Beda dalam Cara Sama dalam Tujuan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Berikut ini rekaman kata sambutan Gus Dur dalam peringatan Asyura 1414 akhir Juni lalu, yang diadakan oleh Forum Silaturahmi ahlul-Bait (Syiah) di Masjid Al-Munawaroh Ciganjur. Banyak terungkap fakta sejarah Islam Indonesia yang baru. Dari sini kita juga tahu bagaimana Ketua Umum PBNU itu menyikapi Syiah.
Di masjid Al-Munawaroh ini, diadakan peringatan malam Asyura. Artinya hari ke-10 bulan Muharam. Yaitu peringatan gugurnya Sayyidina Husain Bin Sayyidina Ali. Hari yang senantiasa diperingati kaum muslimin dengan cara masing-masing. Di daerah ini, musola-musola dan masjid-masjid memperingati dengan cara membacakan ayat Kursi 50 kali. Sekarang giliran Forum Silaturahmi Ahlul-Bait.
Ini pertama kali, kami memperoleh penghormatan dari Forum Silaturahmi Ahlul-Bait yang menyelenggarakan peringatan tersebut. Banyak warga jamaah masjid Al-Munawarroh baru pertama kali ini bertemu dengan kawan-kawan yang begitu datang saja sudah berbeda tongkrongannya. Memakai baju hitam sebagi tanda berkabung atas gugurnya Imam Husain. Ini hanya karena belum kenal saja, maka terasa kaku. Kalau sudah kenal, lama-lama tidak masalah. Sebab dua-duanya mempunyai sisi yang baik. Jamaah masjid Al-Munawaroh menghormati keluarga Nabi besar Muhammad SAW. Mereka tidak pernah melupakan keluarga itu karena merupakan ajaran yang telah diwariskan turun temurun.
Demikian pula di daerah lain di Indonesia, walaupun bermazab Sunni, tetap menghormati dan memberikan tempat yang setinggi-tingginya kepada Ahlul-Bait. Dzuriyatur-rasul di kalangan kaum muslim di Indonesia merupakan orang-orang pilihan yang dihormati. Para habaib, para syurofa dihormati sebagai upaya memperoleh barakah dari orang yang membawa agama Islam yang sampai kepada kita semua.
Dengan meminta doa dari para habaib dan ulama besar, kita mengharap syafaat dari junjungan kita itu. Memang ada tekanan yang berbeda pada kami di Indonesia. Selama ini kami tidak pernah merayakan Asyura secara terbuka. Sikap itu didorong oleh keinginan untuk memelihara persatuan kaum muslimin sekuat mungkin, mengingat sejarah Islam itu penuh dengan perpecahan-perpecahan.
Tetapi kita juga mengakui saudara-saudara yang memaparkan kebenaran, bahwa kezaliman tidak dapat dibiarkan terus-menerus. Bahkan muslim yang dihormati sekalipun kalau melakukan kesalahan dan mengerjakan ketidakadilan harus dilawan. Di satu sisi dipelihara keutuhan dan kesatuan kita, agar supaya nilai-nilai Islam dapat berkembang dalam kehidupan dengan sebaik-baiknya, ibadah dapat ditegakkan sebagai wujud dari ketundukan kita pada Allah SWT, jaminan bahwa Islam dilaksanakan dalam keadaan masyarakat mengalami kemantapan hidup.
Dorongan dan gema keinginan bersatu inilah yang menyelimuti kehidupan kaum muslimin selama ini. Tetapi, kalau memang kita kaum muslimin yang benar, maka ukuran kita adalah nilai-nilai agama, berlangsungnya ibadah dengan benar, dan tegaknya keadilan.
Kalau ukuran-ukuran itu yang kita pakai, tentu kita sejalan dengan kawan-kawan yang menegakkan keadilan dan secara terbuka menginginkan adanya keadilan. Ini wajar-wajar saja. Memang berbeda cara dan pendekatan walaupun kejujuran kepada nilai-nilai Islam membuat orang harus sama pendiriannya.
