Tantangan NU Di Abad XXI
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Gus Dur kembali menjlentrehkan persoalan-persoalan besar umat – khususnya warga NU pada abad ke-21 mendatang. Tantangan di bidang dakwah tidak boleh dianggap entheng Karenanya jika NU gagal meletakkan “pondasi” ini, maka organisasi yang terus menjadi rebutan ini (mungkin saja) tinggal puing- puingnya. Lalu, tantangan apa itu? Berikut pandangan Gus Dur yang disampaikan di depan Lembaga Dakwah NU dalam acara Ceramah Muballigh, pada 31 Januari kemarin.
Pengertian abad 21 yang dimaksud di sini adalah Miladfi bukan Hijri. Abad 21 dipendekkan lagi. Yuslakul kul wa yuradu bil Juz; Yaitu: Juz un minhu, Juz un min abad yang awal-awalnya saja. Kalau ke belakang kita sudah tidak tahu urusannya. Jadi paling tinggi proyeksinya adalah 10 tahun abad ke 21 atau yang terjauh katakanlah tahun 2020. Kalau dulu dewan HAMKAMNAS tahun 70 an membuat apa yang mereka namakan konsep : Pembangunan Nasional Jangka Panjang. Ukuran tahun yang mereka ambil yaitu 25 tahun dari tahun 1978 sampai ke tahun 2003.
Tapi Nahdlatul Ulama pada tahun 1978 kan belum mengerti apa-apa, ngertinya baru P3 waktu itu. Jadi ya nggak bisa diajak berfikir pembangunan nasional jangka panjang segala macam. Baru tahun 1984, yaitu 6 tahun dari tahun 1978 – saat kita kembali ke khitah dan setelah itu kita pelan-pelan masuk ke dunia yang lebih komplek. Nah kalau ada pertanyaan mengenai bagaimana prospek NU di abad yang akan datang, pertanyaan yang harus dijawab
1. Apakah kekuatan yang dimiliki NU cukup sampai tahun 2000. Sebab, siapa tahu sebelum tahun 2000, kurang dua hari saja NU ambruk karena sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Bisa saja akan terjadi demikian. Makanya proyeksi harus dibuat bahwa tahun 2000 NU masih ada, lalu apa kekuatannya?
2. Pada tahun 2000 kekuatan NU cukupkah untuk mendorong kita sampai ke tahun 2010? Kalau bisa, bisakah sampai ke tahun 2020? Nah kalau kita sudah yakin punya kekuatan untuk itu, maka pertanyaan berikut:
3. Bagaimana keadaan bangsa kita waktu itu (tahun 2000, tahun 2010 dan tahun 2020)? Karena itu kan tahapan-tahapan dari pembangunan Nahdlatul Ulama. Kalau demikian apakah yang dapat dilakukan oleh NU dalam kondisi masyarakat dengan kekuatan pada tahun 2000, 2010 dan 2020?
Marilah kita jawab satu persatu
Pertanyaan pertama punyakah NU kekuatan hidup sampai tahun 2000? Melihat keadaan muballigh muda, saya yakin bisa. Kenapa? Karena wajah-wajah muda yang mendukung NU, wajah-wajah segar yang sedang merasa terpanggil untuk berjuang di lingkungan NU. Satu kekuatan akan punya arti atau bertahan lama kalau generasi mudanya ada yang terpanggil.
Selanjutnya cukupkah jumlah mereka? Saya lihat cukup. Saya keliling kemana-mana selalu wajah-wajah muda yang tampil, Salah satu di antara masalah aktif yang sedang dihadapi sekarang ini: adanya kebutuhan beragam akan penetapan pemikiran keagamaan.
Belum lama ini tubuh NU diguncang oleh ribut-ributnya DR. Sa’id Aqil (yang dituduh KH Hamid Baidlowi kesusupan Syi’ah, Red.). Hal ini sebenarnya merupakan cerminan dari dua faham yang sama-sama hidup di NU. Faham yang satu menganggap Syi’ah itu berada di luar lingkungan Islam – karena memang kakek moyang NU begitu pandangannya. Ini Sunni, mereka adalah Sunni yang membasmi. Sunni yang membasmi faham lain. Dan Sunni faham Ahlus Sunnah yang membasmi faham lain ini nanti juga menyangkut ke agama lain. Ke dalam juga menyangkut ke aliran-aliran lain selain aliran Ahlus Sunnah Waljama’ah.
