Yang Mewakili Islam Itu Siapa (Wawancara)

Sumber Foto: https://www.nongkrong.co/sejarah/pr-4317033823/prediksi-politik-gus-dur-terkait-suksesi-soeharto-sehak-1992-terbukti-bagaimana-gus-dur-mengamatinya?page=4

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

JABAT tangan Gus Dur-Pak Harto bagi para wartawan bener-benar berita besar. Sebab, sudah hampir dua tahun, keduanya tidak pernah bertemu, apalagi berjabat tangan. Konon, putusnya hubungan tersebut karena Pak Harto marah.

Lalu, ada apa di balik salaman Pak Harto dengan Gus Dur di Probolinggo itu? Apakah telah terjadi “rekonsiliasi” di antara mereka? Apakah Pak Harto sudah memaafkan Gus Dur? Apalagi, setelah itu, Gus Dur pun bertemu KSAD Jenderal R. Hartono. Di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, Rabu 13 November. Keduanya bukan sekadar bersalaman, tapi sempat omong-omong. Padahal, selama ini, keduanya juga dikabarkan “saling bermusuhan”.

Untuk memperoleh gambaran lengkap di balik manuver tersebut, dan perkembangan lain paling akhir, kami sajikan petikan wawancara yang dimuat majalah Forum, 2 Desember, D&R, 23 November 1996, dan wawancara langsung AULA.

Bagaimana kisah pertemuan Anda dengan Pak Harto itu?

Ya, kita salaman dengan tangan dua. Tadinya saya pakai tangan satu. Tapi, karena Pak Harto pakai tangan dua, masak saya tangan satu, jadi tangan dua juga. Jadinya, seperti orang berangkulan, padahal cuma salam saja pakai dua tangan. Setelah itu, beliau salaman dengan Kiai Aziz Masyhuri (Ketua RMI), dengan tidak melepaskan tangan kirinya dari tangan saya. Terus saya jalan, tapi tangan kirinya masih memegangi tangan saya, kan kayak menggandeng. Tapi, habis itu lepas, wong jalannya tak perlu gandengan, jalan jejer. Jadi, ada beberapa saat di mana tangan kiri beliau itu masih memegangi tangan saya, kelihatannya seperti orang gandengan.

Mengapa Pak Harto menggandeng tangan Anda

Beliau menggandeng kan karena tahu saya nggak lihat jalan.

Dulu kok tidak diterima

Ya, anagagap saja inilah gantinya.

Apa Anda bertemu empat mata dengan Pak Harto?

Nggak ada. Beliau datang untuk bertemu dengan semua orang yang ada di sini, saya nggak perlu mengambil hak orang lain. Kiai-kiai yang nggak pernah ketemu kan lebih penting. Rais Am KHM Ilyas Ruchiyat memperkenalkan mereka kepada Pak Harto. Lalu, ada tanya-jawab yang diajukan Pak Munasir dan Pak Tolhah Hasan.

Sebelumnya, Pak Harto sudah tahu Anda akan ada di sana?

Tak tahu saya. Menurut saya, itu barang yang normal-normal saja. Selamanya kan begitu. Kalau Pak Harto datang, kan harus ada yang menjemput.

Apa ucapan Pak Harto kepada Anda waktu itu?

Assalamualaikum, apa kabarnya. Ya, greetings-lah. Selamat-selamat, begitu saja.

Ada persiapan khusus dari Anda untuk menyambut Presiden?

Ada dua. Pakai hem batik lengan panjang dan bersepatu. Biasanya saya tak pernah bersepatu. Karena Presiden, ya, khusus bersepatu, ha-ha-ha… Kemarin, di Situbondo, saat bertemu Hartono saja, pakai baju ini, tak ganti-ganti.

Mengapa Pak harto bersedian datang di Mukernas RMI ini

Kita semua saling menghormati, kita taat Pak Harto sebagai Presiden.

Sekarang, Anda sudah merasa “plong”?

Ha-ha-ha… Saya sejak dulu, ya, plong. Alah… kayak ada barang buntu saja, pakai “plong” segala. Saya ini kan ada kontak-kontak dengan Pak Harto, dalam arti, kalau ada bahan masukan, saya sampaikan. Dan, Pak Harto juga menyampaikan sikap-sikap pemerintah (kepada kontak-kontak saya). Itu sudah sejak lama. Jadi, tak terlalu heran.

Sepanjang saya ketemu Pak Dharmono, Pak Moerdiono, Edy Sudradjat, bekas Menteri Kehutanan Soedjarwo, Siswono dan tentara-tentara itu, semuanya menyampaikan pesan dan pertanyaan Pak Harto. Jadi, saya enggak melihat adanya kebuntuan. Bahwa selama itu memang Pak Harto dekat sekali dengan ICMI, itu suatu hal yang menurut saya, tak ada kaitannya dengan saya. Memang Pak Harto, policy-nya saat itu memberikan peluang sebesar-besanrya kepada ICMI untuk membuktikan diri dan klaim-klaim mereka. Jadi, saya tak melihatnya sebagai suatu yang harus dipertalikan, tak ada hubungan kausalitas di dalamnya.

