“Saya Hanya Menyediakan Panggung” (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tak gampang membaca langkah politik Abdurrahman Wahid. Selama ini, Gus Dur, begitulah orang biasa menyapanya, dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan Megawati. Ia juga Ketua Forum Demokrasi yang beranggotakan para tokoh kritis dari pelbagai kalangan. Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur juga pernah menghadapi guncangan keras dari Abu Hasan yang saat itu disebut-sebut dibeking elite pemerintah.
Namun, sejak akhir tahun lalu, sikap politik Gus Dur berubah. Tepatnya, setelah ia bersalaman dengan Pak Harto di Probolinggo, bertemu KSAD Jenderal R. Hartono di Situbondo, dan bersalaman dengan Mbak Tutut. Ujung dari semua perubahan sikap Gus Dur itu adalah menyediakan panggung buat Mbak Tutut untuk bertemu semua warga NU, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini. Ke mana sebetulnya arah manuver Gus Dur itu bermuara? Wartawan FORUM, Wahyu Muryadi dan Ronald Raditya, mewawancarainya di kantornya di kawasan Kramat, Jakarta. Berikut petikannya.
Dulu Anda dekat dengan Megawati. Kenapa sekarang malah memforsir diri dengan Mbak Tutut?
Memforsir apanya? Enggak ada yang diforsir. Dulu kami pernah mengundang Mbak Tutut. Karena baru akhir-akhir ini Mbak Tutut bisa memenuhi tawaran kami, maka baru sekarang terlaksana. Dulu kami mau mendudukkan Mega pada pijakan yang kokoh dan konkret, tapi semua berantakan setelah Kongres Medan.
Lalu, kenapa tidak berkonsentrasi penuh untuk terus mendukung Mega?
Untuk apa? Kami kan sekadar fasilitator. Bisa memanfaatkan atau tidak, itu urusan yang bersangkutan, Pokoknya, kami ingin dua-duanya imbang, juga PPP. Walau saya tidak mengundang Buya Ismail, tapi apa sih acara NU yang tidak dimanfaatkan PPP?
Pertimbangan Anda memilih Tutut?
Kalau Harmoko atau Buya Ismail sudah mentok. Apalagi Soerjadi. Jadi, logikanya, tinggal beberapa orang yang muda-muda, seperti Bambang Trihatmodjo, dan Tutut. Beberapa tahun lalu, kami juga welcome terhadap orang-orang yang prospektif di masa depan, yang relatif muda, seperti Sarwono, Siswono, dan lain-lain. Kami cuma mau saling mengenal saja. Warga NU mengenal Mbak Tutut dan dia mengenal warga NU. Saya hanya menyediakan panggung untuk memperkenalkan kepada massa NU. Kami juga punya pengamatan sendiri, bagaimana Tutut diuji dalam bermacam-macam fungsi sosial dan organisasi. Jelas, dia punya prospek ke depan Perkara dia mau jadi apa, itu biar sejarah yang berbicara. Saya juga tidak pernah bilang Tutut adalah pimpinan masa depan. Saya selalu bilang tokoh masa depan.
Kristiadi dari CSIS mengatakan, Mbak Tutut pantas jadi wapres. Ada benang merah antara Anda dengan CSIS?
Benang merah putih, ha-ha-ha… Tanyakan sama Kristiadi. Dia ngledek apa nyalonin, itu enggak jelas, ha-ha-ha…..
Kalau Tutut jadi wapres, apa itu sindiran agar Pak Harto mundur?
Siapa yang nyindir? Wong Bapaknya yang menghendaki anaknya maju, kok Jangan melihatnya secara berhadap-hadapan biasa. Kalau Anda menganggap begitu, cuma salah baca. Sama saja ketika B.G. Lee (putra Lee Kuan Yew yang kini menjadi Wakil Perdana Menteri Singapura) naik. Mendukung B.G. Lee, itu bukan berarti menyingkirkan Lee Kuan Yew, kan. Nyatanya, Lee Kuan Yew naik menjadi Senior Minister.
Oleh kelompok prodemokrasi, Anda dituding plin-plan…
Biar saja. Saya dibilang zionist saja enggak apa-apa, apalagi cuma dibilang plin-plan Referensi kami jelas. Yang penting, saya tidak mengkhianati khitah saya.
Dengan adanya Zainuddin, Rhoma, dan Anda, apakah itu artinya pemilu sudah di tangan Golkar?
Belum tentu. Saya membacanya, Golkar malah defensif. Masih tergantung banyak hal, antara lain juga kemampuan Tutut meman faatkan panggung NU.
Anda tidak khawatir tidak populer lagi?
Kami minta warga NU datang ke silaturahmi, semua datang. Kalau enggak populer kan enggak datang. Artinya, pada dasarnya, warga NU setuju dengan sikap PBNU. Bahkan, ada kiai Bakir, kiai NU yang PPP yang galak dari Lamongan. Tapi, dia datang karena melihat event itu bukan sebagai event Golkar. Yang menolak juga ada, seperti PBNU Bangkalan, Generasi Muda NU Jombang, dan. PBNU Jawa Timur juga ada yang enggak setuju. Tapi, itu semua biasa di NU, yang demokratis Saya tunjukkan juga kepada Tutut, beginilah NU, berbicara apa adanya.
Dengan diajaknya Mbak Tutut di panggung NU, apakah itu indikasi NU akan berperan penting?
Kami tidak melihat dari sudut itu. Kami ingin menimbulkan saling pengertian dan pemahaman dengan masing-masing pihak. NU tidak membiarkan dirinya didikte oleh kepentingan-kepentingan sesaat. NU itu berpikir strategis dalam jangka panjang, bagaimana sistem pemerintahan kita dapat diperbaiki secara bertahap.
Setelah Anda bersalaman dengan Pak Harto, bertemu Hartono dan Mbak Tutut, lalu NU bisa menggusur peran ICMI dan gerakan Islam lain?
NU jangan dilihat dari ukuran ukuran seperti itu. NU itu memikirkan masa depan bangsa. Hubungan itu kami bangun berdasarkan tidak adanya dominasi golongan apa pun.