Kata Pengantar: На На Hi Hi, Kiai Atawa Seniman

Oleh K.H. Abdurrahman Wahid
Ernest Hemingway pernah menulis, bahwa keberanian adalah rahmat di bawah tekanan (courage is grace under pressure). Nah, penyajian kali ini oleh saudaraku A. Mustofa Bisri adalah bukti adanya keberanian seperti itu, baik keberanian penyunting cerita-cerita yang dimuat maupun para pengarangnya. Keberanian untuk menertawakan diri sendiri, dan keberanian untuk menempatkan masalah manusia sebagai titik pusat perhatian. Keberanian itu sendiri dimiliki dalam “dosis/takaran” begitu rupa, hingga tidak melanggar syariat Islamiah.
Tetapi, ia diperlukan untuk membebaskan manusia dari kungkungan para penafsir syariat, tanpa menyadari bahwa konsep yang digunakan dalam hal ini haruslah ditafsirkan secara lentur. Dengan ungkapan lain, syariat Islam harus diterapkan tidak hanya secara harfi saja, melainkan dengan mempertimbangkan kondisi manusia secara pribadi.
Inilah yang dimaksudkan oleh sejumlah ketentuan dalam ushul fiqh (teori hukum Islam) dan qawa ‘idul fiqh (ungkapan-ungkapan/maxims hukum Islam), seperti, “segala sesuatu sesuai dengan maksudnya” (al-umur bi maqashidiha), “mencegah kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawa kebaikan” (dar’ul mafâsid muqaddam ‘ala jalbil mashalih) – dan, “sesuatu hukum agama tergantung ada atau tidaknya sebab-sebab yang dimilikinya” (al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman).
Kemampuan memahami hakikat syariat Islamiah secara tepat inilah yang tampak dalam begitu banyak tulisan-tulisan yang disunting dalam buku ini. Istilah yang digunakan dalam menunjuk pada kemampuan ini, yaitu kata “kearifan” yang tampak sangat menonjol dalam kisah-kisah yang diceritakannya. Keberanian menunjuk pada kearifan tersebut sangatlah menarik, baik di pihak peyuntingnya maupun pembuat cerita itu sendiri, merupakan bukti adanya keberanian seperti itu.
***
Tetapi sayangnya, baik sang penyunting maupun penutur cerita pada awalnya, hanya melihat ketokohan Nabi Muhammad Saw. pada sisi kesempurnaannya. Tapi, ini dapat dimengerti, karena mana ada bawahan mengkritik atasan? Lain halnya dengan Allah Swt, yang menjadi atasan beliau. Karena itu, kitab suci Al-Quran berani mengkritik beliau dalam kasus penyambutan seorang buta. Bahwa, tidak ada manusia berani mengkritik Nabi dan hanya Allah yang berani melakukannya, adalah sesuatu yang manusiawi. Bukankah Allah bukan manusia (laisa kamitslihi syaiun) sedangkan yang lain hanyalah manusia belaka, adalah sesuatu yang sangat manusiawi juga.
Tetapi sebaliknya, adanya kritikan halus yang tampak tersirat dalam semua cerita yang disunting buku ini, menunjukkan kepekaan sosial yang sangat tinggi. Nabi Saw., yang memeluk Zahir dari belakang, mengajukan kritikan halus tapi tajam-bahwa, struktur sosial telah memisahkan seorang anak manusia dari anak manusia lain. Kisah si cantik dan suami yang sangat buruk rupanya, menunjukkan kekeliruan masyarakat dalam memberlakukan sebuah ukuran dan melupakan ukuran yang lain. Kisah interupsi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkandung di dalamnya kritikan sangat tajam tetapi halus akan arogansi lembaga perwakilan kita di saat penyuntingan buku ini.
Kritikan halus yang menunjukkan kearifan para sufi kita, justru merupakan sesuatu yang sangat segar dalam menilai sistem politik kita yang sudah sedemikian busuk. Hanyalah dengan kiasan-kiasan, tamsil dan contoh-contoh dari zaman dahulu diajukanlah kritik terhadap sistem politik yang bobrok itu. Tentunya, diperlukan waktu yang lama sekali untuk memperbaiki hal itu jangan-jangan tak cukup satu generasi anak manusia. Di saat-saat seperti inilah diperlukan kearifan para sufi dan keberanian moral para dalang untuk tak berbicara tentang ceramah sang mubaligh atau ucapan seorang pendeta di hadapan konggregasinya. Para penganjur tradisional inilah yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan ini.
***
Seorang jenderal yang menjadi kepala Gabungan Kepala-Kepala Staf Amerika Serikat (AS) berkunjung ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ia dan rombongan disambut oleh tokoh-tokoh teras angkatan perang Tiongkok di lapangan terbang Beijing. Mereka membawa penerjemah Cina yang menerjemahkan uraian panjang lebar sang jenderal AS itu dengan terjemahan yang sangat pendek. “Anda menerjemahkan sangat efisien dengan hanya dua kalimat berbahasa Cina, dalam menerjemahkan uraian saya yang penuh humor dengan panjang lebar,” kata sang jenderal tersebut. “Apa kalimat terjemahan Anda itu?” Kalimat terjemahan itu berbunyi, “Orang ini bercerita tentang hal-hal yang lucu. Harap tertawa,” jawab sang penerjemah dengan tenang. Ini semua menunjukkan adanya dua ukuran berbeda yang harus dipahami secara bijaksana.
Seorang penumpang kereta api Gaya Baru-di zaman orde baru (Orba), mendapati WC di gerbongnya yang penuh orang, padahal ia ingin buang air kecil. Ia membatalkan buang air kecil di stasiun Kertosono karena takut ditinggal kereta api. Lama kelamaan ia pun tak kuat menahan keinginan buang air kecil itu hingga di tempat pemberhentian berikutnya, setasiun Madiun, ia langsung turun dan berjongkok membuang air kecil di belakang gerbong-tepatnya, antara dua rel kereta api. Tentu saja pegawai stasiun kereta api marah atas ulahnya. “Pak, kalau mau buang air kecil di tempat yang jauh sana,” ujarnya sambil menunjuk tempat WC di kejauhan. Jawab orang itu dengan tangkas, “Masak dari Surabaya ke Madiun masih kurang jauh?” Jelas dalam hal ini terdapat perbedaan ukuran dan pengertian antarmereka tentang kata “jauh” itu. Nah, cerita-cerita dalam buku ini justru menampilkan pengertian lain dari apa yang biasa diikuti orang tentang hubungan antara Allah dan manusia.
Jelaslah dengan demikian, membaca hal-hal lucu dalam buku ini mempunyai keharusan lain pula; memahami hubungan manusia dan agama, serta hubungan agama dan Allah Swt. Pemahaman lengkap yang tidak sepihak itu adalah apa yang dimaksudkan oleh cerita-cerita dalam suntingan yang dimuat dalam buku ini. Barang siapa mengenal dirinya, (kelak) akan mengenal Tuhannya (man’arafa nafsah, ‘arafa Rabbah), demikian bunyi hadis Nabi Muhammad Saw. Dalam kaitan dengan ucapan beliau itulah harus kita pahami humor yang disunting kiai kita ini dalam segala kekaburannya. Benarkah suntingan seorang kiai atau seorang seniman?