Voting dan Tradisi Demokrasi

Sumber Foto: https://erlanggapedia.id/Artikel/preview/MTY0MA==

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sangat menarik pembicaraan sekitar rantap-rantap yang dibahas dalam SU MPR 1978, khususnya tentang GBHN. Ada perbedaan yang sulit diselesaikan antara pihak Fraksi Persatuan Pembangunan dan fraksi-fraksi lain tentang beberapa persoalan. Banyak suara yang dilontarkan tentang cara penyelesaian kemacetan itu, termasuk anjuran agar dilakukan voting (pemungutan suara). Bahkan Waka Bakin waktu itu Letnan Jenderal Ali Moertopo lebih jauh lagi menyerukan agar pihak yang kalah menerima semua keputusan dengan hati lapang dan nantinya tidak mengacau.

Sistem voting sebenarnya bukan barang baru. Ia meruapakan bagian inhern dalam proses pengambilan keputusan di sebuah negara yang demokratis. Ada beberapa banyak pemungutan suara yang dilakukan. Ada yang dengan disiplin partai yang ketat, seperti di kebanyakan negara, Eropa, Australia dan Jepang. Semua persoalan diselesaikan dulu secara tuntas dalam lingkungan fraksi masing-masing, umunya dengan cara voting intern. Baru kemudian hasilnya dijadikan posisi mati yang harus dipatuhi para anggota fraksi. Ada yang dengan cara longgar, seperti di Amerika Serikat, di mana para wakil rakyat diberi hak menentukan pendapat sendiri secara perorangan, tanpa ada voting intern di fraksi masing-masing terlebih dahulu.

Kebebasan dalam sistem voting di Amerika Serikat itu tidak hanya berlaku bagi wakil rakyat secara perorangan dalam pemungutan suaranya itu sendiri belaka, tetapi bahkan sampai kepada hak mengajukan amandemen untuk “mengacau” rancangan undang-undang yang diusulkan dengan memasukkan sisipan-sisipan yang dinamai “riders“. Sebutan rider adakalanya justru memperkuat beberapa aspek RUU, seperti memperbanyak alokasi anggaran untuk itu. Adakalanya ia disisipkan justru untuk memperlemah ketentuan RUU itu sendiri. Rider yang melemahkan inı, umpamanya saja dengan menyisipkan persyaratan sangat berat dalam pelaksanaannya, yang dinamai upaya “watering down“. Seolah-olah dengan RUU yang diusulkan akan tenggelam dalam air bah yang akan menelannya, atau seperti memasukkan air banyak-banyak ke dalam segelas anggur, yang akan melarutkan rasa dan aromanya.

Sudah tentu riders itu baru menjadi atraktif jika telah diterima secara voting pula oleh para wakil rakyat lainnya. Karenanya, pemungutan suara tidak dilakukan hanya atas RUU yang diusulkan saja, tetapi juga atas amandemen-amandemen atau RUU itu. Lama, membosankan, menjengkelkan, bahkan terkadang memuakkan. Tetapi memang demikianlah seharusnya proses demokrasi jika ia telah menjadi matang karena proses pengambilan keputusan (walau dengan voting sekalipun) adalah tidak lain tidak bukan upaya memutuskan hal-halyang mungkin saja (the art of the possible biasanya adalah definisi politik, sedang kerja membuat keputusan adalah kerja politik).