Oleh karena itu, kita melihat cara merayakan Asyura berbeda. Tetapi inti atau isinya sama. Yaitu, keprihatinan kita kepada keadaan tidak adil, kezaliman, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan kaum muslimin. Namun juga sebagai kesaksian bahwa kaum muslimin tetap akan menegakkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Di sini saya berbicara mengenai tempat di mana kita tinggal, yakni di bumi Indonesia. Kalau sudah kita jalankan keinginan dan kejujuran mengenai Islam yang adil, yang benar, dan yang didasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang paling sejati, maka timbul pertanyaan bagaimana pelaksanaannya di Indonesia? Jawabnya sama, kita semua wajib menegakkan hal-hal itu di bumi kita tercinta.
Lalu jenis Islam apa yang harus kita tegakkan? Yakni, Islam yang adil dan yang benar. Islam yang adil dan benar itu yang mana? Yaitu, Islam yang masih berpegang kepada nilai-nilai Islam. Islam yang membela kebenaran dan keadilan. Islam yang mampu mengangkat derajat rakyat, derajat orang kecil, sehingga semua kaum muslimin berkedudukan sama dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kalau ada perbedaan, maka perbedaan itu sekedar perbedaan fungsi dan peranan. Imamah berada di tangan orang-orang yang berhak. Tapi yang memegang imamah pun harus mengikuti ajaran agama secara tuntas dan membuat dia sama dengan yang lain di dalam ketuntasan melaksanakan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Jadi persamaannya adalah dalam bagaimana kita melaksanakan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntutan Islam. Kalau demikian, maka Islam yang ada di sini bermacam-macam. Ada Islam yang tidak dari gerakan Islam, dan ada Islam yang dari gerakan Islam. Bagaimana dengan saudara-saudara kita kaum muslimin yang tidak berasal dari gerakan Islam?
Contoh dari gerakan Marhaen, dan dari gerakan kerakyatan lainnya. Selama masih percaya kepada nilai-nilai Islam yang abadi, percaya bahwa Islam menegakkan kebenaran, menegakkan keadilan — tidak perduli perbedaan-perbedaan organisatoris, perbedaan perkauman, dan perbedaan perkumpulan — semuanya adalah Islam yang setaraf, sama tinggi dan sama rendah.
Bagaimana yang dalam gerakan Islam? Ada yang Sunni (Sunniyun) dan ada yang Syiah (Syi’iyyun). Karena keduanya sesama muslim, maka kedudukannya sama. Sama-sama punya hak untuk turut mengisi kiprah perjuangan kebenaran dan kiprah perjuangan keadilan. Jadi dengan demikian, yang menyamakan kita itulah yang menyatukan kita. Dan itu berarti bagaimana kita mengisi hidup ini dengan nilai-nilai keislaman yang kita yakini.
Kita sudah tahu bahwa kita harus melaksanakan rukun Islam. Kita harus melaksanakan ibadah mahdoh ataupun ibadah sosial. Kita harus menegakkan masyarakat yang benar-benar mewakili citra Islam. Bukan masyarakat yang justru terpengaruh karena terombang-ambing dan Islam yang lepas dari bumi kenyataan hidup, yang dibebaskan oleh mimpi-mimpi materialistik yang penuh kesenangan-kesenangan. Bukannya Islam yang tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan rakyat, melainkan Islam yang mempunyai keprihatinan terhadap nasib mereka.
Ini yang menjadi ukuran kita. Karenanya kita merasa gembira, bahwa kawan-kawan dari Forum Silaturahmi Ahlul-Bait berada di sini di masjid Al-Munawaroh. Ini masjid orang-orang kampung. Kiainya bernama Pak Hasyim. Beliau panggilan sehari-harinya Wan Hasyim pemimpin jamaah di sini. Dia biasa-biasa saja. Beliau tidak mempelajari teori yang muluk-muluk, cuma mencoba menerapkan Islam apa adanya. Beliau membuat Darul Aitam, memimpin pengajian-pengajian, mengawasi ibadah orang banyak jangan sampai keliru, menegakkan akhlakul karimah di kalangan warga sini yang sedapat mungkin mencoba menciptakan solidaritas kesetiakawanan sesama warga muslimin di sini. Kalau ada yang kena musibah atau kesusahan didatangi, ditolong atau dikubur. Inilah Wan Hasyim dengan teman-temannya di sini.
