Mereka Salah Paham Terhadap Saya (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
ABDURRAHMAN Wahid tampak ceria. Wajahnya segar. Di siang yang panas Senin lalu itu, dia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung di atas siku, dan berpantalon abu-abu.
Dengan santai dia berjalan-jalan di arena muktamar. Dalam suasana yang cerah itu, Gus Dur dengan ramah menyambut ajakan wawancara wartawan TEMPO Wahyu Muryadi, melengkapi wawancaranya dengan Amran Nasution, Sabtu malam pekan lalu.
Petikan dari kedua wawancara itu:
Bagaimana pandangan Anda tentang muktamar ini? Ada titipan khusus?
Muktamar ini bebas, terbuka. Orang bisa semaunya saja. Siapa yang mencoba ngatur-ngatur malah benjut. Titip-titipan nggak ada. Kalau ada, saya malah bingung, saya mesti nitip diri ke siapa. He.. he.. he..
Apakah Anda bangga mendapat dukungan dari banyak wilayah?
Bangga? Malah pusing. Banyak dukungan berarti juga banyak tuntutan. Seseorang yang menyokong itu punya pertimbangan sendiri-sendiri.
Kabarnya Anda sowan ke Kiai As’ad menjelang muktamar?
Ndak. Kalau saya mau ketemu Kiai As’ad atau Kiai Masjkur, tentu saya mengajak anggota PB yang lain, biar jangan dianggap minta restu diam-diam…….
Kami melihat di NU sekarang berkembang pemikiran-pemikiran baru, terutama di kalangan generasi mudanya. Tapi terkesan terjadi kesenjangan dengan para kiai sepuh, seperti Kiai As’ad atau Kiai Masjkur. Bagaimana Anda melihatnya?
Itu wajar saja. Yang tua tapi bisa paham, ya, ada juga, seperti Guru Faisal dari NTB. Padahal, umurnya sudah di atas 70 tahun. Tapi banyak juga anak muda yang marah pada saya. Perbedaan pendapat memang ada. Tapi tak prinsipil hanya masalah duniawiyah. Dalam hal-hal yang hakiki semua sama pendapatnya. Saya kan tidak akan membawa NU ke Kristen.
Apakah Anda melihat perbedaan antara pesantren dekat kota, seperti Krapyak ini, dengan pesantren desa, misalnya Pondok Guluk-Guluk di Madura sana?
Pondok tak bisa digolongkan ini desa ini kota. Ada tiga unsur yang membangun dunia pesantren. Yang pertama sistem tata nilainya, seperti rasa hormat terhadap ulama. Kedua, pelajaran atau buku acuannya. Yang ketiga, sistem kepemimpinannya. Ketiga hal itu merupakan satu kebulatan, di pesantren kota atau desa sama saja. Kalaupun ada perubahan pada salah satu unsurnya, itu bisa terjadi di kota maupun di desa. Di Pondok Prenduan Madura, misalnya. Kebetulan yang tersentuh adalah kitabnya, kiainya suka dengan kitab-kitab lain untuk menambah wawasannya. Maka, terjadi modernisasi di pondok itu, walaupun lokasinya jauh dari kota.
Bagaimana warga NU modern memandang nilai kepatuhan tradisional itu?
Ya, tetap saja. Pak Fahmi, dekan di FKM UI, kalau ketemu Kiai Ali Ma’shum ya tetap cium tangan. Tentu ada yang perlu dipertahankan, tapi ada pula yang kurang perlu. Misalnya? Ya, salaman yang nggak ada habis-habisnya itu…he…he… Orang NU masuk bioskop, semua orang yang nonton disalami, pas selesai filmnya sudah bubar he… he… he…
Beberapa waktu lalu orang ribut. Anda dikatakan kurang bijaksana, karena menganggap semua agama itu sama.
Oh, itu yang di Genggong. Mereka salah paham terhadap omongan saya. Saya mengatakan bahwa semua pemeluk agama harus diperlakukan sama di depan undang-undang. Mereka tak mendengar bahwa saya menekankan “di depan undang-undang”. Sebab, kalau dibilang semua pemeluk agama diperlakukan sama, kan berarti dari akidahnya juga harus sama. Saya tahu, itu tak mungkin. Sebab, orang Islam menganggap agama yang paling benar, ya, Islam. Orang Kristen beranggapan yang paling benar Kristen. Jadi, Pancasila itu fungsinya antara lain memperlakukan mereka sama di hadapan undang-undang.
Sayang, mereka cuma dengar separuh, jadi salah paham.
Terkesan NU dan tak berinisiatif lamban mengambil peranan dalam penggodokan RUU Peradilan Agama?
Justru saya yang bicara duluan kepada pemerintah, sebelum orang lain angkat bicara. Tanya saja ke Pak Munawir. Kita sudah bicara. Kita sudah mengatakan, “NU pendapatnya begini, Pak Munawir. Tentang statement resmi tak usah dulu. Itu saran dari Pak Menteri Agama, demi tata krama politik yang memang harus dijaga. Untuk menenggang perasaan saudara-saudara sebangsa yang beragama lain. Masa, kearifan politik dari seorang menteri agama tidak kami ikuti.
Soal “assalamualaikum” itu bagaimana duduk perkaranya?
Saya melihatnya, harus ada tawar-menawar antara budaya dan norma. Harus ada saling memberi. Assalamualaikum, kalau dilihat dari segi budaya, kan sama saja dengan selamat pagi. Dia juga sesuatu yang normatif, Buktinya, ucapan itu wajib untuk dijawab. Belum lagi, “assalamualaikum” ada dalam bacaan salut. Sebetulnya saya ngomong dalam konteks itu, hanya koran memuatnya ndak penuh. Akibatnya, orang salah paham. Lalu, Kiai Ali Ma’shum menganggap rem saya blong, ha.. ha.. Saya dimarahi.
Selain dukungan, Anda juga menghadapi kritik dari sana-sini. Apa yang bisa anda simpulkan?
Saya melihat, itu mengungkapkan dua hal. Yang pertama, dirasakannya kebutuhan untuk mengoperasionalkan ajaran. Yang kedua, adanya tuntutan agar nilai-nilai agama sejalan dengan perkembangan zaman. Jadi, perlu didialogkan terus, dan itu surprise bagi saya.
Apakah Anda melihat Kiai As’ad marah terhadap Anda?
Orang tua marah itu biasa. Memang visi saya berbeda dengan visi Kiai As’ad. Coba lihat, tata tertib muktamar (Pada muktamar kali ini dilakukan perubahan – Red.). Dengan sistem yang baru ini, wewenang tokoh seperti Kiai As’ad untuk mengendalikan kita-kita jadi berkurang. Sebab, kita sadar, kekuatan NU ada di pengurus cabang secara keseluruhan, bukan hanya di lembaga Syuriah. Kalau sistem lama dipertahankan, berarti pimpinan NU akan selalu dipribadikan, jadi pimpinan perorangan. Saya tak ingin yang begitu.