Duet Gus Dur dan Ajengan Singaparna (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Gus Dur punya duet baru dengan Kiai Ilyas Ruchiyat. Tanfidziyah mungkin semakin dominan?
ABDURRAHMAN Wahid, 52 tahun, Ketua Tanfidziyah PB NU, memang kaya ide. Akhir Februari nanti, kalau jadi ia akan menggelar apel akbar dengan mengerahkan dua juta massa NU di Senayan, Jakarta. Kendati dalam Konbes Bandar lampung tak ada rekomendasi soal apel ini, Gus Dur akan jalan terus.
Banyak hal dihadapinya dalam rapat akbar di Lampung. Mulai dari soal mundurnya Kiai Yafie sampai terpilihnya Kiai Ilyas Ruchiyat dan Sahal sebagai Rais Am dan wakil Rais Am. Minggu dini hari lalu, sekitar pukul 1, di sebuah rumah di Wisma Unversitas Lampung, Gus Dur menerima Wahyu Muryadi dari TEMPO. Setelah dua jam menjawab pertanyaan TEMPO, wawancara pun terputus, Gus Dur langsung tidur… dan mendengkur. Berikut petikannya:
Mengapa Kiai Sahal yang Anda dukung bisa kalah?
Saya tak menduga. Saya kira pilihannya antara Kiai Sahal dan Pak Yusuf Hasyim. Saya tertipu, bukan dalam arti ditipu. Ada yang ingin memakai pasal 25 Anggaran Dasar. Ini pikiran Fahmi D. Syaifuddin (Ketua Tanfidziyah PB NU) dan kawan-kawan Alasan mereka, kalau toh dulu di rapat pleno Syuriah-Tanfidziyah Ancol tak dipakai, sekarang mungkin bisa. Bukan seperti pleno Ancol yang menetapkan Ali Yafie, Wakil Rais Am sebagai pelaksana tugas dan wewenang Rais Am.
Tapi Kiai Usman Abidin bilang, tak adil kalau pasal 25 dipaksakan. Dia bilang kenapa ini tak diterapkan pada Kiai Ali Yafie ketika itu. Ini memang sisa-sisa persoalan Cipete-Situbondo. Dia takut kalau Pak Ud yang jadi. Sebab, Pak Ud kan kekuatan di belakang kelompok Situbondo.
Nah, saya bilang, jabatan itu dibiarkan juga tak mungkin, karena ada amanah Konbes untuk mengisinya. Untuk menghindari fitnah, Pak Ud jangan dicalonkan. Supaya Kiai Sahal jadi. Padahal, semua orang kan tak bisa menerima Pak Ud. Ia bukan ulama yang penuh, dia kan zuama (pemimpin). Sama dengan Abdurrahman Wahid, sama dengan Moenasir. Saya bilang, pakai saja kriterium tunggal, dia harus ulama, bukan zuama. Lantas saya usulkan Kiai Sahal. Semua menyahut setujuuu. … .
Apa reaksi Anda begitu mendengar Kiai Ilyas menjadi Rais Am?
Saya kaget. Saya sedang mandi, dikabari Musthafa Zuhad (Wakil Sekjen) bahwa Kiai Ilyas yang jadi Rais Am. Huaah, saya kaget. Saya sama sekali nggak ingat, karena ranking-nya kan dbawah, setelah Usman Abidin.
Duet Ilyas-Sahal dengan Anda, bagaimana prospeknya?
Kami bertiga sudah tak ada apa-apa. Kiai Ilyas itu hatinya bersih. Tidak ada buruk sangka dengan orang, nggak pernah marah. Tenang-tenang saja lah Kiai Sahal. Dengan adanya Kiai Ilyas menjadi Rais Am, NU akan tenang. Semuanya akan ditidurkan. .. . he-he-he. Saya nggak pernah memanggil dia kiai, tapi ajengan.
Bukankah ini pertanda kemenangan Anda dalam menguasai NU?