Saya sendiri cuma pendatang baru. Belum setahun. Kebetulan langsung nimbrung di jamaah yang sudah menjalankan ajaran agama secara mikro. Saat ini dilaksanakan dalam bentuk masyarakat lokal yang sedemikian kecil tidak lebih dari 10.000 penduduk Ciganjur dan Cipedak. Ini tadinya satu kelurahan. Lalu dipecah menjadi dua oleh DKI.
Kita melihat bahwa masyarakat yang lokal juga merupakan persemaian bagi pemuda-pemuda muslimin masa datang yang akan memperjuangkan Islam secara makro keseluruhan bangsa. Bahkan untuk keseluruhan umat manusia.
Ukhuwah islamiyah mereka tidak bisa dibatasi dengan lokal Ciganjur atau Kecamatan Jagakarsa atau wilayah kota Jakarta Selatan. Tapi nanti akan melebar menjadi seluruh Nusantara bahkan seluruh dunia. Persemaian ukhuwah islamiyah dari sini dengan kawan-kawan Forum Silaturahmi Ahlul-Bait. Datang kemari saling mengenal, saling mengetahui cara ibadah masing-masing yang tidak sama tetapi berisi pendirian yang sama. Kita tahu yang dibaca Al-Quran, kita semua mengerti doa, ditujukan kepada Allah melalui pemberian syafaat dari Nabi Muhammad SAW, kita tawasul kepada junjungan kita itu. Jadi semua sama, bentuk luarnya yang berbeda.
Dengan cara demikian, saya percaya bahwa ada benih-benih dari perjuangan makro di masa yang akan datang. Perjuangan masyarakat besar bangsa kita dan masyarakat besar seluruh dunia, mulai tertanam di desa Ciganjur dan Cipedak ini, di masjid Al Munawarroh. Benih mawaddah dan mahabbah di antara kita sesama kaum muslimin. Dengan kedua benih itulah, kita akan membangun masyarakat dunia yang akan datang yang sama-sama kita miliki. Bukan yang dimiliki orang-orang yang berlawanan, apalagi yang bermusuhan.
Dari tempat ini, kita akan menegakkan keadilan akan memaparkan kebenaran. Karena itu saya sangat syukur karena kita bisa berkumpul. Ini mengulang lagi apa yang pernah dibuat oleh nenek moyang kita.
Selama tujuh tahun terakhir ini saya menelusuri makam-makam yang ada di Jawa, Sulawesi dan Sumatera. Saya tengok nenek moyang saya Sayid Jamaludin Al-Khusaini, di mana beliau akhirnya menurunkan para aulia tis’ah, wali songo.
Saya melihat sejarah para pengikut dan pejuang Islam masa lampau, nama mereka dimanipulir oleh raja-raja yang zalim. Nama mereka dipisahkan dari rakyat dan sejarah mereka ditempatkan di era yang berbeda. Seni rakyat ketoprak (Jawa) dengan lakon yang biasanya mulai lahirnya kerajaan Demak sampai berdirinya Keraton Mataram. Seluruhnya adalah manipulasi terhadap para aulia yang berjuang menegakkan, menghancurkan kerajaan musyrik Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam di Demak. Sejarah mereka dipindah 65 tahun ke belakang.
Akibatnya, perincian rukun imannya, ibadah ke jalan Allah, semua digelapkan. Yaitu perbedaan-perbedaan yang memperkaya umat Islam itu. Jadi seolah-olah semuanya Sunni dan seolah-olah semuanya madzhab Safi’i.
Mengapa? Supaya terlupakan jasa mereka. Dilupakan Abdullah Al-Haddad yang bergelar Empu Supo yang berasal dari Naisabur, seorang Persi yang madzhab Syafi’i. Siapa yang beragama Islam bermadzhab Syi’ah, disasar-sasarkan nasabnya. Bahkan kuburannyapun dipalsukan. Sekarang bersusah payah kita mengulang kembali ziarah ke makam beliau-beliau yang dipertukar-tukarkan.
