Program dan Kebijakan Pembangunan Berorientasi Budaya: Kasus Pesantren di Indonesia

Sumber Foto: https://www.islampos.com/pesantren-besar-indonesia-257966/

Tulisan ini merupakan terjemahan dari tulisan yang berjudul: Culture Oriented Development Policies and Programs: The Case of Pesantren in Indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam lima belas tahun terakhir ini, pesantren telah berkembang menjadi salah satu dari sangat sedikit lembaga pendidikan terkemuka yang secara aktif terlibat dalam usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan kaum miskin di Indonesia. Secara historis, ini bukanlah sebuah perkembangan yang aneh, karena lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini telah memainkan peran penting di luar batas-batas konvensional pendidikan. Para pemimpin perjuangan kemerdekaan bangsa ini pernah mengajar di sekolah-sekolah non-pemerintah sambil merintis karir politik mereka. Bahkan orang presiden negeri ini, Soekarno dan Soeharto, adalah guru sekolah pada awal-awal usia 20-an mereka.

Namun keterlibatan pesantren dalam kerja konkret perintisan, baik di desa maupun di dusun untuk meningkatkan kondisi kaum miskin tak dapat dijelaskan hanya dalam perspektif historis ini. Harus ada seperangkat motif atau kekuatan lain untuk membangkitkan keinginan guna menjalankan kegiatan-kegiatan yang secara konvensional terjadi di luar area pendidikan. Pokok ini akan makin jelas tatkala arah utama pembangunan nasional Indonesia pada dua dekade yang lalu juga ikut diperhitungkan. Empat PELITA menekankan diferensiasi yang jelas di antara bidang-bidang aktivitas pembangunan, untuk menghindari pemborosan biaya. Perbedaan yang menyolok ini menunjukkan betapa uniknya kenyelenehan pesantren dibandingkan kebijakan pembangunan nasional di bidang pendidikan yang lebih “normal”.

Pendorong pesantren untuk terlibat dalam pembangunan pedesaan terletak pada kepekaan umum dan komprehensif dalam unsur-unsur dasar pesantren sendiri sebagaimana telah dikembangkan di dalamnya selama sedikitnya 4 abad keberadaannya. Pesantren telah berkembang selama berabad-abad menjadi suatu “pusat belajar masyarakat” bagi rakyat secara luas. Demikianlah, pesantren telah mengembangkan sejak awal gaya kepemimpinan internalnya sendiri. Gaya kepemimpinan ini terutama berciri hubungan guru-murid yang ketat dan intens, berdasarkan pada doktrin emanasi (al-faid) sufi. Menurut doktrin ini, keagungan Allah memancar dari wajah-Nya, sebagai Cahaya Sejati (an-nur), dan membekas pada tipe-tipe orang seperti guru-guru tadi. Dengan berkhidmat kepada mereka dan mencontoh cara hidup mereka dari dekat, para murid tadi akan memperoleh keagungan pula sehingga mereka pun kelak dapat menjadi guru pula. Kepemimpinan ini, yang berdasarkan moral, secara alami berjalan seiring dengan kepemimpinan duniawi dari pemerintahan desa setempat. Jarang keduanya saling bertentangan, namun kepemimpinan pesantren tetap mempertahankan “hak” untuk melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat bagi komunitas tersebut sesuai dengan kebijakannya sendiri. Pada masa lalu, kepemimpinan pesantren membatasi hadits Nabi “Kefakiran nyaris membawa (orang) pada kekafiran (terhadap Allah)” menjadi sekadar usaha untuk menolong kaum miskin melalui aksi sedekah. Akan tetapi, pemahaman makro terhadap penyakit sosial membawa kepemimpinan pesantren untuk memperdalam pertanyaan mengenai akar masalah kemiskinan. Demikianlah kesadaran pesantren terhadap problem kemiskinan.

