Ruang Bagi Negosiasi

Sumber foto; https://willyaditya.com/efek-samping-demokrasi-kita/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

SIKAP hampir seluruh parpol peserta pemilu legislatif tahun 2004 sangatlah mengejutkan. Dengan pemungutan suara, mereka menolak hasil-hasil pemilu yang berlangsung pada tanggal 5 April 2004 itu. Segera dilakukan upaya demi upaya untuk menggoyangkan parpol-parpol tersebut dari sikap itu.

Namun, setelah dilakukan upaya demi upaya tidak formal untuk menggagalkan sikap itu, beberapa hari yang menentukan berjalan tanpa menggoyahkan tuntutan tersebut sama sekali. Dengan kata lain, rupanya tuntutan akan pergantian Ketua, Wakil Ketua, dan Sekjen Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan terjadi. Sekarang, bagaimana sikap orang-orang seperti penulis dalam hal ini? Penulis menganggap bahwa harus ada ruang untuk kompromi, dengan tidak memerlukan pihak mana pun dalam mencapai hasil akhir yang ingin kita capai.

Persoalannya terletak pada penerimaan kepada hasil pemilu legislatif itu sendiri. Dalam pandangan penulis, apa yang telah terjadi adalah merupakan pelajaran sangat pahit bagi kita sebagai bangsa. Namun, ini tidak dapat menghalangi sikap untuk menerima hasilnya sebagai kenyataan sejarah, jika ketiga orang pimpinan KPU itu digantikan oleh orang-orang yang kemudian hari dapat menjamin obyektivitas hasil pemilu itu sendiri. Di sinilah terletak sesuatu yang sangat penting bagi kita, yaitu demokratisasi sebagai sebuah proses sejarah, jika ia dapat dijamin dalam kehidupan kita di masa-masa yang akan datang, sudah cukuplah hal itu bagi kita. Namun yang terpenting dari proses tersebut adalah kita tidak memiliki rasa dendam atau sikap apa pun yang negatif kepada siapa pun dalam kehidupan sebagai bangsa.

Inilah inti dan proses sejarah yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa pada saat ini, dan di sinilah kita harus bertahan untuk memelihara keutuhan kita sebagai bangsa. Proses sejarah itu merupakan sesuatu yang membawa keberkahan bagi diri kita, karena kejadian demi kejadian tidak merupakan tahap-tahap yang berdiri sendiri, tetapi suatu rangkaian utuh dari masa yang sangat panjang untuk mencapai kedewasaan dan kematangan. Karena itu, kita tidak boleh membiarkan perkembangan demi perkembangan terganggu oleh kecenderungan masing-masing, yang justru akan memperlambat tercapainya demokrasi itu sendiri. Prinsip inilah yang harus mengarahkan kita dalam meniti perkembangan sejarah.

***

KETIKA Mohamad Hatta mencapai kesepakatan dengan pihak Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) akan kemerdekaan kita di tahun 1945, sangat banyak yang menentangnya, termasuk Bung Karno sahabat karibnya, dan teman seperjuangan. Bung Karno khawatir persetujuan melalui KMB akan memungkinkan pihak Belanda untuk menyalahi janji kemerdekaan dan kita akan dijajah kembali oleh Belanda. Di antara bukti yang dikemukakan adalah kenyataan Irian Barat masih “dipegang” Belanda. Dengan usaha yang sangat bersungguh-sungguh oleh para pejuang lainnya, dengan Trikora Bung Karno berhasil mengembalikan provinsi itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. Di sinilah terletak “keindahan” proses politik yang kita lalui 12 sampai 13 tahun waktu itu.

Kembalinya Irian Barat, dengan perjuangan Trikora ke tangan pangkuan Ibu Pertiwi, dimungkinkan karena Bung Karno dan kawan-kawan terlebih dahulu menerima hasil-hasil yang dicapai Bung Hatta melalui KMB itu. Memang ia tidak puas, tetapi belakangan apa yang terjadi memperkuat posisi kita sebagai bangsa yang merdeka. Inilah hal yang terpenting yang harus kita lakukan untuk kebesaran bangsa dan negara.