Tapi kalangan muda sudah mulai bertanya, apakah benar sikap itu? Apakah itu tidak berarti NU eksklusif dan dalam jangka panjang akan menjadi fosil gede kayak Dinosaurus (besar seperti dinosaurus Red.). Lama-lama akan menjadi tulang-belulangnya saja yang berada di museum. Apakah tidak ada perlu refitalisasi dalam bentuk adanya kemampuan NU untuk hidup dalam suasana yang sangat beragam. Ini tuntutan jaman tidak bisa dihindari.
Kita masih ribut tentang Kristen, tetapi kita pernah punya Pangab Kristen sekali dan Pangab Katolik sekali. Kita masih bekutat saja soal itu. Dunia sudah jalan terus. Ini kalau bukan faktor usia, saya rasa Jendral Sujasmin akan mengganti Jenderal Hartono menjadi Kasad. FX. (Fransiscus Xaverius) Sujasmin, kita sudah tahu agamanya kalau namanya saja sudah begitu. Artinya bangunan negara ini untuk kehidupan beragama yang pluralistik. Sementara kita masih bekutat apakah Syi’ah itu Islam atau tidak.
Kan aneh. Jadi ada tuntutan. Kebetulan saja DR. Sa’id Aqil yang mengemukakan, mungkin karena caranya yang keliru atau bagaimana. Tapi malah menjadi ribut. Tapi saya yakin dari ribut- ribut ini hasil akhirnya adalah mau tidak mau mereka yang tadinya tidak mengakomodir kebutuhan keragaman, mau tidak mau harus mengakui kebutuhan tersebut. Kalau tidak mereka akan ditinggalkan oleh keadaan. Ditinggalkan oleh kenyataan-kenyataan yang ada.
Salah satu surat dari Kyai Hamid Baidlowi Lasem yang mengangkat diri jadi Ro’is Aam itu, bahwa saya ini menyebarkan ajaran Syi’ah. Karena saya menyediakan Masjid saya untuk kegiatan anak-anak Syi’ah. Memang dua kali saudara Zulfan dan Bursah datang kepada saya. Ini anak-anak HMI Jl. Cilosari. Mereka mau pinjam Masjid untuk Majlis As-Syura yaitu untuk memperingati wafatnya Syayyidina Husein. Ya kita ini orang Jawa, istilahnya tego larane ora tego patine (tega sakitnya tak tega matinya, Red.). Ya sudah pakai saja. Tapi saya bilang pada jamaah saya, bahwa itu bukan urusan kita. Kita tidak usah datang. Cukup Pak RT saja yang datang. Sehari-harian dia nongkrong di situ. Sedangkan mereka kuat duduk bersila dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Akhirnya Pak RT yang mbengek-mbengek di situ sehari.
Dan kesimpulannya lucu. Kesimpulan rakyat biasa yang menggunakan akal sehat. “Pak itu Sayyidina Husein yang ditangisi sampai kayak gitu itu cucunya Nabi?”, tanya Pak RT. “lya”, jawab saya. “Sudah lama dong ya cucunya Nabi”, tanya Pak RT lagi. “Ya sudah empat belas abad silam”, kata saya. “Lho kok tidak hilang-hilang ya marahnya”, kata Pak RT heran.
Kita nggak usah khawatir. Rakyat itu gampang, diomongi apa saja – asal masuk di akal yang sehat ini mereka akan menurut. Akal sehat mereka tidak akan mau dirubah – kalau semacam ini dijadikan alasan.
Tapi orang NU (saya keliling ke mana-mana) mereka yang sudah baca surat Kiai Hamid Baidlowi juga nggak terpengaruh. Ya mereka tahu sih nggak masuk akal kan, kalau saya syi’ah seperti yang dituduhkan itu. Bahkan dalam perdebatan dengan Kiai Basori Alwi ketika saya mengatakan bahwa NU itu syi’ah kultural, beliau marah dan mengatakan syi’ah kultural itu bukan syi’ah akidah, sisi budayanya saja yang sama yaitu hubbu ahlul bait. Tapi, kan kita senang sama ahlul bait itu nggak berarti syi’ah. Nggak, kita punya sendiri. Lho nggak bisa, di musholla dan masjid kalau Maghrib itu pujiannya li khomsatun li khomsatun utfi fiiha, lima orang yang seluruh emosi kita berada pada mereka. Nabi, Syaidina Ali, Siti Fatimah Az-Zahro dan Hasan Husein. Ini konsep dasar syi’ah tentang ahlul bait.
