PBNU Tidak Berharap Banyak
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ringkasan keterangan Ketua Umum PBNU, Abdurrahman Wahid, kepada para wartawan di kantor PBNU Jakarta, Kamis (7/11)
Tentang makna politis pertemuan dengan Presiden Soeharto?
Kita harus tahu dulu apa latar belakangnya sampai Pak Harto datang dan bermesra-mesra dengan kita. Sebetulnya ini upaya koreksi diri Pak Harto. Pak Harto itu, sejak akhir 80-an, menyadari telah terjadi kekeliruan besar dalam perkembangan politik di negeri kita. Yaitu, gerakan Islam kurang mendapat tempat secara proporsional dalam negara. Begitu banyak gerakan dan golongan yang berkiprah – sosialis, demokrat, nasionalis, gerakan ini-itu, pokoknya macam-macamlah. Gerakan Islam sendiri, dari berbagai golongan, ternyata kurang mampu memanfaatkan konsep kekaryaan. Situasinya lalu tidak proporsional.
Sementara gerakan atau golongan lalu menjadi lebih dominan, meski kekuatan dan jumlahnya lebih kecil. Maka kita lihat, misalnya, di Golkar, tokoh-tokoh Kristen dimasukin, yang top-top semua. Yang dari gerakan Islam siapa? Yang diambil tokoh-tokoh kelas empat. Yang gede-gede belum masuk. Kalau mau berkembang, sono, di PPP, jadi oposisi. Digodain, akhirnya jadi oposisi, lantas habis kekuatannya. Ganti lagi yang lain.
Nah, yang gini-gini disadari Pak Harto, dan harus dikoreksi. Maka Pak Harto mengembangkan kekuatan Islam dalam bidang politik. Akhirnya, lahirlah ICMI. Tadinya ICMI dimaksudkan sebagai organisasi payung bagi semua organisasi Islam. Ternyata dia bukan umbrella bagi semua golongan Islam, tapi dominasi pihak yang lebih gede atas yang lebih kecil.
Maka Presiden menyadari hal ini. Politik tidak boleh didominasi oleh ICMI atas nama mayoritas Muslim. Itu obat yang salah atas penyakit yang betul. Sehingga kelompok-kelompok besar di masyarakat kita. Kayak NU, teralienasi dari kehidupan politik, tak bisa ikut serta. Lalu menjadi diam, nggak peduli, asyik dengan caranya sendiri, dan lama-lama kehidupan politik jadi keropos.
Karena itu, Pak harto bikin koreksi lagi. Jadi, sekarang ini merupakan koreksi atas koreksi. Nah, begitulah cara saya membaca latar belakang mengapa beliau bersikap kepada NU sekarang. Namun, bukan kepada NU an sich, tapi kepada pesantren, karena pesantren itu basisnya NU.
Tentang komitemen Pak Harto.
Ya… nggak ada komitmen apa-apa. Komitmen apa? Beliau kan cuma mengoreksi yang salah itu, dengan menunjukkan “bukan kamu aja yang ada dalam gerakan Islam. Ada yang lebih gede”. Nah, bisa saja yang gede ini disantuni, dirangkul. Kita sendiri nggak berpikir begitu. PBNU tidak mengharap terlalu banyak. Kita menyadari, dengan kekuatan massa yang begitu besar, NU dalam posisi apa saja juga nggak pusingin orang lain, dan nggak pusingin sendiri.
Tentang harapan massa Abdurrahman Wahid.
Nggak, mereka tidak berharap, mereka sudah terdidik, kok. Mereka sudah lega setelah pertemuan itu. Jadi, percaturan antara hasil Cipasung dan yang disebut KPP NU Abu Hasan itu nggak ada apa-apanya. Gemanya di daerah nggak ada. Mungkin memang ada wilayah NU yang terpengaruh, seperti Jambi dan Kalimantan Selatan, tapi cabang-cabangnya tidak.
Jadi, ini suatu kondisi baru yang positif, yang memberi dampak secara psikologis. Tapi, secara konkret, tak akan membuat perimbangan kekuatan yang dratis. Jadi, orang nggak perlu khawatir Pak Harto berubah, lalu berpikir “nanti nasib gua gimana?“
Saya bilang sama mereka, jangan ada over interprestasi-lah. Jangan berlebihan. Kayak-nya NU akan dikasih jatah ini-itu. Nggak. Itu omong kosong. Kalau kita berpikiran kayak gitu, ya balik lagi ke cara-cara lama. Sistemnya begitu, Golkarnya begitu, PPP-nya begitu. Masak kita mau ikutan begitu. Masih cukup banyak tempat untuk sikap yang berperspektif jangka panjang, bukan hanya untuk kebutuhan-kebutuhan sesaat. Yang bisa memulai itu adalah NU, karena NU-lah yang sudah mandiri.