Arab-Israel Perlu Bernegosiasi Kembali

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Keseimbangan teror antara bangsa Israel dan Palestina kini ada dalam kenyataan berikut: Hezbollah dan Israel sama-sama mengajukan klaim akan kemenangan politik mereka. Pemimpin Hezbollah mengklaim kemenangan dicapai dengan bukti pasukannya tidak hancur oleh serangan militer Israel ke Lebanon Selatan.

Israel juga mengajukan klaim meraih kemenangan karena tujuan yang diharapkan tercapai, yaitu menegakkan eksistensi Israel dari ancaman yang timbul akibat diculiknya seorang serdadu Israel Gilad Shalit oleh orang Palestina garis keras.

Dua pihak yang nyata-nyata mengalami kerugian dan menjadi korban akibat serangan militer Israel selama 34 hari itu pasti orang-orang sipil Lebanon di Beirut Selatan. Pemerintahan Ismail Haniyah yang juga pemimpin Hamas, yang kedudukan tawarnya tidak berubah, sedangkan beberapa menteri dan anggota parlemennya ditahan Israel.

Jika dikaitkan dengan adagium Von Clausewitz, ahli strategi perang Jerman dari masa lampau yang menyatakan, peperangan adalah kelanjutan dari perundingan yang gagal, dan perundingan adalah kelanjutan dari peperangan yang terhenti, maka pihak ketiga dalam sebuah konflik, baik militer, tokoh politik, atau lainnya, dapat “memaksakan” perundingan demi menghindari korban-korban lebih jauh.

Dalam perang Padri di Sumatera Barat tahun 1821-1837, Jenderal Belanda De Kock “memaksa” pihak ulama maupun kaum adat membuat permufakatan semu guna menghentikan peperangan tanpa mengubah keadaan terlalu banyak. Hasil dari permufakatan ini adalah kemenangan semu masing-masing pihak. Kalangan hukum adat merasa menguasai keadaan, antara lain dengan membuat masyarakat Minangkabau tetap memperoleh hak untuk melanjutkan sistem matriarchat (jalur keibuan) di dalam pembagian harta waris yang ditinggalkan si mati.

Sebaliknya, para ulama yang melaksanakan syariah pun mengajukan klaim, kini dalam masyarakat Minangkabau berlaku adagium: adat besandi syara’ dan syara’ basandi kitabullah. Adagium ini memungkinkan orang untuk meninggalkan hukum adat dan menggunakan hukum Islam/fikih.

Dengan demikian, warga Minangkabau dapat memilih antara kedua cara itu dalam pembagian waris di antara mereka. Padahal kini dalam lingkup Indonesia, ada faktor ketiga yang memungkinkan masyarakat Minangkabau memilih penggunaan hukum waris perdata nasional, baik di masa kini maupun masa depan.

Perkembangan hukum seperti ini merupakan sesuatu yang amat menarik. Ini tentu tergantung bentuk-bentuk perubahan di masa depan, termasuk konsep nagari dan otonomi daerah selanjutnya.

Tak ada perang lagi?

Kini, kita sedang menunggu sampai seberapa jauh pemerintahan PM Ismail Haniyah mencapai “hak-hak” yang dituntutnya dari Israel sebelum negosiasi antara pihaknya dan pihak Israel dapat dimulai.

Padahal sebelumnya pemenang pemilu di kalangan bangsa Palestina itu bersuara amat keras bahwa pemerintahan Persatuan Nasional di Palestina tidak akan mengakui Israel, tetapi pengakuan itu sendiri tetap diberikan oleh PLO/Gerakan Al-Fattah.

Demikian halnya dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert yang selalu meneriakkan tiga hal yang diisyaratkan Amerika Serikat, masyarakat Eropa, Rusia, dan PBB, yaitu pengakuan atas Israel, dihentikannya tindakan terorisme, dan dihormatinya hasil-hasil perundingan yang dicapai PLO selama ini.

Dari perkembangan keadaan saat ini, rasanya perang Israel-Hezbollah di Lebanon tidak akan pecah lagi. Maka, perdamaian yang “dipaksakan” oleh pasukan-pasukan PBB di Lebanon akan dapat dipertahankan.

Hal inilah yang paling maksimal dapat kita pertahankan. Kenyataan ini rasanya akan terjadi dalam waktu lama, diselingi hal-hal lain, baik dari tanah Palestina sendiri maupun luarnya.