yang formal. Kembangkan yang non-formal, selama kita belum bisa mencapai bentuk pendidikan formal yang paling memuaskan bagi pengembangan intelektual yang berimbang, dan tidak hanya membuat tukang. Pendidikan-non-formal mutlak harus diletakkan di bawah yurisdiksi masyarakat,bukan Pemerintah. Pemerintah cukup menyediakan sarana. Sebab breath and depth of life experience, hanya bisa diberikan oleh masyarakat, bukan oleh sekolah. Di sini saya khawatir Pemerintah lantas mau memonopolinya lagi. Pramuka itu rusak karena dimonopoli pemerintah. Ini yang saya minta agar betul-betul diberi tekanan. Adalah menyedihkan bahwa biaya untuk Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Me nengah berlipatganda lebih besar daripada Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga.

Terhadap segala tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa dewasa ini, saya optimis. Bahkan juga terhadap dunia. Terhadap nasib bangsa yang miskin, kalang kabut dengan soal kemiskinan, ditimpa lagi masalah bahan bakar dan sebagainya, saya pun tetap optimis. Mengapa? Karena manusia pada dasarnya mempunyai kapasitas untuk mengadakan koreksi yang tidak formal, tapi akibatnya malahan mendasar sekali. Koreksi tersebut kadangkala berupa konflik, kadangkala berupa perbaikan-perbaikan gradual, tapi selalu ada. Walaupun sementara ini ada dislokasi tapi saya yakin bahwa bangsa kita akan sanggup menghadapinya. Memang, tetapi ada bahayanya. Jangan sampai kita berpikir memudahkan persoalan sebelum mempunyai orientasi yang kuat. Nilai-nilai dasar,soal-soal dasar hidup, belum kita sepakati bersama. Penggundulan hutan atau pengrusakan lingkungan, korupsi mental, perampasan hak secara tidak benar, dan segala macam yang lain, semuanya itu ada. Tapi ada satu titik di mana masing-masing akan ditangani, entah secara kekerasan ataupun secara gradual. Dua-duanya komplementer. Saya tidak melihat kemungkinan lain yang lebih baik. Jadi bila kita andaikan bahwa sekarang terjadi suatu konflik mendasar, ada perubahan total di dalam pemerintahan, struktur pemerintahan, struktur kenegaraan dan lain-lain, ini toh akan dikorporasikan dengan perbaikan gradual yang sudah tercapai. Cheng Sun Hua di Korea Selatan misalnya. Begitu dia melihat potensi kekerasan dari gerakan di Kwang Ju luar biasa besarnya, tindakan yang diambil untuk mengatasinya pun luar biasa kejamnya. Tapi akhirnya Cheng Sun Hua tahu bahwa dia tak bisa berleha-leha begitu saja. Dia harus mengadakan koreksi. Di sini dia beralih kepada gradualisme. Memberantas korupsi secara konsekuen. Apakah ini cukup? Mungkin tidak. Mungkin akan timbul konflik yang lebih hebat. Tapi nanti penyelesaiannya toh ada. Karena itu saya optimis.

Apa yang saya ingini adalah orang memahami nilai-nilai dasar serta memiliki orientasi. Ini sebetulnya juga revolusioner. Tapi pencapainya tidak melalui revolusi. Itu perkembangan gradual di mana dibutuhkan suatu tingkat sosial-ekonomis tertentu dulu, sebelum reka menyadari apa itu kemajuan dan sebagainya. Ini kita ciptakan dulu dengan segala cara, termasuk melalui Repelita dan melalui berbagai alternatif terhadap Repelita yang dicoba oleh berbagai kalangan secara terbatas. Melalui semua ini, nanti akan muncul kebutuhan untuk menciptakan kawasan penyangga guna menjinakkan kekuasaan. Di situ barulah kita bicara tentang nilai-nilai dasar. Tercapailah revolusi kejiwaan pada orang-orang Indonesia. Terhadap para pengeritik, saya melihat bahwa mereka tidak sabar, walaupun apa yang diingininya betul. Mereka tidak melihat bahwa itu mesti melalui proses. Mereka menghendaki terjadinya revolusi: jebreet. Ini sulit dong. Apa yang diminta oleh Pak Tadir, terlepas dari hormat saya kepada beliau, wah kalau orang Indonesia semua pintar, kan tidak ada soal apa-apa lagi. Problemnya sekarang itu. Apa yang harus kita lakukan? Apakah marah-marah saja, ataukah melakukan sesuatu untuk mengatasi keadaan ini?

Kebutuhan akan pendidikan berkaitan erat dengan masalah sosio-ekonomis. Misalnya, anda ciptakan SD Inpres seperti sekarang dengan biaya 10 kali lipat, jumlah anak yang sekolah akan semakin sedikit. Karena begitu yang miskin bertambah, begitu jumlah yang mampu sekolah akan menurun. Di daerah Ciganjur saja ada 400 anak yang tidak sekolah dari jumlah 4.100 anak usia sekolah. Ini kan sosio-ekonomis. Desa ini relatip bagus. Pemerintah DKI, asal ada tanah sekian ribu meter  lantas mendirikan sekolah, serta memberikan berbagai bantuan lainnya. Di Jakarta ini trickledown sudah begitu enak sehingga orang relatip bisa hidup. Di Ciganjur yang termasuk wilayah DKI saja masih ada 10 persen anak yang tidak sekolah karena faktor sosio-ekonomis. Dan ini akan bertambah, bukan berkurang. Sebab pendidikan akan semakin mahal, tapi bidang pendapatan akan semakin menurun. Terlepas dari hormat saya, hal ini nampaknya tidak disadari oleh orang seperti Pak Takdir. Walaupun Pemerintah menyediakan anggaran belanja yang hebat sehingga semua sekolah gratis, toh tetap saja tidak semua anak akan sekolah karena faktor sosio-ekonomis. Lha wong anak harus ngarit rumput untuk makanan ternak kok?