Elemen dasar pesantren yang lain-selain pola kepemimpinannya sendiri, yang juga terlibat dalam skema-skema pembangunan pedesaan adalah literatur universal yang diturunkan dari generasi ke generasi sejak dari periode-periode awal sejarah Islam di Timur Tengah. Kitab-kitab yang umurnya sudah ratusan tahun masih dipakai sebagai teks wajib di pesantren sampai saat ini. Kitab-kitab tersebut benar-benar telah usang dan sangat perlu diganti. Meskipun demikian, kitab-kitab klasik tersebut memberikan sesuatu yang bulat dan menyeluruh mengenai pandangan-pandangan terhadap kehidupan. Menjaga kehormatan manusia adalah topik utama dari teks-teks kuno tersebut, dan suatu peninggalan dari perilaku kemanusiaan masih dipertahankan dari tradisi luhur kemanusiaan yang didukung oleh Islam pada awal sejarahnya. Sebuah teks yang berusia 3 abad melukiskan suatu interpretasi unik tentang kewajiban umat Islam untuk berjihad, yang biasanya dianggap sebagai “kewajiban untuk melakukan perang suci”. Menurut teks ini, l’ânah ath-Thâlibîn, tugas umat Islam bukanlah untuk melakukan perang fisik, tapi untuk memberantas kekurangan gizi, menyediakan pakaian dan tempat tinggal, serta mengurus biaya medis bagi mereka yang memerlukan bantuan, baik terhadap orang Islam maupn non-Islam yang hidup dalam suatu komunitas yang sama.

Terbiasa dengan interpretasi membumi tentang kewajiban agama, sebagaimana yang tercantum dalam teks-teks klasik tadi, dengan mudah menyadarkan keterlibatan pesantren dalam skema-skema untuk menolong orang-orang miskin. Bukan hanya keputusan-keputusan yurisprudensial yang terkandung di dalamnya yang akan dapat memengaruhi perilaku orang-orang pesantren terhadap kondisi kemiskinan, tapi juga kerangka berpikir metodologis yang digunakan untuk menguasai ilmu agama menyediakan hal yang sama. Salah satu dari kaidah fiqh yang sering digunakan di dalam pesantren adalah “kebijakan seorang pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya hendaklah mencerminkan kesejahteraan mereka”, sesungguhnya merefleksikan rasa tanggung jawab bagi situasi orang-orang miskin. Sementara keprihatinan ini mengarahkan kegiatan orang-orang pesantren pada menolong Program dan kaum papa dalam bentuk sedekah pada saat-saat awalnya, kesadaran para pemimpin pesantren terhadap hal ini mulai berubah dan 15 tahun lalu menjadi pemikiran bagaimana caranya mengatasi penyebab kemiskinan, dibandingkan hanya sekadar ditujukan pada gejala-gejalanya saja. Kesadaran tersebut kini tercermin dalam pembentukan jaringan kerja untuk menangani problem ini dengan cara yang lebih komprehensif.

Contoh langsung mengenai bagaimana para pemimpin Islam yang saleh di masa lalu, yang bergaul dengan rakyat dengan cara yang egaliter–sebagaimana digambarkan dalam teks-teks klasik yang digunakan–juga memengaruhi pesantren secara mendalam, terutama karena mereka mendukung model-model “kesalehan praktis” yang bukan saja mengambil bentuk kezuhudan saja, namun lebih menekankan pada bagaimana amal saleh mesti diimplementasikan untuk menolong orang lain, yang kurang beruntung. Kesalehan seperti ini, yang lebih merefleksikan aktivitas sosial dibandingkan khusuk dalam dzikir, berasal dari teks-teks klasik tentang para sufi muslim awal seperti Al-Junaid, Rabi’ah, dan Abdul Qadir Jailani. Teks semacam Hulliyah al-Awliya’ banyak berisikan cerita bagaimana kaum papa dipandang lebih mulia di hadapan Allah, karena kesabaran mereka dalam menanggung kesulitan hidup tanpa kehilangan harga diri mereka.