Syekh Najmuddin seorang tokoh dari Afrika Utara dari Fash. Najmuddin Al Fasih dikatakan kuburannya berada di atas Kaliurang di daerah Turbo. Di sana ditulis kuburan dan makam Syekh Najmuddin. Sementara sesungguhnya dia adalah pembawa salah satu tarikat terbesar Syekh Gafur Ibnu Riyasiddin (orang Jawa mengenal dengan nama Syekh Subakir). Syekh Subakir ini justru yang dimakamkan di Turbo di atas Kaliurang di gunung Merapi.
Tetapi dalam cerita Jawa versi Keraton (penguasa-penguasa zalim itu) dijungkir balikkan. Dikatakan Syekh Najmuddin yang kuburannya ada di pulau dekat teluk Cilacap dekat Nusakambangan itu kuburannya Syekh Subakir. Lalu yang di Turbo adalah kuburannya Syekh Najmuddin. Mengapa? Supaya orang Islam tidak bisa tawasul secara benar. Supaya kita lupa bahwa aulia kita dahulu datang dari kepercayaan mazhab-mazhab Islam yang demikian banyak. Syekh Najmuddin karena dari Fash kita tahu bermadzhab Maliki. Di sana tidak ada Imam Syafii. Di Afrika Utara di daerah Fash satu-satunya tempat di mana madzhab Syafi’i itu ada di Mesir, Afrika Utara. Tapi Mesir sebelah barat yang menuju ke arah lautan Atlantik itu bermadzhab Maliki.
Kemudian tokoh semacam Raden Fatah, adalah dari Cina. Nama cinanya Tacen Hang, nama arabnya Abdul Fatah bin Ahmad, ia tidak dihiraukan. Padahal dia pendiri kerajaan Islam pertam di Jawa setelah Majapahit di robohkan.
Kita melihat pemalsuan-pemalsuan sejarah masa lampau. Ada Serat Segolek, ini adalah sebuah kitab keraton yang dihargai sebagai salah satu puncak karya sastra Jawa (Islam Jawa), Keraton Jawa di Solo. Di situ digambarkan seorang haji panggilannya Mutamakkin. Haji Mutamakkin dari desa Segolek yang dipanggil keraton Kertasura, diadili oleh Ketip Anom. Disalahkan, karena membawa ajaran yang menyesatkan orang banyak. Diancam setelah perdebatan sengit, ‘kalau kamu tidak mau berubah kita hukum mati’. Menurut versi Kraton dia menyerah, mengaku salah dan diampuni, boleh pulang.
Itu tidak penting bagi saya. Tapi yang penting adalah mengenai serat Segolek. Artinya serat atau kisah tentang seorang dari Segolek bernama Haji Mutamakkin. Ternyata beliau adalah Haji Achmad Mutamakkin, salah seorang auliya besar sekitar 230 tahunan yang lalu, Beliau datang ke Cigolek di desa Kajen itu menjadi petunjuk. Saya telusuri di Timur Tengah. Ternyata di sana ada propinsi Kassan di daerah Iran Selatan. Disana ada kota kecil namanya Zabur. Kalau begitu ini orang dari sana. Kalau orang dari sana lalu dimarahi bahwa ajarannya berbeda dengan Keraton. Tentu ini orang Syi’i yang datang belakangan. Setelah semua di Indonesia menjadi Sunni.
Dia datang sendirian membawa faham Syiah. Tentu saja segera dipanggil ke Keraton, dimarahi segala macam, dan diancam hukuman mati. Tapi sejarah itu digelapkan. Semua seolah-olah tidak ada. Sedangkan beliau itu sangat besar jasanya.
Mengapa? Karena beliaulah yang membawakan pembahasan masalah masalah politik di dalam fiqh. Maka itu, di Desa Kajen Pati Jawa Tengah, kalau mengadakan haul didatangi oleh puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang.
Yang termasuk anak turunnya, di antaranya Syekh Achmad Muhammad Sahal Mahfudz, wakil Rais Am PBNU. Beliau selalu mengutamakan sisi politik dari Islam, fiqihnya fiqih siyasi. Pantas saja kalau dari sana. Sampai hari ini di Kajen selalu terjadi perdebatan mengenai masalah-masalah politik. Walaupun mereka (ulama) tidak berpolitik praktis, tapi harus tahu masalah-masalah dan diskusi politik yang berkembang. Ya pantes memang anak turunnya H. Mutamakkin.