Masuknya berbagai informasi dari luar yang diserap oleh masyarakat bawah, menimbulkan juga antara lain berbagai akibat negatif. Karena antara yang punya dengan yang tidak punya, impiannya lalu jadi sama. Timbullah kesenjangan sosial yang lebih besar lagi karena harapan yang terlalu tinggi pada kehidupan material. Kalau sekarang sudah bangga bila bisa membelikan motor untuk anak, dengan masuknya koran dan majalah, ini sudah tidak cukup lagi misalnya bagi lurah. Pak Lurah harus punya colt atau jeep. Bayangkan kalau tv masuk, tentu harus punya mercy. Ini akan menimbulkan tingkahlaku yang macam-macam, yang saya katakan kesenjangan sosial. Pemerasan akan lebih besar dan sebagainya. Ini sebenarnya bisa diatasi kalau diimbangi dengan pengembangan di bidang-bidang lain seperti administrasi, memperkecil kebodohan dan sebagainya. Tapi saya sangsi.

Mengenai software siaran tv, memang ada baiknya disempurnakan. Tapi juga ada bahayanya. Maksud saya, dalam kondisi sekarang, tv dan koran menjajakan sesuatu yang over-idealistis kepada rakyat, sehingga sama sekali tidak menyentuh bagi mereka. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Sedang yang kongkrit, berbentuk insentif untuk pola kehidupan yang mewah. Ini yang repot. Bukan saya tidak setuju. Tapi persiapannya harus tidak seperti sekarang, yang hanya brang-brung. Hanya serba teknis. Masalahnya lebih mendalam. Tetapi kita tidak bisa menganggap bahwa yang ada total jelek. Liberating force ada juga dalam tv, yaitu menciptakan keleluasaan bergerak di bidang gagasan. Jadi ada sumber referensi yang baru, tidak hanya yang tradisional. Ini bagus. Artinya, kalau setiap hari orang mendengarkan tv, ucapan yang mengakui bahwa korupsi harus diberantas, harus dikontrol, administrasi harus ditegakkan, paling tidak akan menumbuhkan semacam catatan mental (mental notes) dalam diri mayoritas penduduk pedesaan. Catatan mental ini. Kalau bisa diarahkan dapat menjurus ke arah yang positif. Yaitu, seperti saya katakan tadi, mempercepat mereka untuk mencari nilai-nilai dasar bangsa dan kebutuhan akan kawasan penyangga. Tapi dampak mana yang lebih besar, kita belum tahu.

Mengatakan bahwa apa yang terpampang di tv ditanggapi sebagai dongeng oleh rakyat di pedesaan, adalah sebuah spekulasi yang amat berani. Mengapa? Sebab, kalau dulu misalnya harga kaus oblong yang tigaratus perak dianggap tinggi, sekarang tambahkan saja label Arrow, jadi tigaribu perak. Tak dirasakan artinya oleh anak- anak. Bukankah ada sesuatu yang hilang di sini? Sifat gemi (hemat, Red) hilang. Apakah ini bukan pola kemewahan? Blue jeans dibandingkan kain drill, harganya pincang tidak keruan. Hal ini sudah terjadi dewasa ini, justru di kala tv belum masuk desa. Bayangkan berapa harga jeans, seandainya tv masuk desa nanti? Bayangkan nanti apa yang mesti dijual untuk membeli jeans. Tidak bisa tidak, sebab itu telah berkembang menjadi identitas pokok. Termasuk di sini semangat bersaing dengan segala bentuknya. Dan ini akan memutarbalikkan skala prioritas kita. Ini hal yang bukan main-main. Belum lagi di bidang orientasi. Dulu membunuh orang merupakan sesuatu yang amat ditakuti, tetapi setiap hari orang lihat hal itu di tv, menembak orang bukan masalah. Jadi akan ada catatan mental yang kadang-kadang mengubah sama sekali semuanya. Harus dibuat perbandingan antara show dan edukasinya. Siaran tv tidak bisa dibuat mbludak (meluap. Red.) dengan acara edukasi saja. Tidak bisa! Harus tetap ada unsur entertainment, dan ini akibatnya tidak seluruhnya positif. Struktur perekonomian iklan lebih mementingkan rangsangan-rangsangan luar, yang sifatnya agresif, atraksi seksual dan sebagainya. Ini yang dikembangkan. Akhirnya rusak semua skala prioritas kita, termasuk skala prioritas pola hidup sederhana. Bisa hancur semua. Sekarang kerja keras masih merupakan sesuatu yang biasa, mungkin karena kepatuhan atau karena budaya miskin. Belum merupakan suatu nilai. Tidak seperti di Jepang. Amerika atau Eropa Barat.

Dengan masuknya tv ke desa nanti, saya ingin melihat akibatnya, apakah tidak akan hancur? Kesantaian akan menjadi pola pokok dalam hidup. Ini yang saya takutkan. Bangsa kita nanti lantas menjadi santai-santai saja. Sekarang baru dengan radio dan cassette saja, efeknya sudah begitu jauh. Nanti diperhebat lagi dengan tv di kampung. Anak-anak muda kita lantas menjadi korban daripada pekerjaan penjajaan kesantaian ini. Pelariannya, impian. Ini akan semakin diperkuat oleh tv.

Saya bukannya menentang. Maksud saya, saya tentang toh percuma. Tidak diprogramkan pemerintah pun, akan masuk sendiri, malah sudah mulai terjadi. Masalahnya bukan menentang- tidak- menentang tapi menunjukkan bahayanya sehingga kita bisa mengambil tindakan-tindakan preventif.