Kita pakai itu, tapi kita nggak mau mengatakan diri kita syi’ah kultural, itu namanya kita mau barangnya nggak mau mereknya. Jadi selama orang kita masih berbunyi demikian li khomsatun utfi fiiha selama itu pula kita adalah syi’ah kultural. Belum lagi kita menghormati dan tunduk kepada Habaib. Sudah jelas-jelas yang demikian itu kultur syiah.
Nah maksud saya bukan apa-apa, supaya dengan demikian ada kesadaran akan keragaman kaum muslimin, itu saja. Saudi mau ribut sama Iran silahkan. Khumaeni terus mengkafirkan Raja-Raja Saudi itu urusan mereka. Kita sih yang penting sama-sama orang Islam, ya mari kita kerja sama yang baik. Selama masih Mankaana akhirul kalamihi Laailahaillalloh, ya dakholal Jannah. Saya rasa demikian, bahkan soal habaib itu pernah diperkuat oleh kakek saya, yang nota bene adalah Rois Aam NU sampai wafat beliau, Mbah Kiai Bisri Sansuri. Kalau kita memarahi seorang Habib, kita dilarang. “Jangan, itu keturanan Rasul. Biar seperti apa brengseknya nanti menjelang wafatnya ia akan baik, masuk surga”, kata beliau. Ini kalau tidak syi’ah kultural lalu apa namanya.
Makanya kita tidak usah marah dengan lebel-lebel kayak begitu. Itu hanya untuk Tagorrub bainal madzaahib (pendekatan antar madzhab). Di Iran sana ada Ayatulloh Bashiri seorang Sekretaris Jenderal Jam’iyyatu Taqrib Bainal Madzaahib. Kita juga harus merespon uluran tangan orang-orang Islam yang lain. Mungkin kita sama-sama Sunni-nya kita juga tidak kenal. Mungkin kita juga tidak kenal dengan Mahzhab Hanafi. Mengapa koq ribut tentang Mut’ah Syiah.
Imam Ghoffar lebih gila lagi. Seorang wanita asal dewasa boleh mengawinkan dirinya tanpa saksi. Ini tidak ada wali nggak ada saksi. Apakah yang demikian ini bukan Syiah? Padahal Imam Ghoffar itu salah seorang Imam besar di dalam madzhab Hanafi yang sekurun dengan Imam Syafi’i.
Lha kita itu nggak kenal semua. Jadi kemarin waktu Kiai Ma’ruf Amin mencoba memperkenalkan pertama-tama konsep aktualisasi hukum-hukum itu harus melalui Thoriqul Istimbath. Dengan susah payah 10 tahun baru di terima di Munas Alim Ulama di Lampung dan kemarin resmi diputuskan di Muktamar Cipasung. Kalau kita sudah mengerti bahwa Istimbath adalah kerangkanya, karena fiqih definisinya. Maka Al-Ahkam al-Mustambathoh min Adillatiha As-Syar’iyyah, yaitu hukum-hukum agama yang ditarik, disimpulkan dan dirumuskan dari dalil-dalil syar’i. Jadi proses perumusannya itu sangat penting.
Nah kita melihat di sini bahwa Istimbath sudah diterima sebagai kerangka. Methodenya apa, boleh kita memilih madzhab Syafi’i menawarkan methode Istiqro, tapi madzhab Maliki menawarkan Almashoolihul Mursalah, bagi yang belajar tarih tasyri’ tahu, kalau Madzhab Imam Hanafi itu harus Ihtihsan, jadi sudah ada semua itu. Nah, ketika kita ditawarkan almashoolihul mursalah, ribut lagi, alasannya hanya karena dari madzhab Maliki. Sementara kita sudah mengunyah-ngunyah hukum Newton. Sudah menggunakan produk-produk para ahli atom Yahudi. Aneh sekali ini.
Dan lebih lagi konsep-konsep budaya orang Barat. Lewat apa, lewat komidi-komidi di TV, seperti Murphy Brown dll. Begitu banyak konsep-konsep Yahudi di TV tiap hari yang diterapkan dalam bentuk lakon-lakon.
Jadi kita sudah sampai pada proses akulturasi campur aduk. Sehingga yang punya kita sendiri juga tidak kita kenal, yang mana.