Karena itu dalam pandangan penulis, Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua sosok pejuang dan pemimpin yang membawa kita kepada kebesaran bangsa yang kita miliki dewasa ini. Sedetik pun, penulis tidak pernah menganggap kepemimpinan mereka sebagai sesuatu yang terpecah. Dua sejoli Bung Karno dan Bung Hatta adalah warisan sejarah yang sangat langka bagi bangsa kita, yang dalam pandangan penulis terkadang kurang dihargai dalam kehidupan bangsa kita.

Belum pernah penulis mendengar ada sebuah “museum” yang mengkhususkan diri pada perbedaan-perbedaan dan juga persamaan-persamaan antar-keduanya. Karena Bung Hatta kurang mendapatkan penghargaan dari pemerintahan Orde Baru dan Bung Karno dianggap sebagai tokoh yang harus dilupakan. Maka dengan sendirinya, harapan itu, yang sebenarnya sangat diperlukan oleh generasi muda bangsa kita, sampai hari ini tidak pernah terwujud.

Karena itu, penulis menganggap kita sebagai bangsa masih punya utang yang besar kepada mereka dan kawan-kawan seperjuangan mereka yang secara langsung, tanpa ada yang menentang peran salah seorang dari mereka, walaupun keduanya secara historis dan perspektif “pelengkap dan pendukung” menjadi pihak yang merupakan kawan seperjuangan. Kedewasaan kita untuk menumbuhkan rasa seperti itu akan sangat menentukan bagi bangsa ini.

***

DENGAN melihat perspektif jangka panjang itu, yaitu tegaknya demokrasi dari kehidupan politik kita, sangatlah penting untuk merumuskan di titik mana kita harus terus berjuang dan di titik mana pula kita harus berhenti untuk memperbaiki dan melakukan konsolidasi atas apa yang telah kita capai pada suatu tahap.

Di sinilah pengetahuan kita akan kekurangan yang ada dibutuhkan, sambil meyakini benarnya proses yang telah kita capai pada sewaktu-waktu. Kemampuan seperti ini membuat kita memahami sebuah kenyataan sejarah yang tidak hanya telah terjadi. Kalau kita sanggup memahami hal ini dan juga dengan konsolidasi, maka tumbuhlah kepemimpinan yang diperlukan untuk menyukseskan sebuah tahapan penting bagi bangsa kita. Karena, pada saat ini kita memerlukan konsolidasi hasil-hasil yang kita capai dalam menegakkan kehidupan politik yang demokratis. Tentu kita berbeda-beda pandangan mengenai hakikat kehidupan politik yang demokratis, namun dalam jangka panjang kita akan mencapai kompromi yang diterima semua pihak mengenai hal ini.

Nah, “kesediaan berhenti” untuk berkompromi dan merumuskan serta mengkonsolidasikan hasil-hasil sementara yang dicapai adalah tanda kedewasaan yang harus kita kembangkan dalam kehidupan kita dewasa ini. Ini adalah kenyataan ajaran orang yang dibimbing oleh pragmatisme politik, yang mungkin tidak sejalan dengan pendapat para idealis politik. Kedua kelompok ini sangat kita perlukan sekarang, dan ini harus kita akui sebagai kenyataan sejarah.

Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa sebuah proses politik sekecil apa pun, bukanlah sesuatu yang sederhana. Ia pernah ada dengan berbagai kemungkinan, yang harus kita perhitungkan dengan teliti. Mereka yang tidak mengerti politik sebenarnya, tetapi menganggap diri sebagai praktisi politik yang ulung, setelah gagal menyatakan bahwa dalam politik sikap orang harus berubah-ubah. Inilah yang menimbulkan kesan bahwa berpolitik adalah bertindak oportunistik dalam segala hal. Padahal, sebagaimana diterangkan di atas dalam tulisan ini, untuk menilai motif-motif tindakan politik yang kita ambil, tergantung kepada apa yang kita perbuat.

Kalau kita sekarang menginginkan dunia politik yang demokratis sudah tentu dengan jeli kita harus mengenal cara tercapainya hal itu, dan berhenti pada titik tersebut. Ini diperlukan untuk memantapkan kedudukan demokrasi itu sendiri, yang harus kita pelihara baik-baik dan kita jaga terus-menerus dari berbagai kecenderungan kita sendiri ini mudah dikatakan, namun sulit dijalankan bukan?