Wong saya sudah sejak dulu-dulu. Tapi, hubungan saya tak terganggu, tetap baik saja. Yang enggak baik itu kan — kalau boleh dibilang — pada 1992-1994. Itu yang paling jauhnya. Menurut saya, bukan karena soal apa, tapi karena memang policy pemerintah yang tidak terkait dengan NU waktu itu. Jadi, bukan karena ada sesuatu masalah. Mungkin pada 1994, itu ada soal buku A Nation in Waiting itu. Kan, gampangannya, kepada orang-orang itu Pak Harto bertaпуа apa sih maunya Gus Dur? Lalu saya jawab, dan mereka menyampaikannya kembali ke Pak Harto.

Dalam buku A Nation in Waiting Anda mengatakan Pak Harto “bodoh”?

Enggak. Saya ditanya Adam Schwarz (penulis buku itu), “Bagaimana jawaban Pak Harto terhadap surat Anda tentang keadaan muslim di Aljazair?” Lalu, saya jawab, “Di situlah bodohnya. Kok, saya mengira surat saya akan dijawab oleh Pak Harto Kalau dijawab kan berarti dia memihak kepada saya.” Lo, itu bodohnya siapa? kan bodohnya saya. Cuma, ketika diletakkan dalam bahasa Inggris konteksnya jadi lain. Sepertinya saya mbodohin Pak Harto, padahal saya itu mbodohin diri saya.

Sekarang, Anda merasa “dosa” Anda sudah dimaafkan Pak Harto?

Enggak gitu. Dari awal penjelasan saya sudah minta maaf kepada Pak Harto lewat Pak Dharmono Lalu, Pak Harto bilang ya sudah kalau gitu. Bahwa itu masih dirembak-rembuk (dibicarakan) orang. itu soal lain. Kita kan ngomong Pak Harto, bukan orang lain.

Lalu, apa lagi pentingnya pertemuan Anda dengan Pak Harto itu?

Wah, saya enggak bisa ngomong dari sudut Pak Harto karena itu soal persepsi. Yang terpenting bagi saya adalah cairnya hubungan antara NU dengan pemerintah, terutama di tingkat daerah. Karena selama ini, dampak negatifnya terasa betul di daerah. Yang kedua, itu bukti bahwa NU sudah bisa menunjukkan kemandiriannya, menetapkan agendanya sendiri, menyusun realignment atau penyusunan ulang kekuatan yang ada di dalam dirinya, dari bawah sampai ke atas. Itu menunjukkan bahwa Pak Harto itu jalan pemikirannya sangat rasional, dan mengikuti pertimbangan keseimbangan kepentingan berbagai pihak. Jadi, jangan melihat bahwa kalau Pak Harto datang ke NU, dia hanya berpikir tentang dia sendiri dan NU, tapi juga harus dilihat konfigurasi semua kepentingan yang ada.

Apa arti kunjungan Pak Harto tersebut bagi NU?

Mempunyai dampak psikologis yang positif bagi warga NU dalam hubungan dengan, terutama, pemerintah-pemerintah daerah. Orang pesantren merasa dapat dorongan yang lebih besar karena ini komitmen dari orang pertama di negeri ini. Saya hanya mengikuti segala yang digariskan presiden kita, ikuti.

Benarkah kehadiran Pak Harto di Genggong itu merupakan tindakan simbolis pemihakan Pak Harto kepada Islam?

Ada, tapi juga tak bisa diletakkan begitu saja. Kan dia harus juga menyeimbangkan yang lain-lain, yang non gerakan Islam dan gerakan non-Islam.

Apakah pertemuan itu merupakan langkah Pak Harto untuk mengimbangi kekuatan politik Islam NU-Muhammadiyah-ICMI?

Sebenarnya enggak benar jika dibilang begitu. Dari dulu Pak Harto sudah melakukan itu, selalu membuat politik penyeimbang. Jadi, enggak ada yang baru dalam hal ini. Yang penting, masuknya konfigurasi baru yang beliau amati dengan cermat, yang beliau dorong atau beliau biarkan. Beberapa faktor itulah, menurut saya, yang sangat menentukan. Jadi, saya tidak melihat Pak Harto ingin menjadikan NU sebagai penyeimbang Muhammadiyah atau ICMI.

Pak Harto itu enggak kayak yang diduga orang. Kalau hubungannya dengan A berkembang ke satu arah, maka untuk mengimbangi, lalu hubungannya dengan B menuju ke arah lain. Enggak begitu cara berpikirnya Pak Harto. Saya lihat, Pak Harto lebih mementingkan bagaimana mengonsolidasi hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian merambah hal-hal baru. Makanya, makin lama akumulasi keseimbangan yang beliau bikin itu jadi tambah matang.

Anda mengatakan, peristiwa tersebut merupakan koreksi atas koreksi yang dilakukan Pak Harto. Apa maksudnya?

Lo, itu bukan kunjungan itu sendiri. Dulu, sebelum tahun 1980-an, gerakan Islam belum mendapat santunan. Atau kalau dilihat dari sudut lain, kurang mampu memanfaatkan peluang. Lalu, tahun 1980-an kemari, tandanya yang paling transparan adalah naiknya Pak Try, seorang tentara santri dari KSAD lalu menjadi Pangab. Itu bisa dijadikan contoh. Di situ tampak bahwa orang-orang santri itu mumpuni. Lalu, mereka masuk dalam jumlah yang cukup besar.