Contohnya, saya ke rumah teman saya. Anaknya umur sekitar 20 tahun, kan sudah bukan baligh lagi. Anak perempuan seusia ini kan sudah punya anak (kalau cara lama). Kalau cara sekarang jangan dulu. Misalnya ada anak perempuan membuka pintu hanya pakai hot pant dan T-Shirt ketat (pendek lagi) hingga kelihatan pusarnya. Buka pintu mengucapkan assalaamu’alaikum Oom. Demikian ini yang Islam yang mana, hot pant-nya atau assalaamu’ alaikum-nya. Apa ini namanya akulturasi? Jadi ada percampuran kultur, ini sudah menjadi konsep kita.
Dalam memasuki era 2000 kader NU semakin banyak (mudah-mudahan). Di mana warga NU sedang berada dalam keadaan akulturasi dan keragaman semakin banyak. Lalu bagaimana pada tahun 2010. Ukuran-ukuran dulu tidak seperti sekarang, pertengahan dasawarsa 90-an. Nanti jangan-jangan muballigh kita sudah tidak diundang pengajian lagi. Jangan-jangan begitu. Seperti di Amerika Serikat sekarang ini. Para pendeta itu berkhotbah di gereja bukan dipanggil kemana-mana, karena disentralkan pada sejumlah tokoh-tokoh dan figur-figur. Katakanlah seperti KH Zainuddin MZ, dia berbicara di TV orang-orang nongkrong memperhatikannya. Lalu bagaimana dengan muballigh yang lain. Apalagi muballigh yang baru naik daun. Mereka mengisi acara siaran di radio-radio lokal.
Masyarakat harus berpartisipasi dalam dialog-dialog di radio lokal. Ini namanya perubahan peran. Maksud saya bukan hilang peranannya para muballigh, tidak. Tidak akan hilang, memang – tapi berubah tempat. Banyak pendeta-pendeta di Amerika yang mengisi acara di TV. Hidup mereka seperti di istana. Ada pendeta Jimmy Syeger yang dua tiga tahun lalu terbukti melakukan hubungan seksual di luar perkawinan. Tapi kekayaannya, luar biasa. Mobil mercy nya saja ada 20 belum yang lainnya, itu duit dari mana? Inilah dunia modern. Itu dunia elektronik. Jadi kesana larinya.
Artinya masyarakat makin beragam dan dikuasai oleh pembentukan pendapat umum melalui elektronika melalui media komunikasi. Misalnya telpon, pemerintah terpaksa melakukan keterbukaan dalam pers dan sebagainya karena ada internet. Internet itu jangan nggak tahu. Di internet orang akan bisa dapatkan siaran gelap. Saya kemarin dapat dari internet diprint oleh teman, surat yang menjelek-jelekkan Pak Moerdiono. Bukan hanya kita user (pemakai) penerima bisa ngeprint dari TV. Kita juga dapat mengirim tanpa diketahui bahwa yang ngirim kita. Asal kita punya fax, sudah jadi. Dengan kata lain dunia itu sudah berkuasa. Sudah mulai menunjukkan taringnya. Tidak ada jalan bagi pemerintah untuk nyetop TV dan komputer serta fax dan telpon. Apa mungkin?
Tahun 2010 akan ada yang seperti itu. Pertanyaannya siapkah para muballigh yang menghadapi kondisi demikian itu? Sanggupkah para generasi muda, taruhlah sekarang yang usianya antara 30-40 tahun yang akan datang untuk melakukan antisipasi terhdap kebutuhan masa depan. Jangan hanya seperti sekarang ini, muballigh-muballigh kita ya maaflah bicaranya sih boleh, gede, seperti KH Nur Muhammad Iskandar SQ, KH Zainuddin MZ, H. Rhoma Irama. Ini saya katakan dengan segala kecintaan saya kepada mereka, dengan keintiman dan keakraban saya kepada mereka. Tapi di sisi lain saya sangat kasihan kepada mereka.
Memang, jangan bicara masalah duit dengannya. Kalau duit mereka sudah kaya. Mobil sudah bagus-bagus. Kasihan saya adalah mereka berusaha merebut penerimaan Islam gedongan. Dengan menampilkan diri sebagai orang modern yang serba bisa. Dan di belakang punggung mereka diketawain banyak orang. Kenapa? Istilah inggrisnya saja kadang belepotan. Ngundang mereka karena tidak ada lagi yang diundang. Diundang, kasih duit banyak-banyak disuruh bicara. Masalahnya Islam gedongan malas ngapalin do’a. Pinginnya amin amin saja. Ibadah itu cukup dengan amin amin saja.