Justru, demokrasi belum menjadi matang di negeri kita. Banyak hal yang dapat dipakai untuk mengukur kematangan demokrasi di sebuah negeri, tetapi ukuran utamanya dapat dicari pada dua hal. Pertama, pada jawaban atas pertanyaan berikut: benarkah perimbangan kursi di lembaga perwakilan rakyat telah mencerminkan perimbangan kekuatan yang sebenarnya di masyarakat, antara kelompok-kelompok besar yang hidup di dalamnya, sehingga tidak ada golongan besar yang merasa kurang terwakili (under represented) dalam lembaga tersebut? Kasus sedikitnya wakil rakyat dari golongan hitam Negro di Congress Amerika Serikat adalah contoh dari “under representation” ini, dengan akibat-akibatnya sendiri. Ukuran kedua, adalah aturan permainan yang digunakan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat Haruskah para wakil rakyat mengikuti disiplin mati dari pimpinan fraksi masing-masing bahkan sering tanpa melalui proses hearing dengan anggota fraksi? Perdebatan sengit dan memakan waktu terkenal sekali di lingkungan Partai Buruh di Parlemen Inggeris. Anggota yang sudah mapan (pimpinan fraksi atau bahkan menteri di pihak partai yang memerintah dan menteri bayangan di pihak oposisi) dikenal dengan sebutan “frontbenchers“, karena mereka duduk di deretan kursi terdepan dalam sidang-sidang parlemen. Mereka yang belum mapan dinamakan dengan “backbenchers” karena harus duduk di deretan belakang Dulu, sangat terkenal perdebatan sengit antara PM Callaghan melawan menteri Michael Foot, dengan Callaghan menerima dukungan “frontbenchers” dalam banyak persoalan yang diperdebatkan. Cara ini menjamin diterimanya hanya aspirasi yang disetujui bersama yang tersaring untuk diajukan sebagai sikap fraksi. Sikap voting dengan disiplin mati di kalangan para wakil rakyat dalam jangka panjang akan sangat berbahaya bagi bangsa, dan sebenarnya berarti pembunuhan secara perlahan-lahan atas demokrasi itu sendiri. Demikian pula, sistem voting dalam keadaan perimbangan kursi antara fraksi-fraksi yang ada, tidak mencerminkan sepenuhnya perimbangan sebenarnya populatif di masyarakat. Hal ini terbukti dari ledakan perjuangan kelompok-kelompok Negro Hitam di tahun-tahun 50-an dan 60-an seperti yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr. almarhum. Perjuangan mereka dilakukan dengan demonstrasi- demonstrasi, karena mereka merasa kurang terwakili dalam Congress, dengan akibat pemungutan suara yang dilakukan di dalamnya hampir selalu merugikan orang Hitam.

Sistem perwakilan rakyat kita masih belum matang, karena belum memiliki dua hal yang diuraikan di atas. Disiplin yang diterapkan di MPR, DPR dan DPRD-DPRD masih berupa disiplin mati, dimana perdebatan berkepanjangan tidak “diseyogyakan” ada. Kreativitas perorangan belum sepenuhnya memperoleh tempat di masing-masing fraksi, masih jauh dikalahkan oleh lembaga kepatuhan dengan senjata “recalling“-nya. Hasilnya adalah proses pencernaan persoalan secara tidak kritis sama sekali.

Demikian pula, keseluruhan sistem kepartaian dan prosedur pemilu di negeri kita belum lagi menghasilkan perimbangan kursi di MPR, DPR, DPRD-DPRD yang sesuai dengan kenyataan penggolongan yang ada di masyarakat. Perimbangan “kekuatan yang ada masih terlalu diwarnai oleh kebutuhan menjaga stabilitas nasional di semua bidang guna menjamin kelancaran roda pembangunan yang telah melangkahkan kaki di pelita-pelita lalu.

Dalam keadaan demikian, penerapan sistem voting mengundang bahaya besar bagi kita semua, karena bagaimanapun juga, pihak yang merasa kurang terwakili tidak akan menerima hasilnya dengan tulus. Ketidakpuasan yang mereka pendam, karena kekalahan sistem pengambilan keputusan yang tidak mereka anggap adil dan wajar, akan menjadi api dalam sekam, yang dapat saja membakar kita semua di kemudian hari. Apalagi kalau sistem voting itu diterapkan secara sistem paket, dimana soal-soal bersangkut paut dengan aspirasi-aspirasi kejiwaan yang paling dalam di lubuk hati manusia (seperti keyakinan agama) diperlakukan sama dengan soal-soal politik praktis. Semua penyelesaian dipukul rata dengan “adu kuat” dalam voting itu sendiri.

Karenanya, sudah sepatutnyalah dikemukakan di sini sebuah ajakan untuk kita semua berhati-hati dan berpandai-pandai dalam mengambil keputusan melalui SU MPR selanjutnya, agar apa yang kita capai dengan susah payah hari ini, tidak sampai menjadi rusak di kemudian hari.