Tapi, tahun 1990-an, ditandai pula oleh kecenderungan untuk mengambil pihak santri yang justru berpikir sangat politis. Mereka menginginkan dominasi total atas kehidupan politik, yaitu menguasai Golkar dan PPP sebagai orsospol, lalu birokrasi dan ABRI. Lalu muncullah jenderal santri yang demikian aktif dan agresif dalam “memperjuangkan kepentingan Islam”, hal yang mengejutkan. Apa yang mereka inginkan tentu saja ditolak oleh yang lain. Nah, memperhitungkan adanya penolakan itulah, Pak Harto harus melakukan koreksi lagi atas sikap yang mau “sok dominan” itu. Jadi, dengan kata lain. Pak Harto mencoba untuk mencari, katakanlah, pola final hubungan dengan gerakan Islam.

Menurut saya, yang paling simbolis sekali adalah pengangkatan Pak Try Soetrisno sebagai KSAD. Bagaimanapun, citra Pak Try itu surau. Ya betul, dia adalah jenderal, seperti militer lain. Tapi citranya itu, ya, surau. Dia kan bolak-balik mengaku sendiri kalau ketemu saya, “Saya ini tidurnya di langgar, Cak.”

La, koreksi dari Pak Harto itu berlanjut dan berkulminasi pada (dibentuknya) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), yang diharapkan bisa memunculkan kekuatan politik yang baru, yang memungkinkan perwakilan dari, katakanlah, golongan Islam, menjadi konkret dalam pemerintahan, dalam partai politik, ABRI dan sebagainya. Kalau melalui partai politik kan nantinya ke legislatif.

Gagasannya sendiri bagus Tapi, ternyata ICMI ditangkap oleh orang-orang militan, kalangan aktivis muslim militan. Ini yang bikin ruwet karena mereka inginnya bukan mewakili saja, tapi mendominasi.

Jelasnya?

Mereka itu ingin mendominasi kekuatan sosial politik atau organisasi sosial politik. Itu adalah jaringan pertama. La, ini memang berhasil diwujudkan. Tapi, akhirnya, Pak Harto menyadari. La, yang terjadi ini kan alienasi total. Pak Harto terus menerus teridentifikasi dengan mereka. Pak Harto juga akan mengalami “pendarahan dukungan”. Kenapa? Karena, ya, semua kan enggak senang kalau diintip-intip. NU saja, podo Islame, tidak senang, apalagi yang lain, apalagi yang nonmuslim.

Jadi…?

Koreksi itu kan biasa. Dalam sejarah kan begitu sebuah koreksi senantiasa disusul koreksi kedua, koreksi ketiga, dan seterusnya Nah, sekarang, Pak Harto melakukan upaya koreksi atas koreksi itu, dengan cara menunjukkan bahwa bukan hanya ICMI satu-satunya yang bisa (dianggap) mewakili Islam. NU pun bisa juga mewakili Islam. Pokoknya, saya melihat sekarang ini ada koreksi terhadap itu.

Sejauh mana efektivitasnya?

Ya, efektif. Karena, bagaimanapun, dukungan Presiden itu menjadi sangat menentukan, apalagi untuk organisası kayak ICMI, yang memang enggak punya basis massa.

Wujud konkretnya seperti apa?

Lebih banyak dalam sikap-sikap, tapi dalam institusional tak banyak perubahan karena koreksinya juga atas sikap, toh? Sikap dari gerakan Islam yang militan itu. Itu pun bukan gerakannya lo yang dikoreksi, tapi sejumlah tenaga-tenaga pokoknya. Misalnya, dalam pergantian orang Jadi, bukan gerakan islamnya an sich yang digarap. Tapi lebih banyak-katakanlah-kapling mereka dalam orsospol, birokrasi, dan dalam ABRI Dalam kondisi seperti sekarang ini, apa yang dapat diharapkan.

kecuali orientasi kekuasaan? Lebih banyak mempertahankan status quo sebenarnya. Tapi, itu juga tak jelek-jelek amat. Karena dalam masa transisi memang pencarian status quo itu merupakan suatu hal yang mutlak perlu. Hanya, jangan mengalahkan elemen-elemen perubahan. Gabungan antara pengukuhan status quo dan pencarian elemen-elemen perubahan, keseimbangannya sangat menentukan kualitas kepemimpinan yang berjalan di masa transisi itu sendiri.

Di Situbondo, bagaimana Anda bisa ketemu Jenderal Hartono?

Saya dapat pesanan dari orang-orang, “Gus sebaiknya sampeyan ke Situbondo, biar bisa bertemu Pak Hartono, bisa ngobrol, ada kesempatan.” Iya wis tah, kebetulan saya ada di Jawa Timur. Ternyata betul, saya diterima Kiai Fawaid di rumahnya, lalu duduk di samping Pak Hartono, yang lebih banyak bicara dengan Kiai Badri.

Rangkul-rangkulannya ikhlas, ya?

Ya, ikhlas sih, ikhlas. Cuma enggak ada dampak apa-apa. Jangan dibaca sebagai langkah politik.

Apa yang dibicarakan KSAD dengan ulama?

Yang saya senang. KSAD menyebut dua hal. Pertama, keterangannya bahwa melihat pembangunan gereja oleh umat Kristen janganlah seperti (melihat) orang Islam. Orang Islam itu satu kampung cukup satu masjid, karena semua juga salatnya di situ: Karena apa pun alirannya, kalau Islam, salatnya kan satu. Nah, kalau di Kristen itu enggak bisa karena tata caranya berbeda-beda di antara berbagai aliran. Karena itu, mereka membutuhkan jumlah gereja yang dibandingkan dengan umatnya lebih banyak gerejanya.