Tapi di masa depan lain kebutuhannya. Maka hendaknya jangan jadi seperti itu, epigon-epigon modernisasi. Tidak perlu jadi orang yang pinter bahasa. Bahasa sana bahasa sini. Tapi lebih penting adalah lebih menguasai ke dalam. Yang dikagumi orang gedongan sekarang adalah seperti Kiai Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz yang telah diakui perbendaharaan kitab kuningnya. Kiai Ali Yafie perbendaharaan kitab kuningnya tidak perlu ngomong dengan istilah muluk-muluk. Nggak mau lebih modern dari yang dihadapi. Ya dia ultra modern. Dia mau coba yang lebih modern. Dengan model menggal-menggal kitab kuning. Justru model seperti itu nggak bakalan menang.
Tapi dengan kemampuan mengadaptasikan dan menerapkan dalam kehidupan modern yang komplek. Malah akan lebih baik. Ini ngak ngomong soal politik. Apalagi soal Abu Hasan. Saya menunjuk sebagai kasus. Bukan sebagai persoalan. Kasus bagaimana orang menanggapi suatu persoalan. Kasus bagaimana orang menanggapi. Bukan masalahnya itu, saya nggak perlu bawa kesini. Terlalu kecil untuk saya bawa-bawa ke forum.
Contoh, apa komentar Kiai Sahal terhadap persoalan tersebut, “itu kan urusan di luar PBNU, jadi itu urusan pemerintah, bukan urusan kami. Kalau sudah masuk ke tempat kami, baru kami pikirkan,” kata Kiai Sahal. Jawaban tersebut kan sederhana. Ini ilmu manteq kitab kuning. Yaitu berfikir secara manteq. Bukan urusan kita, kita koq repot. Kagumnya orang dengan beliau kan di situ. Atau kiai muda H. Yusuf Muhammad dari Jember. Pertanyaannya adalah “sudah relevankah DPR RI dalam fungsi demokratisnya itu (permusyawaratannya) dengan konsep Syuro dalam Islam”. Dia nggak tahu teori parlemen yang muluk-muluk, yang dia tahu konsep syuro. Karena itu dia mengajak orang yang ahli konstitusi (ahli Undang-undang dasar 45) mari kita bicara. Semua kagum. Sebab penguasaan teori syuro bukan main. Lalu Kyai Aziz Masyhuri, kiai Aziz itu bagiannya KB dan lingkungan sudahlah jangan berani ngomong apa-apa di depan beliau, soal itu. Itu semua kitab kuning sudah di telapak tangannya, materi tentang Lingkungan dan Keluarga Berencana sudah hafal. Tanpa pakai modal harus memaksa diri memakai bahasa Inggris, ya sudahlah wong nggak apa-apa. Pak Suharto – Presiden kita saja nggak biasa bahasa Inggris koq. Lho buktinya kalau pidato pakai bahasa Indonesia. Itu namanya orang yang “prasojo”. Orang yang menunjukkan kesederhanaan jiwa. Yaitu; Agung dan Anggun tapi sederhana. Tidak berbelit-belit. Nggak ada complain yang macam-macam. Nah ini yang saya maksudkan.
Demikianlah bila NU di masa depan kalau dilihat dari sudut dakwah. Namun saya akan melihat dari sudut generasi muda. Artinya tugas generasi muda di bidang dakwah. Saya tidak ingin konteks negara atau konteks Iptek dll- bukan itu. Porsi masalah dakwah.