Ah, ngga gitu. Pokoknya, garis kita itu kan mencari akar-akar NU jangan putus. Caranya bagaimana? Makanya, Syuriah jangan dicampur-campur Syuriah itu jangan terlalu banyak pemimpinnya (zuama), tapi harus ulama. Itu kewajiban kita bersama, bukannya garis-garisan atau golong-golongan. Itu tidak benar.
Bagaimana dengan masalah hubungan Syuriah-Tanfidziyah yang selalu kurang serasi?
Sebetulnya nggak benar juga. Pak Moenasir dan Kiai Ma’ruf, kathib Suriah kan selalu datang dan bicara bareng-bareng. Yang rajin ke kantor, Kiai Fuad Hasyim (Rais Syuriah) kalau lagi ke Jakarta. Nggak ada masalah, karena memang masing-masing off and on, siapa yang datang ke PB itu, ya, ngobrol dengan Tanfidziyah.
Memang Pak Yusuf dalam sidang pleno juga menyebut kekesalan, kenapa Syuriah tak diberi tahu soal Forum Demokrasi. Juga tentang apel akbar. Bagi saya, walaupun saat itu tak saya jawab, Forum Demokrasi itu kan urusan saya pribadi. Kalau dianggap merugikan NU atau tidak, ya, silakan sekarang dievaluasi Di mana kerugian NU. Nyatanya Wapres Sudharmono juga datang. Nyatanya itu diamankan oleh Pemerintah, jangan sampai kita kacau. Pak Rudini pidatonya juga bagus. Karena mereka tahu, saya memang benar di Forum Demokrasi tapi saya tak akan menuju ke Kelompok Petisi 50. Lain modelnya. Lha, Pak Yusuf Hasyim salah persepsi.
Melihat gaya kepemimpinan Ilyas-Sahal, sepertinya kok Anda bisa mengendalikan.
Ini suatu cita-cita. Kita ini kan sudah kumpul. Saya dengan Kiai Ilyas sudah sering berseminar sejak 1976, 15 tahun. Belum lagi kalau dihitung turun ke desa. Berapa kali itu dalam setahun, saya bareng Kiai Ilyas yang tadinya Rais Syuriah JaBar.
Kondisi fisik Kiai Ilyas?
Beliau kena diabetes, dan pernah dirawat setengah tahun. Jadinya, ya, kita mencari bersama-sama, memperbaiki. Ya, mustahil dong saya dengan Kiai Ilyas, pendapatnya akan sama terus. Kiai Ilyas itu orientasi fikihnya sangat kuat dan saya tidak. Di situ saja memang ada perbedaan. Tapi that’s not the problem. Yang penting, saling menghargai yang mendasar itu sudah ada.
Kiai Ilyas tak tinggal di Jakarta. Orangnya halus, tidak keras. Bagaimana bisa mengendalikan Anda?
Makanya, saya kira akan muncul isu dominasi Tanfidziyah lagi. Itu sih tergantung. Habis, yang dikasih isu begitu percaya dan ikut. Akibatnya, ribut. Tapi kalau tak percaya saya kira tidak apa-apa, Makanya, selalu saya katakan perlunya chusnuzhan (prasangka baik). Kiai Ilyas itu kan hidupnya cuma chusnuzhan melulu. Jangankan kita, penipu saja kalau datang ke sana beliau sangka baik-baik saja. . ., he-he-he.
Bagaimana Anda melihat sikap tegas Kiai Yafie yang mengirim surat ke Konbes dan menyatakan mundur?
Sebetulnya yang terjadi perbenturan dua pandangan Pandangan yang pertama itu, katakanlah saya dan kawan-kawan yang menginginkan konsolidasi NU dan melakukan terobosan-terobosan. Tentu bagi orang-orang seperti kami, kecenderungan untuk menyesuaikan langkah dengan kelompok Islam yang lain itu kurang. Kalau kami harus menyamakan dulu, ya nggak jadi-jadi, dong. Yang lain (tentang) halal-haram melulu. Sedikit-sedikit haram. BPR itu, kalau kita runding dulu sama Muhammadiyah, apa jadinya? Jadi, mau tidak mau, kalau NU ingin melakukan terobosan, dia harus mengkonsolidasikan kekuatannya sendiri.