Yang kedua, pemerintah harus membangun kembali bangunan-bangunan yang dihancurkan, sebagianlah. Artinya, pemerintah mengambil inisiatif. Persoalan dana dari mana, ya, nggak tahu.

Persoalannya, apakah hal itu bisa diterima oleh umat Islam. Kenyataannya, ulama-ulama keberatan. Bagi mereka, yang terpenting itu yang sudah dapat izin yang boleh dibangun lagi. Yang tidak, ya jangan.

Itu kan baru pertama kali Anda bertemu KSAD?

Dia juga ngomong begitu. “Alhamdulillah saya kemarin, ketemu sama Gus Dur pertama kali,” katanya. Padahal, ya enggak, ha-ha-ha… Artinya, waktu takziah wafatnya Ibu Tien di Cendana, saya salaman dengan beliau, juga saat di Cipasung. Mungkin maksudnya, dia pertama kali bertemu sambil omong-omong, gitu lo. Tapi, saya tak melihat ada sesuatu yang spesial.

Jadi, berbeda dengan sikap protokol dalam Muktamar di Cipasung?

Enggak juga. Saya tak melihatnya begitu. Saya juga dapat tempat di dalam ruang silaturahmi bersama Pak Harto, Sepuluh orang dikasih tahu tanda masuk, tapi ada Agil Munawar dari PBNU yang tak kebagian tanda masuk, menyerobot. Jadinya kan kursinya bekrurang. Saya kan mbagekno (menyambut) Pak Moer dan lain-lain. Saya masuk ke ruangan terlambat. Saya masuk lagi, masak mau duduk ngotot mengusir orang. Lalu saya duduk di luar lagi bersama Bupati Tasikmalaya.

Kalau begitu, tidak benar bahwa waktu itu ada upaya terkoordinasi untuk menghindarkan pertemuan Anda dengan Pak Harto?

Enggak ada. Yang ada (saat itu) saya tak boleh pidato, seperti kemarin (di Genggong) itu. Aturan protokolnya memang begitu, satu organisasi satu orang. Yang mendampingi Pak Harto memukul beduk juga dibatasi. Yang duduk dekat Presiden hanya Kiai Ilyas. Satu dari pemerintah pusat, Menteri Tarmizi, lalu Setneg. Gubernur, lalu orang kesatu dari organisasi. Saya agak jauh duduknya.

Sekarang ini, sikap Anda akan berubah terhadap pemerintah?

Ah, enggak. Sikap saya enggak berubah. Sikap saya konsisten dari dulu. Apa berarti terus berlomba-lomba ke Pak Harto, kan enggak? Ngapain, wong enggak ada perlunya. Saya ngomong tetap seperti biasa, kok. Kalau saya betul nyaris putus, baru saya berubah.

Anda dinilai sudah melakukan koreksi diri…

Ya, tidak. Maaf saja. Mana yang saya ubah itu?

Misalnya, Anda meminta Megawati menghentikan…

Nanti dulu. Itu untuk kepentingan Mega. Saya kan sudah mengantisipasi supaya dia enggak terjerumus. Maka itu saya menggak (cegah) duluan, hingga Mega bilang, secara pribadi dia senang dengan imbauan saya itu. Tapi, kan keputusan di tangan DPP. Jangan disangka itu perubahan mendadak. Saya tetap Megais. Dalam hal kepemimpinan Mega, saya tetap ikut Mega.

Tapi, pernyataan Anda itu ditanggapi positif oleh Pangab…

Ah, itu sih urusan dia. Saya itu enggak ambil pusing. Mana sih habis itu saya manfaatkan, misalnya lalu sowan ke Pangab, kan enggak? Saya bicara begitu bukan mau meringankan beban pemerintah dalam menghadapi masalah PDL Yang saya lakukan justru ingin meringankan beban Mega. Itu demi kesayangan saya kepada dia. Supaya option dia tetap terbuka, gitu lo. Jangan sampai dia mati langkah pada satu pilihan saja.

Setelah Mega kalah, Anda minta dia mundur. Bukankah itu demi politik kepentingan Anda, yang salah kalkulasi?

Oh, tidak. Saya tidak mendasarkan pada politik kepentingan. Saya tidak ikut politik kepentingan. Wong saya tahu Mega dari dulu akan keok. Saya juga tahu Mega tidak besar kekuatannya. Jadi, ketika terbukti Mega dikalahkan, saya memang sudah tahu suatu waktu dia bisa digitukan. Tapi saya mendukung Mega bukan karena kalah menang, melainkan karena apa yang dia lakukan itu benar. Saya enggak punya kalkulasi, yang ada ialah komitmen. Kalau kalkulasi, itu orang yang enggak punya komitmen.

Jadi, langkah Anda itu mencerminkan apa sebenarnya?

Ya, mencerminkan keinginan saya untuk melindungi teman-teman saya.

Saran Anda terhadap Mega itu terkesan tidak ditanggapi…

Siapa bilang? Ketika saya mengajukan imbauan itu, pertama untuk menunjukkan kepada pihak lain bahwa saya ini di pihak Mega dan tidak semua pihak Mega menunjukkan sikap konfrontasi, sehingga memahami situasi dan kondisi di dalam.

Waktu itu jawaban Mega bagus sekali, “Secara pribadi saya bisa menerima imbauan itu. Tapi, keputusan di tangan DPP PDI.” Artinya, pemerintah juga tahu bahwa Mega itu bukan orang yang senang konfrontasi.