Ini kita melihat kekayaan masa lampau bangsa kita. Kaum muslimin di sini dari gelarnya saja sudah ketahuan. Di Pasai ada raja namanya Al-Malikus Shalih Syaifuddin. Kalau ada Malik Shalih kemudian nama lain pakai Din, misalnya Syaifuddin, Jahruddin, Najmuddin itu adalah bertanda para rajanya dulu datang dari Dinasti Ayyubiyyin. Di mana di daerah Azar Taker Utara di daerah Turki sekarang. Biasanya tariekatnya Naqsabandi. Kita pergi ke timur di Ternate, sekarang Sultannya bernama Sultan Mudhoffar Syah. Yang pertama kali mendirikan kerajaan itu adalah Sultan Mabarok Syah. Syah ini dari Berkistan, Tajikistan. Berarti dari Persi.
Dari gelar-gelarnya saja sudah kelihatan bahwa asal-usul Islam yang datang kemari ini dari bermacam-macam tempat di dunia dan berbagai mazhab. Memperkaya kehidupan kita semua di sini. Karenanya bagi saya yang terpenting adalah kita kembali kepada masa lampau itu dengan menghormati perbedaan pandangan. Dengan menghormati berbilangnya mazhab-mazhab. Ada madzhab Sunni, madzhab Syi’ah dan sebagainya.
Dalam Sunni sendiri ada yang Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Belum madzhab lain-lainnya. Kita bericara tentang akidah atau mazhab yang muncul dari kalangan Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan dari Abu Mansur Al-Maturidi. Ada yang datang dari lain-lainnya, semua kita hormati.
Dari saudara-saudara kita mazhab Syi’ah, belajar dari Syekh Muchit. Bahkan terus terang saja kaum Sunni harus belajar banyak dari saudara-saudara dari madzhab Syi’i. Mengapa? Karena madzhab Syi’ah tidak pernah terputus di dalam tradisi filsafat. Mereka berfilsafat sepanjang sejarah Islam. Karenanya uraian-uraian mereka filosofis. Karena para ayatullah para kiai itu semua belajar. Hingga kita tahu Sayyid Muthahari. Bahkan sekarang pun ahli-ahli tasawwufnya pun adalah para filosof.
Saya di Teheran bertemu dengan Ayatullah Muhammad Zakhi Ja’fari. Beliau berbicara tentang tasawwuf, tapi juga tentang sastra, tentang antropologi. Ya Allah batin saya, coba kalau kiai-kiai di Jawa seperti itu, hebat. Artinya betapa ilmu filsafat sudah mendarah daging, sehingga seorang ayatullah seorang ulama besar, itu juga menguasai masalah-masalah itu.
Di Indonesia, ulama yang tradisional masih terlalu terpancang kepada ilmu-ilmu agama yang tradisional. Apa yang oleh Imam Jalaluddin Assuyuthi dirumuskan dalam kitab Hikmatud Dirayah, kurikulum yang saya rasa terbaik untuk studi Islam yang terpakai sampai sekarang, tapi memerlukan perluasan.
Hikmatud Dirayah dikarang sebelum tahun 911 hijriyah. Sekarang tahun 1414 hiriyah, berarti sudah 500 tahun lebih. Imam Jalaluddin Assuyuthi wafat tahun 911. Lebih 500 tahun dipakai tanpa dikembangkan. Nahwunya masih begitu-begitu saja, shorofnya ya itu-itu juga.
Padalah orang lain sesama kaum muslimin sudah kemana-mana pergi. Sudah bergulat dengan fenomenologi dari Edmond Houze(?) sudah berbicara tentang filsafat dan bahasa. Sudah bertempur melawan Marxisme. Sudah begulat dengan nasionalisme sempit yang tidak mengakui agama, dan membedakan orang hanya dari sudut jenis bangsanya saja. Di sini masih Kitabut Thaharah terus.