Dengan sendirinya, agenda jadi lain. Karena, di antara umat Islam itu memang ada kecenderungan yang kuat untuk mengembangkan sikap politik yang nonformal. Masuk ke dalam birokrasi, mengumpulkan orang ke dalam birokrasi, termasuk ICMI, dan lainnya. Lha, NU itu nggak mau gituan. Itulah yang membuat kiai Ali Yafie gedheg (jengkel) setengah mati.
Dan ini bukan cuma soal pribadi. Pandangan kami memang secara diametral bertabrakan. Itu terlihat terutama pada Forum Demokrasi. Bagi saya, demokrasi itu harus diperjuangkan. Kalau begitu, saya harus mengajak semua pihak, termasuk orang Katolik. Sedangkan Kiai Yafie senang terlibat di sana, yang mencari jarak antara Islam dan Kristen sejauh mungkin. Itu jelas sudah berbeda strategi.
Akibatnya, praktis sikap Anda dan Kiai Yafie tak bisa dipertemukan.
Iya, memang. Menurut saya sih semua itu hanya soal waktu. Tadinya saya berharap beliau bertahan sampai akhir 1994. Tapi nyatanya tidak. Ya sudah.
Soal hubungan Anda dengan Kiai Yafie. Bukankah Wakil Rais Am bisa menegur kalau Tanfidziyah bersalah?
Mestinya bisa, kalau mau. Seperti Kiai Ali Ma’shum dan Kiai Siddiq. Tapi ini tak pernah dia lakukan.
Tentang apel akbar yang Anda rencanakan itu, sudah diketahu PBNU?
Saya sudah melapor pada PBNU. Itu bukan pekerjaan mereka. Ini sebagai inisiatif warga NU untuk membuat apel besar akhir Februari nanti. Cuma orang kumpul. Lalu diisi pidato kiai-kiai. Itu cuma satu atau dua jam. Pak Fuad Hasyim diminta ngomong, setelah itu dibacakan ikrar warga NU kepada Pancasila dan UUD 45. Setelah itu ditutup doa. Sudah.
Tampaknya itu penghalusan sikap untuk mendukung Pak Harto kembali?
Terserah, wong kami tak mengeluarkan pernyataan secara eksplisit, kok.
Lalu, kenapa mesti ada penegasan bahwa warga NU sudah setia pada Pancasila dan UUD 45?
Itu untuk menegaskan saja. Kita juga sudah tahu bahwa Nabi Muhammad itu lahir Rabi ul Awwal. Ngapain dibikin peringatan Maulid, he… he… Ikrar kesetiaan pada Pancasila dan UUD 45 tak ada urusannya dengan suksesi itu.
Kabarnya, apel akbar ini sudah didukung Pak Harto?
Saya sudah ngomong dengan Pak Wahono, Pak Sudharmono, Pak Benny Moerdani, sudah mendapat persetujuan dari Pak Try Sutrisno. Ya, hanya Pak Rudini saja yang bilang sama Cak Mus (Musthafa Zuhad, Wakil Sekjen PBNU): “Wah-wah-wah-wah, gimana ini, dua juta orang”.
Kabarnya, dengan apel akbar ini, Anda akan mendapatkan konsesi ekonomi dari Pemerintah bagi warga NU?
(Berpikir sejenak). Tidak. Pokoknya beginilah, kami punya program. Program itu macam-macam, ada yang di bidang politik, dalam arti memantapkan komitmen pada instrumen dasar negara. Setelah itu kan harus juga dikerjakan masalah-masalah hukum, agama, dan lain-lainnya. Nah, orang-orang ini mendukung, karena ini dibedakan dengan politik.