Kalau Saya Menang, Mega Sebaiknya Oposisi (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
CALON presiden dari poros tengah ini seperti punya seribu kaki. Susah pula ditebak apa maunya. Sebentar berada di sini, sebentar sudah menclok di sana — tanpa ada rasa miris dengan penglihatannya yang belum pulih betul.
Jumat pekan lalu Gus Dur berziarah ke makam ayahnya, dan esoknya ia sudah bertandang ke rumah Siti Hardijanti Rukmana, putri sulung bekas presiden Soeharto. “Anda jangan bayangkan saya mau macam-macam sama Mbak Tutut. Cuma menengok saja, sambil gojekan begini,” kata Gus Dur, seraya mengunyah jajan pasar dan risoles, Dalam pertemuan sejam itu, Gus Dur tak kesampaian bertemu Pak Harto, yang kata Tutut harus dihindarkan dari beban politis yang memberatkan pikiran.
Selepas dari rumah Tutut di kawasan Menteng, Jakarta, Kiai Ciganjur itu langsung melesat ke bandara. Ia terbang ke negeri jiran. Malaysia, memenuhi undangan Ustad Asyhari Muhammad, figur sentral gerakan Darul Argam–yang menjadi tahanan rumah pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. “Dia baru saja bermimpi ketemu Nabi (Muhammad), lalu menyampaikan pesan-pesan penting untuk saya,” kata Gus Dur kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO, yang kemudian mewawancarainya panjang lebar seputar masalah kepresidenan. Bahan lainnya juga dikumpulkan reporter Adi Prasetya saat interview dalam berbagai kesempatan. Petikannya:
Anda dulu ziarah ke makam kakek, Mbah Hasyim Asy’ary, tapi kini ke kubur ayah. Apa maknanya?
Di sana yang paling sepuh (tua) kan Mbah Hasyim. Itu sudah kutut kabeh (tercakup semaranya), wa alaalihi wasahbihi. Tapi belakangan ada yang ngasih tahu, bapak juga harus diziarahi. Makanya saya balik lagi. Menurut penafsiran saya, dengan begitu saya pindah fase, dari perjuangan dengan kekuatan rakyat ke arah perjuangan pemerintahan. Bapak saya kan orang pemerintah (bekas Menteri Agama RI pertama). Itu tanda bahwa saya mulai masuk ke bidang pemerintahan.
Anda melihat ada isyarat apa di sana?
Saya enggak bisa melihat sendiri. Tapi orang yang tahu bilang, itu tadi ketok (kelihatan) ibu saya yang sumringah (berseri-seri). Ya, gupuh (terperangah), anaknya datang Jare ono kaji nggowo gulo asem (katanya ada haji membawa gula asam). Saya disambut keroyokan.
Berarti Anda akan maju terus sebagai calon presiden?
Dari awal juga begitu. Kalau tidak, demokrasi tidak akan maju. Kalau saya kembali mendukung Megawati, kan podo ae balik maneh (sama saja kembali lagi) seperti dulu. Untuk itu saya maju, menang-kalah enggak peduli.
Menurut perhitungan beberapa pihak, kalau Anda maju akan menang…..
Kalau menang, ya, saya siap. Tiga hari yang lalu, saya berada di rumah anaknya Cak Nur (Nurcholish Madjid, Rektor Universitas Paramadina). Saya ketemu Amien Rais, Fuad Bawazir, Marie Muhammad, Soegeng Sarjadi, Nur Mahmudi Ismail. Kesimpulannya, saya harus mengajak Akbar Tandjung sebagai wakil presiden.
Bagaimana dengan Mega?
Esoknya saya ketemu Mbak Mega. Saya katakan bahwa kehendak teman-teman, kalau sampai saya menang jadi Presiden, Mbak Mega jadi ketua DPR, ketua DPA, atau ketua umum oposisi. Bisa pilih. Saya sendiri lebih senang kalau sampean jadi ketua oposisi karena kita membutuhkan oposisi yang berkualitas tinggi, untuk mengoreksi, mengontrol.
Dengan power sharing seperti itu, apakah bisa meredam gejolak arus bawah, termasuk mahasiswa?
Bisa.
Bukankah sebaiknya Mega, yang partainya memenangkan pemilu diberi kesempatan jadi presiden?