Jadi di sini memang ada kesenjangan pengertian karena level pemikiran itu belum jauh jangkauannya, karena belum sama. Imam Khumaini berpikir tentang sistem pemerintahan yang mampu menegakkan ajaran Islam. Beliau berpikir tentang kongkritisasi keadilan sosial. Saya adalah pengkritik besar dari Imam Khumaini. Tapi saya juga orang yang paling mengagumi beliau. Karena apa? Dengan hanya bersenjata ruhnya saja beliau mengubah seluruh dunia.
Kenyataannya memang demikian. Terserah perkara saya berlawanan pandangan politik dengan beliau, soal lain. Karena kondisi masyarakatnya berbeda-beda. Tetapi bahwa kebenaran yang dibawa beliau harus diakui. Bahwa kebenaran yang beliau bawakan belum bisa dibawa ke Indonesia itu soal lain.
Kita lihat tokoh lain yang besar. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-jazairi. Dia menanamkan rasa tidak mau menyerah, harus berontak kepada penjajah di Afrika Utara di Aljazair. Sehingga akhirnya bangsa Aljazair yang hanya 9 juta kehilangan satu juta orang. Bayangkan, tiap-tiap 9 orang muslim, satu mati. Perjuangan yang berat selama 40 tahun.
Karenanya tidak heran, kalau saya ditanyai siapa walinya abad ke 20 — wali dalam arti wali abdal atau wali apa terserahlah, pokoknya orang yang dikasihi Allah — saya jawab ada dua: yaitu Sayid Muhammad Alawi di Aljazair (yang sudah wafat tahun lima puluh sekian. Beliau tidak mengenyam lagi kebebasan kemerdekaan Aljazair) dan Imam Khumaini di Iran.
Saya berpendapat demikian, karena efeknya. Wali itu pada artinya bukan hanya menyembuhkan orang sakit, gampang mencarikan jodoh atau urusan rejeki, bukan demikian. Wali itu adalah orang yang mampu mengubah masyarakat.
Di Indonesia kebetulan wali perorangan tidak ada, yang ada wali kolektif. Yaitu semua gerakan Islam di Indonesia: Muhammadiyah, NU, Sarikat Islam dan segala macam itu. Itulah para auliya Islam Indonesia. Yang tentu termasuk di dalamnya orang-orang muslim yang berada di luar gerakan Islam, misalnya PNI. Asal betul-betul berjuang untuk Islam, mereka ini wali-wali kolektif. Ini penting juga. Mungkin justru karena dikolektifkan itulah, maka hasilnya juga lebih cepat. Buktinya kita duluan merdeka ketimbang yang lain-lain. Tapi karena wali kolektif tidak karuan juntrungnya. Setelah merdeka kita ya begini-begini saja dari dulu. Karena untuk mencapai kesepakatannya sulit.
Marilah kita lihat betapa penting memahami masa lampau kita untuk meresapkan benar-benar perbedaan-perbedaan yang ada. Itu merupakan rahmat dan kekayaan kita sebagai umat. Ikhtilafu a-immah rahmatul ummah, perbedaan di antara pimpinan merupakan rahmat bagi rakyatnya. Cuma perbedaannya itu tentu berbeda dalam cara. Dan tujuan harus tetap sama. Yang tidak sama tujuannya memang bukan pemimpin yang sebenarnya. Asal dianggap pemimpin saja. Itu banyak sekali. Itu lebih banyak dari pemimpin yang sebenarnya.
Kita sudah tahu sekarang, bahwa kesempatan kita memperingati hari Asyura tahun ini kita gunakan untuk meresapkan kebersamaan kita terhadap warga masjid Jami Al-Munawarroh di Desa Ciganjur yang warganya meliputi Desa Cipedak dengan saudara-saudara kita dari Forum Silaturahmi Ahlul-Bait datang dari tempat yang berbeda-beda. Tetapi dengan semangat yang sama yaitu kita semua ingin melihat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, menjunjung tinggi kebenaran dan melaksanakan nilai-nilai agama Islam dengan sungguh-sungguh. Dipenuhi dengan kejujuran, hubungan antara pemimpin-pemimpin dan para yang dipimpin. Bainar-ra’i wal-ra’iyah. Di sini ada hubungan yang jujur.