Pedang Gideon dan Abu Jihad
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Penulis pernah menonton tayangan video berjudul sword of gideon, cerita tentang sebuah regu pemandu yang disiapkan dinas rahasia Israel, Mossad. Regu pemandu itu melakukan pengejaran dan pembasmian sejumlah orang Palestina, yang dinyatakan sebagai otak pembunuhan terhadap para atlet Israel di Olimpiade Munich. Semangatnya adalah pembalasan dendam terhadap kekejian para teroris Palestina itu, tetapi dengan cara yang sama kejinya. Tujuannya adalah menciptakan rasa takut sedemikian rupa sehingga para teroris lain tidak akan berani melakukan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi di mana pun.
Melalui latihan seksama dan didukung ketrampilan sangat tinggi untuk melakukan operasi rahasia seperti itu, regu lima orang itu akhirnya berhasil melakukan misinya. Dengan korban empat orang, tinggal seorang saja yang hidup -pahlawan cerita film tayangan video tersebut. Terus terang penulis lupa nama tokoh itu karena pada dasarnya tidak suka dengan jagoan yang serba keras. Yang penulis senangi adalah kesudahannya. Sang jago itu berhasil melenyapkan teroris terakhir yang menjadi sasaran regunya. Tapi ia menyaksikan sendiri bahwa yang mati adalah seorang ayah dari seorang anak perempuan kecil, dan suami seorang wanita yang hidupnya terus menerus diburu ketakutan akan keselamatan suaminya. Ketakutan itu akhirnya terbukti, karena jago itu berhasil meledakkan mobil sang suami; dalam pandangan mata sang istri. Muak juga jago itu terhadap kesucian tugasnya, terhadap kewajiban membela tanah air; dan terutama terhadap semangat balas dendam yang harus dipikulnya atas nama keadilan yang dibawakan Gideon. Ia melarikan diri bersama anak istrinya ke New York. Dibujuk dan dirayu oleh Mossad untuk kembali ke Israel, dengan uang dan balas jasa lainnya, ia tetap tak mau. Ia memilih menjadi sopir taksi di New York daripada harus tetap hidup dalam situasi masyarakat yang memaksanya bertindak di luar perikemanusiaan. Namun, ketika Israel diserang Mesir dalam tahun 1973, melalui “Perang Ramadhan” atau “Perang Yom Kippur”, ia kembali tidak tahan lagi dalam pengasingan individual yang dilakukannya. Ia kembali ke Israel, memimpin sebuah satuan kavaleri lapis baja.
Apakah memang manusia harus bersama tindak kekerasan, bahkan memujanya? Tidakkah manusia mempunyai peluang untuk memilih cara lain untuk menyelesaikan sengketa, tanpa melihat besar dan kecilnya sengketa itu sendiri? Kalau dapat, mengapakah tindak kekerasan tampaknya menjadi satu-satunya kata akhir dalam menyelesaikan sengketa masif? Bahkan, bukankah manusia sepanjang sejarah terlalu sibuk dengan mempersiapkan diri untuk menghadapi serbuan orang lain? Bukankah manusia tidak berpeluang lagi mempertanyakan kebenaran asumsi akan adanya ancaman serbuan itu sendiri, potensial sajakah ia, ancaman nyatakah, ataukah hanya sekadar imajiner belaka?
Pemikiran kita lalu menjadi kabur oleh kenyataan dahsyat akan kemapanan tindak kekerasan dalam benak kita, seakan-akan ia barang wajar saja. Kepahlawanan lalu diukur dengan kemampuan tindak kekerasan belaka. Seperti usul wakil ketua DPR/MPR Dili, Syaiful Sulun, agar 19 Desember 1948 diperingati sebagai Hari Nasional, hari ketika ABRI di bawah Panglima Besar Jendral Sudirman memulai perlawanan bersenjata terhadap Belanda, yang hari itu menduduki ibukota RI Yogyakarta dan menawan semua pimpinan negara waktu itu. Hari yang melambangkan perlawanan bersenjata sebagai responsi paling benar terhadap aksi polisional II Belanda, tetapi juga hari untuk mencerca sikap Soekarno-Hatta untuk membiarkan diri ditangkap Belanda.
Jika diterima usul tersebut, sama saja artinya dengan menegaskan totalitas perjuangan bangsa untuk merebut dan kemudian mempertahankan kemerdekaan, tapi hanya tindakan militer saja yang boleh dihitung, tindakan diplomasi hanyalah sarana penunjang saja.
Pembunuhan atas Abu Jihad di Tunisia kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kedudukan tindak kekerasan seperti tertuang di atas. Nilai-nilai dasar kemanusiaan kita terbuka. Benarkah cara pembunuhan dapat disahkan untuk menyelesaikan konflik politik? Apakah itu dilakukan oleh Abu Jihad terhadap penumpang bus di Israel melalui satuan-satuan teroris yang dilatih dan diaturnya untuk membajak bus tersebut atau oleh satuan Mossad atas diri Abu Jihad sendiri di Tunisia?