Anda yakin Mega bisa survive

Ya, asal dia bijaksana, dia bisa memelihara jarak yang baik dengan semua pihak. Jangan semata-mata lalu kelihatan konfrontasi dengan pemerintah, tidak bisa menyajikan adanya kelenturan sikap yang positif. Itu tidak berarti ngalah. Seperti gugatan ke PTUN itu, tunda dulu-lah. Konsentrasi saja pada persoalan Soerjadi, gugatan terhadap Kongres Medan, Lalu, usahakan sejauh mungkin supaya ada keputusan dari pengadilan bahwa Kongres Medan tidak sah. Konsentrasi di situ.

Tapi, Anda lalu menyatakan, NU siap mengamankan terpilihnya kembali Pak Harto. Bukankah itu demi kepentingan politik?

Enggak ada. Itu karena dia presidennya, bukan karena apa-apa. Siapa pun (yang terpilih, Red), NU akan mengamankan. Waktu itu kan ada desas-desus bahwa akan timbul perlawanan terhadap Pak Harto. Saya enggak melihat Pak Harto-nya lo, ya. Tapi, Presiden-nya. Makanya saya katakan, kalau ada gangguan terhadap Presiden Republik Indonesia, NU akan campur tangan. Tapi jangan dilihat dari konteks politik praktis. Itu komitmen kenegaraan. Karena apa? Negara kita masih berada pada garis batas yang tipis antara kekuatan sosial politik yang seharusnya mempertahankan sistem. Tapi kita tahu, di negara kita masih ada orang-orang yang sering berusaha mau merongrong sistem. Karena itu, organisasi kemasyarakatan sebenarnya juga harus mengambil peran politik untuk mengamankan sistem tersebut. Bukan karena kita ada kepentingan, tapi karena komitmen kita kepada negara ini. Kami enggak mau negara ini pemerintahannya ambrol, enggak mau

Jadi, Anda tidak berubah, ya?

Enggak berubah. Sampai sekarang masih seperti dulu.

Dulu waktu membentuk Forum Demokrasi, Anda mengatakan umat Islam belum siap bersikap demokratis. Sekarang?

Ya, memang belum siap, kan baru satu-dua tahun. Kalau cuma jarak lima-sepuluh tahun, sih, kondisinya masih sama. Kita melihatnya harus ke depan

Dengan kunjungan Pak Harto tempo hari, kan banyak warga NU yang menaruh harapan…

Itu yang harus hati-hati. Jangan Ge-eR (kegedhen rumangsan).

Anda pernah menganalisa, setelah pemilu, suhu politik tidak akan menurun tanpa transfer kekuasan secara final dari generasi 1945 ke berikutnya…

Apa turun itu suhu politik kalau pemilu dilakukan? Itu kan (karena) ada pertikaian dan perseteruan di antara pusat-pusat kekuasaan: dalam ABRI, dalam birokrasi, di bidang polkam.

Transfer yang final itu mutlak dilakukan?

Ya, harus, dong. Kan, orangnya habis sendiri. La, habis sendiri tapi tidak ada peralihan, yang baik jadi hancur.

Masihkah kita punya masalah dengan kerukunan umat beragama dengan Peristiwa Situbondo?

Kerukunan itu sendiri sudah ada. Sebanyak 190 juta rakyat tenang-tenang saja. Kerusuhan kan hanya di satu-dua tempat. Pada umumnya kan tidak ada masalah.

Setelah 12 tahun Anda memimpin PBNU, kok, terkesan belum ada kaderisasi?

Kaderisasi itu tergantung levelnya: daerah, lokal. Daerah itu maksud saya provinsi, lokal itu kabupaten. Di bawah itu ada ranting –desa, ada kecamatan– majelis perwakilan cabang. Itu artinya sudah terjadi proses yang baik, kombinasi antara yang tua dan muda itu rata. Mungkin kualitas atau tingkat pendidikannya, dan sebagainya. Sama saja itu, bukan karena masalah tua-muda.

Di samping itu, paket level pusat Anda lihat sekarang tenaga-tenaga muda di pusat banyak sekali. Salah satu ketua, Fajrul Fallakh, sekarang lagi ke London untuk setahun sekolah, dia itu umurnya baru 35 tahun, Muktamar nanti belum 40 tahun. Kalau umpamanya dia sampai terpilih menjadi ketua umum, berarti ketua umum termuda. Tapi, seandainya dia tidak terpilih, peluang lima tahun lagi masih besar dan umumnya masih di bawah 45 tahun.

Dari sudut keahlian juga demikian. Kami di PBNU sekarang inı tenaganya macam-macam, ada rektor, ada pengusaha, ada orang bank, ada orang Universitas Indonesia. Adapun di bidang syuriah, kualifikasi ilmu-ilmu agamanya orang-orangnya sangat tinggi: dari Amien Aziz, Nahrawi Abdus Salam — mereka itu doktor dengan tiga master. Terus, ada KHM Ilyas Ruhiyat — Rais Syuriah, KHMA Sahal Mahfudz. Anda tahu sendiri, kiai top-top semua itu.

Jadi, dari ilmu pengetahuan agama itu, Syuriah PBNU yang sekarang ini sangat kuat dibanding yang dulu-dulu. Dari sudut tanfidziyah, ragam profesinya juga luar biasa.

Orang kan bertanya: kok Gus Dur lagi, Gus Dur lagi?