Bagi para da’i siapkah mereka mengambil peran yang berarti di dalam tahun 2010. Dimana masa itu menjadi masa transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Yaitu antara tahun 2000 sampai 2010. Sekarang kita ini masih masyarakat tradisional. Masih mudik kalau lebaran. Masih paternalisitik. Jadi apa-apa masih sang Bapak. Budayanya Asal Bapak Senang. Jadi perangkat lama yang begitu feodal masih dipakai. Termasuk feodalisme yang dikembangkan dari ajaran agama. Ajaran agama itu nggak salah, Laisa minna manlam yarcham Shoghirona wala yuwakkir kabiirona, kan tidak berarti cium tangan. Kan tidak berarti memprioritaskan pendapat orang tua. Juga tidak berarti beda pendapat dengan kiai harus dibungkam. Bukan itu. Prosesnya harus jauh lebih elegan. Justru beban ulama dan orang tua adalah untuk lebih bisa menerima pemikiran orang muda. Itu baru namanya man yarcham soghirona. Artinya, posisinya sudah begitu. Bicara dan posisi itu harus menyaingi. Sementara posisi generasi muda kita sudah berada dalam posisi kalah. Posisi mereka sudah dalam posisi yuwakkir. Cuma gaya, yang jadi masalah sekarang. Apakah kita harus jadi kurang ajar moralnya. Nggak perlu kurang ajar. Tapi bisa menyampaikan pendapat-pendapat. Jadi penerapan ajaran agama itu diterapkan keliru selama ini. Ya gara-gara hanya melihat di ta’limul Mutaa’llim Harun Nur Rasyid anaknya disuruh mencuci kaki gurunya. Dan itu sebenarnya, ta’lim mutaa’llimnya tidak salah, karena itu jaman dulu belum ada sepatu tapi masih sandal semua. Nah sekarang Pak Harto tiap hari pakai sepatu. Buru-buru kita copot lalu dicuci, ngapain. Itu kan sudah bersih. Dari pagi sampai sore dia ganti-ganti sepatu. Mulai dari sepatu golf, sepatu di rumah sampai sepatu dinas kog dicuci kakinya. Cara lain dong kalau begitu.
Maksud saya adalah masa transisi sekarang ini masih tradisional. Tahun 2000 sampai tahun 2010 itu masa transisi. Tahun 2010 kita sudah modern. Puncaknya pada tahun 2020 mutlak modern. Pada saat itu, terus terang saja, anak muda nanti sudah tidak mau lagi dicariin jodoh oleh orang tuanya. Kalau sekarang masih mau. Tapi pada tahun 2020 bapak bisa-bisa diusir oleh anaknya. Perubahan sosial yang luar biasa. Maka sudah siapkah mereka menerima perubahan-perubahan nilai. Perubahan nilai itupun tidak mudah kita lerai. Karena selalu ada konflik nilai. Masyarakat yang hidup dan berkembang adalah masyarakat yang mampu menjalani konflik nilai dengan baik. Sebab konflik itu yang paling inheren (paling asasi) dari kehidupan masyarakat yang betul-betul dinamis. Rasulullah SAW sendiri yang mengatakan bahwa Ihtilaful Ummati rohmatun. Itu bukan geger posisi soal kedudukan. Tapi perbedaan pandangan-pandangan karena perbedaan nilai. Bahwa saat ini bergulat di Indonesia 3 (tiga) perangkat nilai;
1. Nilai-nilai yang diikuti oleh banyak orang.
Itu tentang persatuan, kesatuan, perlunya damai, perlu adanya pemerintahan yang bersih.
2. Nilai-nilai yang dipersengketakan.
Dalam hal ini, ada tiga jurusan; Yakni nilai humanisme universal yaitu terpadat manifestasinya adalah apa yang dinamakan deklarasi hak-hak asasi manusia oleh PBB. Hak-hak tersebut dikembangkan terus. Ada hak wanita dan ada juga hak pekerja seksual. Artinya pelacur punya hak. Dan ini sepi dari nilai-nilai agama. Seperti di Amerika menerima tuntutan anak umur 10 th. agar dinyatakan bukan anak kandung dari orang tuanya. Kalau ini terjadi di sini, bisa jadi ribut, tidak mengakui orang tua seperti si malin kundang. Tetapi, di sana sudah menjadi hal biasa. Terus sayap di masyarakat bebas nilai. Jadi yang ada aturan undang-undang. Sedang yang lain itu urusan pribadi warga masyarakat. Dan itu ditentang sekarang. Patt Robert membentuk Kristen Qualition (kualisi Kristen). Yang ini bukan Kristen lagi tapi sudah anti Tuhan. Orang Kristen saja tidak mau menerima apalagi orang Islam.
