PPP Bisa Dipastikan Jadi Nomor Tiga
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Hingar-bingar Muktamar PPP III telah reda. H. Ismail Hasan Metareum tampil kembali menjadi ketua umum, yang sekaligus mengukuhkan kedigdayaan unsur MI di hadapan NU. NU – yang dimotori para kiai kelompok Rembang – yang sangat menggebu-gebu ingin mengegolkan Mathori Abdul Djalil di kursi puncak pimpinan Partai Bintang ini kembali gigit jari, Bagaimana komentar pengamat politik yang juga Ketua Umum PB NU K.H. Abdurrahman Wahid soal ini? Gus Dur – panggilan akrabnya – mengungkapkan uneg-unegnya kepada wartawan di ruang kerjanya di kantor PB NU Jl. Kramat Jaya, Jumat siang. Berikut petikannya.
Bagaimana komentar Gus Dur tentang hasil muktamar dan komposisi DPP PPP yang baru?
Yang salah itu sebetulnya ya yang ngarep PPP jadi besa. Wong dari awalnya sudah nggak benar. Masak massa NU yang demikian luas disubordinasikan dengan MI. Itukan dimulai sejak tahun 1983 di zamannya Naro. Sebelum itu memang kiai NU yang populis yang ambil peranan, tapi lalu kami dipatahkan.
Berharap muktamar berjalan demokratis itu omong kosong. Lihat saja, hasilnya kan mencerminkan kondisi PPP yang susunan kekuatannya tidak menggambarkan realitas. Itu pun dikombinasikan dengan sikap menang-menangan. Makanya terus ada yang protes.
Boleh saja Mathori dan KH. Syansuri Badawi dianggap sepele, tapi jangan lupa mereka itu tipe orang pekerja keras yang mendukung PPP. Sedangkan di NU, KH. Syansuri itu kiai kharismatik yang punya kekuatan tidak lokal.
Dengan kata lain, susunan pengurus PPP yang sekarang tidak mencerminkan kebutuhan di masa kini dan masa mendatang?
Ya, dan hasil dan berjalannya muktamar ini akan berdampak pada perolehan suara PPP pada Pemilu mendatang. Mereka lupa, yang katut dalam DPP sekarang itu pada nggak punya akar. Dengan begitu, bagaimana PPP berharap dukungan rakyat? Itulah yang harus diantisipasi DPP PPP. Apalagi dengan perkembangan yang terjadi selama muktamar, pendukung Bintang Pamungkas dipukuli. Nah, citra PPP di mata pemuda pasti jatuh. Wajah DPP sekarang adalah wajah tua, padahal ia harus berhadapan dengan Megawati.
Apa hasil muktamar ini bisa berbuntut penggembosan seperti terjadi pada pemilu-pemilu lalu?
Ya, perolehan suara PPP kan menurun karena citra PPP yang makin memburuk. Pemasangan orang-orang NU di DPP cuma taktik, termasuk pemasangan KH. Syansuri sebagai anggota MPP. Nggak ada yang strategis.
Tugas saya cuma mencegah agar limbahnya jangan merusak lingkungan NU. Kalau memang limbahnya kecenderungan Golput, ya harus saya bawa ke tempat yang mereka mau. Sebetulnya, kiai itu bukannya tidak dianggap oleh PPP, tapi oleh sistem kekuasaan.
Apa itu berarti Gus Dur akan “mengimbau” warga NU menyeberang dari PPP?
Pertimbangan saya cuma satu. Kalaupun ya, itu untuk menghindarkan orang NU yang masuk Golput lebih banyak. Kalau disuruh ke Golkar yang mungkin nggak mau. Sekarang, praktis pilihan orang NU tinggal Golput dan PDI.
Para kiai sudah gela. Dari awal proses muktamar, mereka sudah tidak mau dengar para kiai lagi.
Ada ya seorang kiai, beliau ini nggak pernah manggil saya saking fanatiknya pada PPP. Kini mendadak sontak dia menelepon saya. Ini menunjukkan betapa gela-nya para kiai itu.
Ditambah tujuh orang NU yang ditarik ke DPP bukan jago para kiai atau Mathori?
Yang disayangkan, dengan melihat gela-nya kiai, perimbangan yang kayak gitu kok masih dipertahankan. Masih menang-menangan dengan perimbangan yang tidak reaslistis.
Para kiai itu akhirnya berpendapat, ya wis kalau begitu silakan ambil.
Itu yang diambil kan musuh Mathori kabeh. Akibatnya, kiai-kiai yang masih punya keterikatan dengan Mathori akan terus menjauh.
Berarti PPP bisa menjadi nomor tiga pada Pemilu mendatang?
Kalau tidak ada intervensi pemerintah, kemungkinan PPP menjadi nomor tiga bisa dipastikan. Di samping itu PPP mau bicara soal apa lagi? Bicara agama, orang sudah jemu. Demokrasi? Orang bisa ketawa, PPP saja nggak demokratis dan elitis. PDI masih masuk akal karena tubuh PDI itu kan PNI yang punya basis massa.
Ini bisa menjadi peluang instropeksi terhadap sistem kepartaian di Indonesia. Pemilihan pengurus kok seperti lingkaran; DPC disahkan DPP dan DPP oleh DPC. Kalau berantem, pemerintah yang turun tangan. Ini lingkaran terus membusuk, tapi kok malahan mengundang keterlibatan luar yang meningkatkan ketergantungan. Masih jauh lebih mending Bintang Pamungkas. Bagaimanapun terlepas dari hebohnya, Bintang itu pejuang demokrasi.
Dengan “kalahnya” para kiai, apa itu berarti suara kiai nggak didengar lagi?
Nggak juga, sebab kekalahan bukan itu. Tapi karena semata-mata ada faktor dukungan dan masuknya sistem kekuasaan, sehingga hasilnya sejak awal bisa ditebak. Jadi nggak ada hubungannya dengan kultur dan posisi tradisional para kiai.
Terus bagaimana pendapat Gus Dur tentang Mathori yang praktis tersingkir dari PPP?
Saya malah kagum dengan Mathori karena dia bertahan sampai akhir.
Di dalam NU sendiri dia dikeroyok, ditusuk dari belakang. Sementara dia masih harus berhadapan dengan musuh di depan.