Elemen dasar pesantren lainnya yang berhubungan dengan keterlibatannya dalam pembangunan pedesaan untuk memberantas kemiskinan adalah sistem nilainya sendiri. Dipandu oleh tradisi yang telah terbentuk selama berabad-abad, pola kepemimpinan yang unik dan penggunaan literatur universal yang dimilikinya, sistem nilai pesantren merefleksikan perhatian yang mendalam dan keprihatinan yang tiada henti-hentinya terhadap para anggota masyarakat secara individual. Mereka adalah insan-insan yang memiliki kelemahan dan problem-problemnya sendiri. Tugas Islam, menurut sistem nilai ini, adalah untuk membantu mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut dan menyelesaikan problem-problem tadi. Sementara itu, di masa lalu, problem-problem utamanya adalah di sekitar membina moral mereka secara individual, keprihatinan para pemimpin pesantren sejak 5 tahun yang lalu mulai berkembang pada suatu kesadaran akan adanya kaitan yang kuat antara kemiskinan dan moralitas.

Nilai-nilai standar yang dijunjung tinggi oleh umat Islam sejarah Islam terefleksikan dalam sistem nilai pesantren. Penekanan atas tolong-menolong (ta’awun, mu’awanah) dalam kehidupan sehari-hari, berbuat baik (amâl al-khair) kepada orang lain, dan solidaritas (tadamun), adalah di antara nilai-nilai yang dijunjung tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan pesantren. Nilai-nilai tadi membawa pesantren pada berbagai bentuk kesadaran sosial, yang mencapai titik puncaknya keinginan kuat sekarang ini untuk melakukan perubahan sosial dalam skala yang luas. Persepsi ini merefleksikan juga pada pengembangan konsep lama tentang kedermawanan (al-Bir) menjadi suatu pemahaman hubungan sosial yang lebih kompleks dibandingkan sekadar konsep mekanis tentang nasib manusia sebagai suatu harga mati dari “sebagian orang beruntung sementara sebagian yang lain tidak begitu beruntung” yang lazim sebelumnya, yang berasal dari mayoritas kepercayaan orang Islam mengenai takdir. Perubahan-perubahan hanya berasal dari intervensi Allah (al-Qadla), menurut doktrin ini, yang membundel jadi satu takdir manusia dan intervensi Allah sebagai cabang iman yang keenam (dan terakhir) dari mayoritas kaum Sunni, sebagai kontras atas konsep keadilan (al-‘Adalah) kaum Syi’ah dan Mu’tazilah sebagai salah satu dari 5 cabang iman. Konsep Syi’ah ini menentukan perlunya intervensi manusia untuk mengubah nasibnya, dibandingkan hanya semata-mata menunggu intervensi Allah. Meskipun demikian, konsep iman Sunni tidaklah seluruhnya menafikan perlunya intervensi manusia. Intervensi seperti ini merupakan hasil yang logis dari seruan Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, tegakkanlah keadilan (al-Qist) meskipun kalian dirugikan”. Keadilan, menurut konsep ini, berarti tindakan-tindakan pengganti untuk menegakkan ketidakseimbangan atau segala kerugian materi atau fisik.