Wong UUD-nya begitu. Saya siap kalau Mbak Mega menang, saya terima. Saya sudah bilang Mbak Mega, saya akan di luar saja. Tetapi saya membantu Anda sepenuh hati.
Maksud Anda sebagai ketua DPA atau penasihat khusus kepresidenan?
Enggak usah. Yang penting kan perbuatan nya saja. Swasta (di luar pemerintahan) saja. Saya akan diminta untuk konsultasi penyusunan kabinet.
Bagaimana kira-kira nasib pertanggungjawaban Habibie?
Saya enggak ngikuti
Kalau calon hanya dua, apakah antara Gus Dur dan Megawati atau Gus Dur dan Habibie, Anda berpeluang menang.
Ya biar saja. Saya itu enggak penting, kok. Yang penting itu, ya, ramailah. Saya kuatir nya sama Habibie. Kalau dia dikepruki (ditekan) terus, dia mundur. Kalau dia mundur, kan hanya satu calon. Persepsi saya maju, dicalonkan poros tengah, ya, untuk itu.
Kalau sudah ada dua calon, apakah Anda tetap maju?
Iya. Kalau enggak, ya, bukan demokrasi.
Katakanlah Habibie ditarik dan calonnya nanti Akbar Tandjung dan Megawati. Apakah Anda masih tetap maju?
Ya, kita lihat saja nanti apakah Akbar serius atau enggak. Tetapi, menurut omongannya dengan saya, dia cuma untuk wakil presiden. Tugas terberat dia sekarang kan mermbenahi Golkar.
Kalau dari Golkar tidak ada calon presiden, apakah suaranya akan disokong untuk Anda?
Kalau memang seperti itu, paling tidak tiga perempatnya. Utusan golongan saya kira 70 persen (mendukung).
Anda yakin PKB seratus persen akan memilih Anda?
Saya rasa iya karena yang NU, yang agamanya kuat, saya kira seperti PBB dan lain-lain, belum bisa menerima pemimpin wanita.
Apa keberatan Anda jika Habibie dicalonkan lagi?
Kalau saya, sih, tidak punya keberatan apa-apa. Cuma, kalau saya perhatikan, masyarakat keberatan terhadap Habibie itu karena tidak punya sense of politics.
Kalau Habibie terpilih, apa yang akan terjadi?
Ya, itu. Saya tidak tahu apabila negara ini dipimpin oleh orang yang tidak mengerti politik. Pasti akan terjadi gejolak terus karena rakyat tidak mengetahui kelebihan Habibie. Kalau saya, tahu. Saya menghargai Habibie karena kelebihan-kelebihannya itu. Memang, orang banyak tidak setuju, walaupun saya sendiri setuju. Kalau sampai Habibie menang, dia harus menghimpun semua kekuatan untuk mengatasi suara-suara yang tidak senang itu.
Kalau begitu, nasib Megawati sangat tragis, voting kalah dan tidak bakalan mendapat tempat.
Saya kira harus dihilangkan paham bahwa semua orang harus dapat tempat.
Ironis kalau Megawati tidak dapat tempat. Amien Rais, yang partainya hanya dapat tujuh persen, malah jadi ketua MPR. Begitu pula dengan Anda.
Menurut saya, itu semua tergantung pada oningnya. Sebab, orang itu tidak karena sedikit-banyak, besar-kecil, karena seperti Mas Amien, mengemban tugas itu rasanya berat sekali Anda lihat saja, sekarang dia (Amien Rais) tidak berpihak. Dia sudah bilang, sebagai ketua MPR. dia harus obyektif.
Kenapa skenario power sharing yang Anda tawarkan dulu nyatanya melenceng?
Saya enggak tahu. Saya cuma menawari, ya, tergantung MPR. Saya dari awal sudah bilang sama Mbak Mega, jangan berharap saya bisa membantu pandangan-pandangan keagamaan mengenai kepemimpinan wanita lo, ya.
Megawati itu salahnya di mana?
Saya enggak pernah mengatakan salahnya siapa. Proses awalnya salah. Itu kan kesalahan bersama. Ya, kita perbaiki bersama.
Bagaimana dengan tuntutan harga mati bahwa Megawati harus jadi presiden?