Bukan, bukan itu. Itu, sih, enggak ada urusannya dengan kaderisasi. Masalahnya itu, kemarin itu (Muktamar di Cipasung), seumpamanya kelompok-kelompok politik itu misalnya bilang “sudah, deh, selesai, enggak usah ribut-ribut lagi,” saya juga akan mundur. Kan, susahnya, mereka itu mau menguasai medan terus-menerus. Jadi, dengan kata lain, ancaman dari pihak mereka itu masih sangat besar. Tapi, yang nanti ini sudah enggak ada urusan, sudah “habis” mereka.

Saya itu sudah berniat berhenti di Cipasung. Tapi, orang-orang benar-benar enggak ngasih. Habis — terus-terang saja — yang menjadi calon ketua enggak paham agama.

Tantangan masa depan apa yang paling menonjol bagi NU?

Ya, tetap saja, di satu sisi secara konseptual kami masih harus membenahi hubungan antara wawasan agama dan wawasan kebangsaan. Itu tetap karena belum tuntas sampai sekarang. Belum tuntas dalam arti secara formal sudah ada, tapi belum merupakan penghayatan sehari-hari. Karena memang pengembangan susulannya itu kurang. Itu karena perluasan wawasan belum terjadi.

Pemekaran wawasan itu memerlukan dialog terus-menerus. Nah, sekarang sedang dibikin oleh Syuriyah PBNU, oleh Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), juga oleh RMI dengan halaqah atau lingkaran studinya terus-menerus. Jadi, karena memang baru mulai, hasilnya juga belum merata dan belum terlihat. Ini soal waktu. Tapi, begitu mereka selesai, masalah pengisian wawasan kebangsaan kaitannya dengan wawasan keagamaan itu nggak sulit. Jadi, mumpung masih baru.

Apakah itu proses yang panjang?

Ya, kan sudah dimulai dari tahun 1984. Sampai saat ini sudah 12 tahun. Jadi, masih memerlukan waktu sekitar sepuluh tahunan. Tapi, kalau terjadi, itu mapan, sudah enggak jadi masalah. Seperti di negara-negara lain, hubungan antara agama dan negara itu sudah begitu jelas dan begitu pas. Sebaliknya, kalau di sini atau di negara-negara muslim lain, belum pas. Masih ada masalah-masalah.

Jadi, kita masih punya sejumlah agenda permasalahan?

Ya, masih dong. Yaitu orang-orang yang omong “mayoritas-mayoritas” dan mengatakan bahwa mayoritas harus dapat pelayanan khusus atau bagaimana. Itu kan mereka mau menciptakan eksklusivisme bagı mayoritas.

Jangan-jangan, masalahnya sekadar mempersoalkan jatah yang “normal” bagi mayoritas?

Anda mau mengatakan mayoritas itu jatah normalnya berapa? Sekarang ini memangnya enggak ada data? Yang mewakili Islam itu siapa? Apakah Pak Harto bukan pemimpin Islam? Para menteri bukan?Jenderal-jenderal bukan? Lalu siapa? Mereka itu maunya orang-orang itu mewakili kelompoknya sendiri, tapi menamakan diri sebagai perwakilan Islam. Dari mana mereka punya hak untuk itu? Dalam gerakan Islam saja mereka cuma kecil, kok omong mewakili semua. NU yang lebih gede saja enggak berani sembarangan mengajukan klaim berhak mewakili mayoritas.

Itu, lo, saya enggak pahamnya kan di situ, Selalu mereka mengatakan, “Mayoritas enggak kebagian.” Kalau mayoritas enggak kebagian, lalu yang kebagian siapa selama ini?

Kalau dikaitkan dengan sikap pemerintah yang kini dinilai lebih akomodatif terhadap umat Islam, bagaimana?

Saya sudah omong bahwa gerakan Islam itu kurang pandai memanfaatkan peluang. Kenapa? Karena level pendidikan dan sebagainya, kan? Pengalaman dalam birokrasi dan sebagainya, kan? Lalu, itu dikoreksi oleh Pak Harto. Oke, tapi koreksi itu jangan sampai membuat orang GR, dong, bahwa mereka yang paling berhak, orang lain tidak. Itu yang salah. Koreksi itu harus menghasilkan kesadaran bersama bahwa gerakan Islam memperoleh porsi, tapi jangan dia lalu mau main sendiri, enak sendiri, atas kerugian orang lain.

Apakah sikap Anda ini ada kaitannya dengan kekhawatiran berkembangnya kembali radikalisme?

La, iya, Radikalisme itu selalu vokal, teriaknya itu macem-macem, tapi sebenarnya kekuatannya enggak ada. Asal alur umum politik kita dan alur umum kehidupan tidak terpengaruh, enggak ada masalah. Minimal, pemimpin-pemimpin bangsa tak terpengaruhlah. Susahnya, mereka terpengaruh. Jadi, akhirnya, pengaruh mereka atau dampak dari langkah mereka menjadi tidak proporsional dengan jumlah mereka. Yang menjadikan saya khawatir itu bukan pada kekuatan mereka, tapi pada dampak yang tidak proporsional ini. Jumlah mereka kecil, jangan terlalu dianggap serius. Anggap saja enggak ada.

Fordem dianggap pemerintah bermasalah?

Enggak apa-apa. Tambah enak.