3. Nilai wawasan kebangsaan.
Bahwa agama, termasuk agama Islam, itu tidak untuk satu ummat. Kecuali Yahudi, yang lain adalah untuk semua ummat manusia. Itulah pentingnya ballighu ‘anni walau ayat harus disampaikan karena ini menyangkut seluruh manusia. Bandingkan khoiru ummatin karena semua itu mukhotthob terhadap risalah Islam. Jadi, mempunyai jangkauan dan cakupan universalnya sendiri. Hal ini mendunia juga terhadap soal nilai agama. Kalau kita kemana saja ketemu Pendeta Katolik ya dia akan bilang anti KB. Paus sendiri melarang atau tidak setuju dengan KB. Paus itu menentang dengan KB yang dijalankan sekarang. Mereka mempunyai konsep sendiri dengan istilah keluarga sejahtera tapi tanpa melalui pil dsb. Kita pergi kemana saja ke dunia Islam akan ketemu dengan para pemuka agama, atau pemimpin agama atau muballigh atau apapunlah yang menekankan pentingnya akhlak. Kebejatan akhlak adalah tanggung jawab ummat bukan tanggung jawab pribadi. Apalagi kalau sudah lebih dalam lagi kita gali bahwa hukum-hukum yang ditarik dari dalil-dalil syara’. Nah ini artinya sejumlah ahkam yang muhkamah. Anda semua seneng kek, lu mau benci kek ini punya gue. Lu mau ape. Babi itu haram. Minuman keras juga haram. Orang Islam batal kalau melakukannya. Biar sampai dicekek lehernya dia tetap bilang haram. Nggak bakal dia bilang halal. Kalau kemudian banyak yang bilang begitu, tetapi sambil melanggar. Itu soal lain. Tapi maksud saya adalah bagaimana cara mensikapinya.
Di sisi lain kita hidup sebagai bangsa yang punya pagar-paganya sendiri. Sebab nilai itu pagar yang mengatur hidup kita jangan sampai bertabrakan satu sama lain. Nah pagar-pagar nasional ini belum tentu sama, pada pagar Islam setiap pemerintah yang mengijinkan minuman keras dia sama juga orang yang berbuat membuat minuman keras. Apalagi menarik pajak dari situ. Ini universalisme Islam. Hal itu khusus berlaku untuk orang yang berpandangan Islam nggak mau bikin pabrik minuman keras. Itu urusan you tapi ini Cina (Konghucu) yang bikin. Di sini terus tabrakan dengan yang universal Karena di sini memperlakukan SIUPP dan sebagainya. Adapun hak asasi manusia mengatakan “jangan”.
Itu namanya kebebasan menyatakan pendapat dipasung. Sedangkan dalam Islam ini tidak setuju. Kebebasan pendapat boleh tapi ini bisa tidak cocok dengan beberapa bagian dari hukum nasional kita atau nilai-nilai kebangsaan kita.
Jadi di sini kita melihat bahwa selalu ada konflik nilai antara ketiga macam sistem nilai tersebut. Sistem nilai yang timbul dari pola peri kemanusiaan yang umum, di satu pihak universalisme agama dan wawasan kebangsaan. Tapi bagaimana antisipasi kita pada tahun 2010? Apa yang mungkin timbul dari situ? hal seperti ini harus kita pikir secara mendalam. Sebab tahun 2010 sudah ada hasilnya. Kalau nggak ada hasilnya akan ditinggal semua. Sebab manusia pada tahun 2010 nanti sudah lain lagi, tidak seperti sekarang. Rumah mereka sudah falt-flat dan tidak kenal satu sama lain. Kalau punya paman jauh di sana ditengokin setengah tahun sekali. Kalau punya bapak jompo dikirim ke rumah jompo daripada ngerecokin di rumah. Kalau para orang tua jompo tidak dirawat sudah tahulah konsekuensinya.
Belum lagi kita bicara masalah struktur negara. Negara yang seperti apa yang akan kita miliki. Apakah proses demokrasi liberal atau demokrasi yang seperti sekarang. Apapun namanya saya nggak tahu. Kalau dikatakan demokrasi Pancasila, saya keberatan. Sebab itu menghina Pancasila. Juga masalah ekonomi, apakah ekonomi kita sudah dikuasai oleh orang luar. Sementara kita enak-enak dan senang-senang berestablis (ber-mapan-mapanan) dalam 5 tahun terakhir ini. Muballigh kita juga harus tahu kebobrokan pelayaran kita, umpama. Kita banyak nggak ngerti ini, para muballigh tidak tahu. Kenapa, karena yang dilihat yang baik-baik saja. Namun ceritera jelek dibalik itu tidak tahu.