Itu kan tuntutan orang yang enggak tahu politik. Politik itu tidak ada harga mati.
Bagaimana kalau para kiai melarang pencalonan Anda?
Kita serahkan pada waktunya nanti, Kan belum tentu ada.
Kalau Kiai Abdullah Faqih meminta Anda mundur?
Saya tetap maju, bukan karena apa-apa, tapi karena cinta saya kepada demokrasi.
Prioritas apa yang nantinya akan Anda tangani jika jadi presiden?
Ada beberapa hal. Satu, menjaga keutuhan atau integritas wilayah Indonesia. Saya akan menghubungi kawan-kawan di Aceh, Ambon, Irian, Riau, bagaimana caranya supaya kita bisa menjaga keutuhan itu dengan konsep otonomi daerah yang diperluas. Dua, memperbaiki ekonomi. Itu akan saya mulai dengan berbicari kepada para pemilik modal yang berada di luar negeri agar mereka mau menanamkan modalnya kembali ke Indonesia. Saya sudah melakukan itu beberapa waktu lalu di Singapura. Tiga, kita harus mengembangkan ekonomi dengan baik. Terutama, kita bukan negara mlarat dan negara gombal sebagaimana digambarkan oleh IMF atau orang luar.
Apa konsep kepemimpinan yang Anda kembangkan jiku jadi presiden?
Musyawarah. Tapi kalau tidak bisa, ya. voting. Kan ada DPR. Jangan disangka nanti yang jadi presiden lalu berkuasa. Tidak. Yang benar-benar berkuasa ada di DPR. Presiden enggak berkuasa kayak dulu.
Kalau wakil presiden itu Akbar Tandjung, bagaimana dengan Wiranto?
Ya, ada tempatnya. Ojo dibrokna ngono (jangan dilepas begitu saja). Dilindungilah.
Nurcholish Madjid tiba-tiba muncul sebagai calon presiden, itu idenya dari mana?
Kalau saya enggak jadi, ya, harus ada yang waras yang maju, gitu lo. Dari awal, saya sudah dukung dia. Tapi sekarang ini Cak Nur bilang, Gus, sampean itu imam kami, lo.
Kalau Megawati nomor dua, mungkinkah?
Enggak tahu. Kalau tidak sebagai ketua DPR, dia bisa jadi oposisi yang loyal kepada pemerintah. Menurut pemikiran saya, lebih baik jadi oposisi.
Seandainya partai Anda memenangi pemilu, apa yang harus dilakukan untuk jadi presiden?
Ya, ikut bicara konseptual dan berusaha mendekati partai-partai lain. Ini yang tidak dilakukan PDI P. Bukan menyalahkan Mbak Mega, lo. Semestinya pembantu-pembantunya itu ngerti. Mbak Mega kan tak punya pengalaman politik. Pembantu-pembantunya yang ngerti politik itu mbok ya mengambil pendekatan dari dulu. Sebetulnya baru sekarang, sejak sidang MPR, saya didekati orang, seperti Sabam Sirait, Dimyati Hartono.
Kalau pendekatan, apa yang harus mereka tawarkan?
Kalau sama saya enggak usah tawar-menawar. Tanya apa saja pasti saya jawab. Contoh terkecil yang tidak akan terjadi seandainya saya pegang PDI Perjuangan, kenapa saat menanggapi pertanggungjawaban Habibie, yang mernbacakan Zulvan Lindan? Dia itu kan orang Syiah, bukan orang Suni. Jadi, orang di PDI-P itu enggak ngerti Islam.
Kalau soal fisik, Anda tidak ada masalah?
Saya sendiri sudah mulai melihat, kok. Remang-remang. Nanti dokternya yang di Amerika (Salt Lake City) akan datang kemari, membawa kacamata khusus. Saya diinjeksi seminggu sekali. Dia mengatakan, saya sudah sukses.
Mata Anda sebelah kiri bagaimana?
Sebentar lagi dioperasi.
Bagaimana kondisi fisik lainnya?
Oke, wong diperiksa dua malam di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Semuanya sudah diperiksa. MRI (magnetic reso nance imaging), thorax, perut, ginjal, darah, pemeriksaan jiwa, ingatan, semua bagus. Excellent.