Pemerintah akan menertibkan ormas, LSM, atau organisasi yang dinilai bermasalah…

Ya, saya pikir pemerintah itu kurang kerjaan. Terlalu jauh ngurusin. Seperti Forum Demokrasi ditempatkan nomor satu. Ada Yayasan Lembaga Pendapat Umum (YLPU), itu kantornya saja sudah enggak ada. Nanti, kalau punya duit, saya yang bikin itu. La, yang begini kok dimasukkan daftar organisasi bermasalah, bikin saya ketawa. Jadi, itu bukan LSM-nya yang bermasalah, tapi polkam-nya. Kok, terlalu ngabis-ngabisin energi begitu.

Ini terlalu jauh. Ya, memang ada LSM yang, katakanlah, membuat agitasi atau membuat langkah-langkah yang dinilai bisa menggoyangkan situasi. Tapi, kalau untuk merobohkan negara, enggak bakal. Itu satu.

Lalu, kedua, ini kesannya disimpul-simpulkan sendiri, kemudian takut-takut sendiri. Jadi, kayak orang menggambar setan, terus takut sama gambar itu. Konyol begitu, lo. La, kayak Forum Demokrasi (dipersoalkan), itu kan lucu. Katanya karena tidak terdaftar di Departemen Dalam Negeri. La, bagaimana mau terdaftar kalau dilihat dari latar belakangnya? Ini ada ceritanya.

Saya waktu itu diundang pertemuan dengan Kabakin, Wakabakin, empat deputi, sepuluh direktur, kurang apa coba? Nah, di sana, bicara-bicara tentang Forum Demokrasi, kanan-kiri, ngalor-ngidul. Lalu tercipta konsensus. Satu, Fordem bukan organisasi. Dua, dia bukanlah lembaga politik. Tiga, dia tidak punya anggota karena itu juga tidak punya pengurus. Empat, dia bukan atau tidak menjadi oposisi.

Lalu, kalau bukan organisasi, tidak punya pengurus, tidak punya anggota, lalu disuruh mendaftar, ini kan aneh? Ha-ha-ha… Dengan kata lain, mereka tidak ada koordinasi dengan Bakin rupanya. Padahal, hal itu sudah kami keluarkan di koran. Jadi, waktu habis ketemu dengan Bakin, saya omong di koran bahwa kami sudah ketemu, dan saya berjanji bahwa Forum Demokrasi akan tetap berpegang pada empat kriteria itu. Jadi, lucu sekali.

Apa mungkin karena menjelang pemilu ada ketakutan berlebih?

Di satu pihak mungkin. Di pihak lain, saya melihat tentang tidak jelasnya yang mereka mau itu apa. Jadi, istilahnya, asal aktif saja. Tapi, enggak jelas arahnya mau ke mana.

Soal kasus wawancara Uskup Belo?

Begini, ya, kita itu harus memperlakukan prinsip praduga tak bersalah. Sampai terbukti benar Uskup Belo bersalah, baru kita mau memproses bagaimana, terserah. Kedua, kita dalam menimbang Uskup Belo harus tahu baik dan buruknya orang itu. Satu sisi kebaikannya, yang saya rasa itu menjadi alasan dia menerima hadiah Nobel, adalah dia dengan usaha keras akhirnya berhasil membuat rakyat Timor Timur itu tidak terpengaruh Fretilin, sehingga tidak ngganggu tentara kita lagi. Dengan demikian, dia membuat konflik militer yang ada itu terhenti.

Nah, yang demikian itu kan berarti memperkecil kerugian dan korban. Walaupun bukan dia satu-satunya, dia punya pengaruh besar pada rakyat Timor Timur dalam hal ini. Jadi, sumbangannya tidak kecil tentu terhadap integrasi nasional.

Nah, masalah, dia juga sering bersikap kritis kepada pemerintah, terutama kepada ABRI. Ini kekurangan dia. Orang kan harus diambil kelebihan dan kekurangannya. Tapi, bagaimanapun sebagai putra Indonesia, dia telah menjunjung tinggi nama bangsa dengan memperoleh hadiah Nobel.

Anda menilai Belo pantas menerima hadiah Nobel?

Nnggak tahu, ya. Saya mau bilang pantas-enggak pantas, saya enggak kenal dia. Mempelajari secara mendalam pemikirannya juga enggak. Saya tahunya cuma itulah, peran dia.

Soal integrasi Timor Timur, menurut Anda, masih banyak PR?

Oh. ya, banyak. Terutama begini Klaim kedaulatan kita atas Timor Timur baru diterima oleh sejumlah negara. Mayoritas di PBB belum mau menerima hal itu. Jadi, itulah PR yang harus dikerjakan. Tentu saja orang punya alasan bermacam-macam. Di antaranya yang paling serius adalah masalah penentuan nasib sendiri yang dilakukan tahun 1975 di Timor Timur apakah itu sudah bisa dianggap memenuhi syarat atau tidak.

Di sinilah letak perbedaan antara kita dan mereka yang menolak kedaulatan kita itu. Tapi, persoalannya, bukan sekadar kita merasa benar, tapi bagamana peran kita itu dapat diterima orang lain. Nah, di sini harus ada kelenturan sikap dengan tetap berpegang pada prinsip. Kita ini sudah nggak lentur. Kita biasanya cuma marah dan diam. Jadi kurang efektif.

Sebetulnya, Horta itu nggak berhak mendapat Nobel. Dia dapat karena dia memanfaatkan kekakuan pemerintah kita saja. Dia bikin serangkaian insiatif yang kelihatannya seperti benar-benar serius. Dan, pemerintah kita selalu menolak. Dengan kata lain, kita kena dibodohin saja sama Horta.