Aspek penting lain dari “asal usul kultural” keterlibatan pesantren dalam pembangunan pedesaan adalah pertaliannya yang kuat dengan berbagai bentuk tradisi lokal solidaritas sosial dengan masyarakat umum. Di Jawa, di mana sebagian besar pesantren berada, tradisi “kemiskinan yang terbagi”, sebagaimana disebut oleh antropolog Amerika terkemuka, Clifford Geertz, pada akhir tahun 50-an, masih dipelihara. Menurut teori ini, ketidakmampuan tanah untuk menyokong usaha-usaha peningkatan hasil pertanian-tahapan yang oleh Geertz disebut sebagai taraf agricultural involution atau stagnasi-memerlukan adanya suatu bentuk pembagian produk pertanian, yang dihasilkan melalui cara-cara yang ekonomis dan sarana-sarana kultural. Panen dilakukan dengan cara memobilisasi kaum perempuan dan anak-anak untuk merontokkan bulir-bulir padi dengan menggunakan alat khusus yang disebut ani-ani, di mana setiap pekerja memperoleh imbalan atas jerih payahnya dengan sejumlah bulir padi yang dipanen. Ini memastikan bahwa para pemilik tanah mendapat lebih sedikit dari tanahnya dibandingkan dengan langsung mempekerjakan para buruh tani. Pembagian ini tercermin lebih jauh dalam tradisi selametan, yaitu orang kaya memberikan makanan bagi para tetangganya beberapa kali dalam setahun, sesuai dengan siklus peristiwa-peristiwa yang telah terjadwal dan dihormati selama berabad-abad.

Pesantren berpartisipasi aktif dalam seting sosial ini, karena para pemimpin pesantren (kiai atau ajengan) biasanya memimpin selametan-selametan tersebut dan melerai perselisihan dalam pembagian yang adil mengenai pekerjaan-pekerjaan umum di antara para petani penggarap tadi (disebut gogol) dan keluarga mereka. Para kiai juga berfungsi mengurusi kehidupan keluarga para petani miskin tersebut dengan cara memberikan pengobatan tradisional bagi yang sakit, menemani keluarga yang sedang mengalami musibah kematian, menentukan “hari-hari baik” untuk memulai menentukan suatu aktivitas (misal: membangun rumah, memulai saat musim tanam, dan sebagainya). Para kiai tadi bahkan ikut menyelesaikan antara para pemilik tanah dengan para petani penggarapnya, yang mana di masa lalu mengarah pada beberapa kasus di mana para kiai memimpin para petani penggarap tanah tadi untuk mengusir para pemilik tanah dari tanah yang disengketakan. Biasanya bentuk ekstrim dari konflik manajemen ini berakhir dengan sangat fatal bagi para kiai, karena pemerintah selalu berpihak pada para pemilik tanah. Hal ini menjelaskan mengapa pada paro kedua abad terakhir ini saja ratusan pemberontakan berskala lokal terhadap penguasa kolonial terjadi di bawah kepemimpinan para kiai di Jawa, sebagai kelanjutan dari penyelesaian perselisihan yang tidak memuaskan dengan keluarga-keluarga besar atau kelompok-kelompok pemilik tanah. Kurangnya suatu kerangka berpikir makro dari pemberontakan-pemberontakan yang singkat dan terputus-putus tadi tampak sekali, karena hanya tumbuh dari kemarahan lokal saja. Apa yang penting dari bentuk keterlibatan kiai pesantren tersebut adalah bahwa pesantren telah dan masih terlibat secara mendalam dalam masalah-masalah komunitas pertanian di tingkat desa dan dusun.

Untuk mengetahui mengapa pesantren melibatkan diri dengan cara yang nekat dalam masalah-masalah para petani miskin dan pedagang kecil adalah satu hal, dan untuk mengetahui segi-segi lain dari keterlibatan tadi adalah hal lain. Yang pertama dapat dirasakan dari pendekatan historis, dengan menggunakan pengamatan mengenai berbagai fungsi pesantren di masa lalu. Namun untuk mengetahui segi-segi penting keterlibatan pesantren dalam kehidupan komunitas secara signifikan berarti mesti melakukan suatu tinjauan yang lebih dekat atas keadaan pesantren saat ini.