Lebih jauh lagi, jika Abu Jihad harus “dihukum” sedemikian keji karena “kejahatan”-nya merencanakan dan mempersiapkan terorisme di Israel, apakah hal yang sama tidak juga patut dilakukan atas diri Yitzhak Shamir, Shimon Peres, dan Yitzhak Rabin selaku pengambil keputusan bagi tindakan tersebut?
Manakah yang lebih jahat, antara pelaku tindak kekerasan atas nama perjuangan kemerdekaan (seperti Abu Jihad), dan atas nama mempertahankan keamanan dan ketertiban (Shamir dan kawan-kawannya)? Kalau kedua tindakan yang menghabiskan nyawa orang itu tidak boleh dilakukan, bolehkah kita lalu membenarkan “tindakan ekstra” seperti pembunuhan misterius untuk membasmi kejahatan? Berondongan pertanyaan yang serba mengusik hati itu akhirnya mengendap di dalam diri penulis, menjadi kesadaran akan perlunya sebuah sikap hidup yang jelas-jelas menolak “relevansi” tindak kekerasan, apa pun motif, bentuk, lingkup, dan caranya.
Sikap menolak kekerasan (non-violence) adalah sikap Buddha Gautama ketika mencari kebenaran abadi setelah jenuh dengan kepalsuan dunia. Sikap Jesus-Kristus yang menyediakan diri untuk disalib oleh kecongkakan penguasa (terlepas dari jadi atau tidaknya ia disalib, yang menjadi urusan para teolog, bukan urusan penulis). Sikap Nabi Muhammad yang membiarkan diri dilempari batu oleh orang-orang Mekkah dalam membawa suara kebenaran. Sikap Gandhi dan Martin Luther King Jr. dalam memperjuangkan kebebasan bagi bangsa dan kaumnya. Sikap Uskup Agung Desmont Tutu yang menentang apartheid di Afrika Selatan.
Ternyata, cara melakukan sikap menentang kekerasan (non-violence disobedience) telah dibuktikan menjadi senjata ampuh oleh sejarah. Dalam menyelesaikan sengketa, dalam memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan, dan dalam menentang kelaliman dan penindasan. Hanya memang hasilnya lama sekali baru dapat dirasakan, itu pun melalui pengorbanan sangat besar. Karenanya lalu muncul pertanyaan susulan berikut: Relevankah cara itu, karena korban yang jatuh kok sama besarnya? Terhadap pertanyaan di atas dapat dikemukakan jawaban, bahwa sikap menolak kekerasan tetap relevan. Karena, yang menjadi korban lalu tidak berubah menjadi binatang buas yang tidak berperikemanusiaan. Pelaku kekerasan atas diri merekalah yang berubah watak seperti itu, sehingga ada perbedaan kualitatif yang amat mendasar. Mereka yang menjadi korban tindak kekerasan karena memperjuangkan sikap menolak kekerasan adalah pahlawan kemanusiaan. Tidak demikian halnya dengan pelaku tindak kekerasan itu, apa pun motif dan dalihnya ia tidak bisa menjadi pahlawan pengabdi kemanusiaan. Yang dapat menjadi pahlawan kemanusiaan di antara para pelaku itu, hanyalah mereka yang secara instintif harus membela keselamatan diri. Bukannya yang sengaja berangkat dari rumah untuk membunuh.
Tragedi Arab-Israel sudah memutarbalikkan nilai-nilai dasar kemanusiaan itu, jauh melampaui proporsi yang wajar. Sudah saatnya semua pihak yang terlibat berpikir tentang perlunya sikap menolak tindak kekerasan. Dimulai dari diri sendiri tentunya. Bentuk kolektif dari sikap ini adalah kesediaan berunding dan mengakui hak-hak masing-masing untuk mempertahankan atau mewujudkan eksistensi. Mempertahankan eksistensi bangsa Israel, dan mewujudkan eksistensi bangsa Palestina dalam satu negara bagi masing-masing unit etnis tersebut. Refleksi di atas juga harus dilanjutkan dengan kutukan terhadap penggunaan bom kimia, seperti terjadi di Halabceh (Kurdistan) beberapa minggu sebelum Abu Jihad mati dibunuh unit komando Israel. Jika Irak yang melakukan, ia harus dikutuk, jika itu dilakukan Iran sama saja. Tetapi kutukan tokh tidak akan ada artinya, jika masing-masing kita tidak mau memulai dengan sikap dasar menolak kekerasan. Memang sikap yang tidak praktis, itu pun belum tentu hasilnya. Namun, alternatifnya lebih mengerikan: pemujaan kekerasan, seperti yang ditayangkan hiburan masa sekarang. Lalu sikap pasif di hadapan intimidasi kekuasaan yang bertumpu pada tindak kekerasan. Lalu hilanglah perikemanusiaan.