Juga soal kapal terbang. Sekarang yang banyak dibicarakan soal M 250, yang harganya selangit. Kenapa saya kritis? Karena pesawat itu bisa dijual dengan harga 12 juta dollar. Bahkan kalau lengkap dengan sistem lainnya bisa 14 juta dollar. Muatannya hanya 50 orang. Coba simak Boing 737 yang muatannya 130 orang itu harganya 17 juta dollar. Jadi kalau mau beli tambah 3 juta saja sudah dapat yang muatannya hampir 3 kali lipat. Persoalan seperti ini tidak diapit dengan pemikiran teknologi. Industrialisasi tidak bisa berjalan hanya dengan teknologi tapi dengan jiwa kewirawastaan dan jiwa dagang. Orang dagang kalau mau bikin apa-apa, laku nggak? Bukan masalah bisa membuat atau tidak. Ini suatu contoh banyak suka duka di kemudian hari yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan kita sekarang. Hal seperti ini seharusnya kita tanggap dan mengetahui masa depan kita semakin tidak cerah.
Kemudian ada prospek NU? Bergantung dari kemampuan para muballigh untuk mengembangkan kemampuan melakukan antisipasi terhadap perubahan sosial yang ada. Kalau tidak melakukan antisipasi itu, maka akan tertinggal. Tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Hal itu tidak berarti bahwa kita akan menempuh artificial (cara-cara semu) untuk menjadi sok pinter, sok menguasai kayak sementara muballigh-muballigh kondang kita, itu tidak memecahkan masalah sebab kandungan isinya hampir-hampir tidak ada.
Saya kemarin ikut buka di Pranata UI, dimana Dr. Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam ahli ilmu politik dari LIPI nota bene adalah putra Abdul Fattah almarhum salah seorang wakil Rois Syuriah Jawa Timur dan mursyid tarekat. Ini Doktor kita yang ahli politik tentang Sosio Socity terutama gerakan buruh di Indonesia, dia itu berbicara tentang Islam dan Demokrasi dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an secara jernih. Nah contoh semacam ini, mampukah muballigh-muballigh kita besok menandinginya. Tentu harus bisa, artinya harus tahu issue-issue pokok bangsa kita di masa datang. Dan harus tanggap dan sensitif.
Jangan seperti sekarang sejumlah muballigh masih ribut soal syi’ah. Untuk itu masyarakat tidak peduli. Golkar diketawain, PPP diketawain dan PDI juga diketawain. Semua itu diketawain dan rakyat itu tidak perduli melihat semuanya. Kecuali yang dibayar itu yang ngotot atau yang dapat keuntungan dari situ. Sedangkan yang lain Off Hand dan bangsa kita benar-benar menjadi floating mass (masa yang mengambang). Bangsa yang mengambang dari komitmen politik. Kalau mentalnya nggak tahu masalah ini, dimarah-marahi masih ngotot juga belain P3, lama-lama yang nggak ada yang mengundang. Kecuali P3 sendiri. Jadi mengecil sekmen publiknya. Kalau ada sekmen pasar itu sekmen publik mengecil. Apalagi brangasan nggak karuan-karuan kayak Kiai Hamid Baidlowi dari Lasem, itu sudah nggak bakalan ada yang mengundang lagi. Sementara ukuran-ukuran yang diberikan kepada kader-kader muballigh sama dengan yang dulu. Sebagai contoh, (yang saya juga ikut kasihan kepada dia) bahwa Kiai Zainuddin MZ foto bersama dengan Nia Daniaty yang berada dalam cover Tabloid Citra, kalau begini saya rasa rontok separo itu publiknya.
Tapi ya kenapa dia membiarkan dirinya difoto untuk cover sebuah tabloid bersama artis. Nah di sini ukurannya. Karena di sini ukurannya tetap diukur secara moral. Tetapi tuntutannya beragama, harus mengerti issue-issue sentral dalam kehidupan bangsa dan tidak boleh luput yang benar-benar dianggap sentral oleh bangsa. Jangan bikin issue sampingan semu. Kalau ini dilakukan maka para muballigh itu akan ditinggal lagi. Contohnya lain H. Abdur Rasyid putra Kiai Abdullah Syafi’i yang mempunyai perguruan As-Syafi’iyah. Dimana Abdur Rasyid itu tambah lama tambah mengecilkan publiknya. Dulu ayahnya publiknya selebar itu, sementara publik anaknya tambah mengerdil. Karena dia (Abdur Rasyid) satu monoton, itu-itu saja dan nggak bisa lagi. Dan memang modalnya cuma mau marah-marah. Bagaimana mungkin.
Jadi di sinilah para muballigh itu tertantang untuk mencermati terhadap persoalan-persoalan mengenai prospek NU di masa depan. Di mana hal itu adalah sebagai tanggung jawab para da’i semua yang harus melakukan proyeksi masa depan itu seperti apa dan harus mampu mengembangkan peran di dalamnya.