Kini pesantren sedang menghadapi serangan gencar dari usaha-usaha untuk “memodernisasi” pendidikan di wilayah pedesaan. Pendidikan menjadi suatu usaha yang masif dan dapat dikatakan mahal. Meski pemerintah berkewajiban untuk membangun dan membiayai sekolah-sekolah lokal dalam jumlah yang banyak, satu sisi dari hal itu masih ditanggung oleh penduduk setempat: menjamin kelanjutan pendidikan anak-anak mereka setelah menyelesaikan pendidikan dasar di desa-desa mereka. Banyaknya anak yang putus sekolah dan demikian pula halnya dengan mereka yang hanya menyelesaikan jenjang pendidikan terendah di wilayah-wilayah pedesaan adalah saksi dari situasi yang menyedihkan ini. Bagaimana memberdayakan para pemuda yang tidak terdidik dan setengah terdidik di wilayah-wilayah pedesaan ini menjadi keprihatinan mendalam yang terus meningkat di kalangan para pemimpin komunitas di tingkat desa dan dusun, termasuk sebabnya mengapa para mereka kiai pesantren. Itulah cepat menerima gagasan pelatihan ketrampilan yang diperkenalkan pada pesantren-pesantren oleh Menteri Agama, A. Mukti Ali, pada awal tahun 70-an.

Namun harapan dari para kiai pesantren tadi segera pupus ketika menghadapi kenyataan bahwa solusi semacam ini tidak berjalan. Program pelatihan ketrampilan ternyata belum mampu menyediakan peluang kerja dan pendapatan bagi para pemuda desa tatkala pasar tenaga kerja disesaki dengan hampir 10 juta penganggur. Kesadaran ini menggiring beberapa kiai pesantren pada skema-skema sosial yang lebih komprehensif dan transformatif, seperti dalam berbagai konsep mengenai pembangunan komunitas. Kini sekitar 10% pesantren di Indonesia berpartisipasi dalam salah satu jenis pembangunan komunitas. Jaringan-jaringan kelompok petani pada tingkat yang paling rendah dibentuk di daerah-daerah terpencil yang sampai saat ini belum terjangkau oleh orang luar. Kini para pekerja pembangunan dari daerah perkotaan menjelajahi dengan bebas daerah sekitar mereka, untuk melakukan pelatihan dan atau jasa-jasa teknis kepada para petani tadi. Jaringan kerja juga terjalin di antara pesantren-pesantren sendiri, untuk menjamin pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat pedesaan.

Meskipun demikian, keterlibatan institusional dalam pembangunan pedesaan ini menghadapi tantangan-tantangan. Tanggapan pesantren terhadap tersebut akan menentukan tidak hanya keterlibatannya lebih jauh dalam pembangunan pedesaan, namun juga masa depan pesantren sendiri sebagai suatu lembaga pendidikan yang aktif. Suatu kegagalan untuk menanggapi secara tepat atas suatu jenis tantangan pasti akan menurunkan fungsi pesantren sendiri dalam masing-masing aspek tersebut. Apabila terdapat cukup banyak aspek khusus dari kehidupan pesantren yang menurun maka terbukalah jalan pintas menuju kematian bagi pesantren.

Tantangan pertama berbentuk gangguan dari konsep-konsep lama kehidupan komunitas di wilayah pedesaan, terutama pada tingkat desa dan dusun. Agricultural involution (involusi pertanian) tidak lagi menjadi masalah utama di wilayah pedesaan, karena telah adanya terobosan sosial dan teknis di kepulauan Indonesia saat ini. Penggunaan pestisida yang masif dan varietas bibit unggul memungkinkan para petani untuk mencapai hasil panen yang di masa lalu tak pernah terbayangkan. Asosiasi-asosiasi petani telah dibentuk oleh pemerintah, didukung oleh asosiasi- asosiasi prakooperatif dan kooperatif yang didirikan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para petani tadi. Meski bersifat kooperatif secara ideologis, tantangan nyata dihadapi oleh usaha-usaha tadi untuk membebaskan wilayah-wilayah pedesaan secara sosioekonomis dan sosio-politik. Bagaimana tanggapan pesantren terhadap tantangan ini merupakan hal yang krusial, bukan hanya bagi para petani yang kini mereka layani, tapi juga peran mereka lebih jauh dalam pembangunan pedesaan di masa depan.