Kasus Situbondo, apakah ada konflik agama dalam kasus ini?

Muatan agamanya sebenarnya sangat kecil, Yang terbesar, ya, muatan politiknya itu.

Ada yang memanfaatkan kasus itu untuk kepentingan politiknya sendiri?

Itu dibikin darı luar. Yang omong begitu Pangdam Brawijaya. Itu direncanakan. Rapatnya di Jember, itu kan di luar Situbondo. Yang kedua, Menteri Agama, dalam pembicaraan-pembicaraan pribadi dengan berbagai orang, menyatakan bahwa yang terlibat di Situbondo itu antara lain orang-orang Madura yang terusir dari Timor Timur dan yang mendapat laporannya dari daerah. Ada dua ratusan sepedamotor dengan pelat nomor “N”, itu kan Malang. Kalau di Situbondo kan “P”. Jadi, jelas itu ada unsur luar masuk.

Ada rekayasa pihak tertentu?

Ya, ya.

Apa ini langkah untuk mendiskreditkan NU?

Saya membacanya, yang melakukan (perusakan dan sebagainya itu) kira-kira tidak cukup satu pihak, tapi berbagai pihak dan ada tumpang-tindih kepentingan. Ada yang dalam rangka persaingan pusat-pusat kekuasaan itu sendiri, di pihak lain ada juga yang memang mau ngerjain NU, khususnya saya.

Siapa mereka itu?

Ya, enggak usah disebut namanya.

Katanya, ada juga yang khusus diberangkatkan dari Jakarta?

Saya malah enggak tahu. Kalau ada, ya, lebih lengkap lagi. Lebih lengkap skenarionya, dan lebih lengkap bahwa memang tidak hanya satu pihak. Ada juga yang memang datang dari Surabaya.

Tapi, itu enggak penting, siapa mereka itu nggak penting. Yang penting, ternyata kekukuhan masyarakat kita. Kemantapan bangsa kita cukup. Sehingga tidak mudah dimainkan atau digoyang oleh kejadian semacam itu, proyek-proyek semacam itu, Lihat saja, begitu terjadi, langsung kontak-kontak dijalankan. Langsung ada langkah-langkah untuk menetralisasi. Terakhir, KSAD datang ke Situbondo, tatap-muka dengan para ulama.

Tetap tak berniat berpolitik praktis?

Enggak perlu repot-repot Kerjanya NU, menurut muktamar, pertama adalah pendidikan. Yang kedua adalah dakwah. Yang ketiga adalah peningkatan taraf hidup sosial ekonomi warga. Kalau kami mengerjakan yang ketiga itu saja, pahalanya sudah banyak.

Kok, bisa bersikap selepas itu sebagai pimpinan ormas yang begitu besar…

Justru karena memimpin ormas yang besar, saya harus berani lepas. Kalau enggak berani lepas dan enggak berani tanggung risiko, kasihan yang dipimpin. Enggak jelas, enggak ada kemajuan.

Sebagai pemimpin ormas besar, Anda begitu sering bepergian, bagaimana dengan waktu untuk keluarga?

Ah, ya, ada. Yang penting itu bukan kuantitas, tapi kualitas. Anak-anak itu sadar banget apa yang saya ingini, apa yang saya kehendaki. Saya juga demikian. Lalu saling menyesuaikan. Anak saya kan aktif. giat dan enggak ada permasalahan yang pokok.

Mereka tidak mengeluh?

Ya, namanya anak, ya complain Kadang-kadang kangen, ya, complain. Tapi, mereka mengerti. Yang penting anak itu tidak merasa ditelantarkan, tidak merasa disepelekan. Kenapa? Setiap kali mereka membawa masalah, minta pertimbangan, minta duit, atau apa sajalah, kami memberi perhatian. Kami coba menyelesaikan masalah itu bersama.

Di rumah, sikap Anda bagaimana?

Saya itu memberikan kebebasan kepada mereka, mau apa saja, asalkan tahu persis, satu ini, dua itu. Ada hal-hal — di antaranya — pergi ke mana lewat jam sekian harus dikasih tahu di mananya. Kadang-kadang dilanggar, tapi harus ada alasan yang jelas. Yang kedua, pelajaran enggak boleh dilalaikan. Jadi, ada beberapa patokan. Dan, mereka disiplin mengikuti saya.  Tidak usah disuruh-suruh. Ada yang saya disiplinkan sekali, yaitu enggak boleh membedakan orang.

Bagaimana dengan Mbah Moeslim, yang katanya guru spiritual Anda?

Yah, enggak hanya Mbah Moeslim, banyak kiai. Di antaranya saya baru darı sana, Madura Ketemu Kiai Hamsad di Bangkalan. Ia ini pakai bakıak ke mana-mana. Jago silat, pakai bakiak. Kalau orang biasa pakai bakiak kan jatuh. Pengaruh Kiai Hamsad besar sekali Yang menjemput saya di pelauhan Kamal, 2.000 sepeda motor.

Diarak, dong?

Itu, sih, biasa. Orang NU, sih biasa. Pernah saya dikawal Landrover. Landrovernya jalan duluan. Di tengah jalan, Landrover itu kehabisan bensin, lalu beli bensin di pinggir jalan. Kami yang dikawal, sih terus saja jalan, ha-ha-ha…