Tantangan yang lain adalah bagaimana mengembangkan wawasan-wawasan kebebasan ideologis dalam mengemukakan kepentingan-kepentingan rakyat miskin di antara para pemimpin pesantren, mengingat bahwa pesantren sendiri merupakan sebuah lembaga pendidikan, bukan suatu asosiasi politik. Dalam usaha-usahanya menghasilkan transformasi sosial di wilayah pedesaan, pesantren sendiri harus melakukan transformasi ke dalam. Tidak cukup untuk menyediakan keahlian teknis dan kemampuan berorganisasi bagi para petani, sementara bagi pesantren sendiri tidak mengembangkan kerangka-kerangka berpikir makronya bagi masa depan bangsa. Pelajaran sejarah dari masa lalu, ketika para kiai pesantren memimpin perlawanan-perlawanan lokal jangka pendek dan terputus-putus tanpa disertai dengan kerangka berpikir politik yang jelas namun hanya didorong oleh perasaan kasihan semata, tidaklah cukup untuk mengatasi pentingnya rencana pembangunan nasional berkelanjutan (Repelita) yang diimplementasikan oleh pemerintah. Suatu sikap menolak total terhadap rencana pembangunan pemerintah tentu saja tidak bijaksana. Suatu penerimaan yang selektif, sambil mengembangkan pendekatan-pendekatan yang berbeda terhadap berbagai segi kehidupan secara kreatif, yang biasanya kurang dari rencana-rencana pembangunan nasional tadi, tampak lebih menjanjikan dan tepat bagi pesantren. Apa yang disebut strategi pembangunan bottom-to-top hendaknya dikembangkan oleh pesantren dengan pemanfaatan yang spesifik, berdasarkan falsafah sosial yang jelas yang diambil dari ajaran-ajaran Islam yang telah dijunjung selama berabad-abad yang lalu. Namun yang menjadi tanda tanya besar adalah apakah pesantren mampu memformulasikan strategi tersebut.

Masih ada tantangan lain yang kini terbayang meluas di cakrawala pesantren. Keprihatinan agama apa yang mesti dikembangkan oleh pesantren? Terus dengan sikapnya yang sekarang ini mengenai “hidup berdampingan dengan damai” dengan agama-agama dan tradisi-tradisi spiritual yang lain, atau untuk mengintegrasikan dirinya sendiri ke dalam suatu “kasih sayang umum” yang dipegang oleh berbagai agama dan tradisi-tradisi spiritual tadi berdasarkan martabat kemanusiaan, kesetaraan terhadap sesama, dan lain-lain? Mampukah para kiai pesantren mengatasi sikap “ketidak acuhan” mereka dalam memberi perhatian penuh bagi para pencari “teologi yang benar” untuk membebaskan rakyat dari budaya bisu kemiskinan dan kesabaran yang pasif di depan penaklukan politik pada masa lalu sehingga mereka dapat mengenali kesulitan mereka sendiri sebagaimana menyadari pula akan sumber-sumber alam yang ada di daerah mereka, yang pada gilirannya nanti dapat memberdayakan mereka untuk menguraikan skala prioritas yang diperlukan untuk taraf hidup mereka secara mendasar.

Melihat warisan pesantren dari masa lalu, tanggapan-tanggapan awalnya terhadap situasi yang sedang berlangsung dan tantangan-tantangan yang dihadapi kini, kita dapat mengatakan bahwa pesantren telah memasuki suatu era peluang yang murni untuk berpartisipasi dalam suatu transformasi sosial yang fundamental dalam masa depan Indonesia. Suatu tugas mulia, meskipun sulit, tak dapat disangkal ditempa dengan kekecewaan-kekecewaan yang perih jika dinilai dari tinjauan sejarah. Hanya yang kuat saja yang berhak menjalankan tugas tersebut sebagaimana merasakan pahitnya kekecewaan-kekecewaan tadi.