Tinjauan Sosial-Politik Atas Bantuan Hukum Di Indonesia
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tinjauan dari sudut pandang sosial-politik dapat dilakukan atas bantuan hukum di negeri kita melalui berbagai pendekatan, masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Dari sudut kelembagaan, misalnya, dapat dilihat pola-pola hubungan yang berkembang antara lembaga-lembaga bantuan hukum sebagai organisasi non-pemerintah (non governmental organization) di satu pihak dan lembaga-lembaga pemerintahan di pihak lain. Pendekatan inipun dapat dirinci lebih jauh lagi dengan melihat pola hubungan prosedural antarlembaga, pola pembagian wewenang pengurusan perkara di bidang litigasi, pola perumusan kebijakan dasar di bidang pembuatan undang-undang dan seterusnya. Sedangkan salah satu pola tersebut dapat dirinci lebih jauh lagi, seperti peran lembaga bantuan hukum untuk melakukan koreksi atas pelayanan yang salah di pihak lembaga pemerintah kepada pihak yang dirugikan oleh pelaksanaan prosedural yang tidak jujur dan demikian seterusnya.
Namun tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kajian tuntas yang merangkum semua pendekatan yang mungkin dilakukan. Karenanya, tinjauan hanya dilakukan atas sebuah aspek saja dari sekian banyak aspek bantuan hukun, yaitu prospek bagi bantuan hukum itu sendiri di masa depan, dilihat dari proyeksi kehidupan sosial-politik kita akibat rekayasa (engineerings) di berbagai bidang kehidupan saat ini maupun di masa lampau. Dengan sendirinya sudut pandang seperti ini akan membawakan keterbatasan-keterbatasannya sendiri, yang paling utama di antaranya adalah metode penyimpulan dan perkiraan keadaan di masa datang, yang mungkin akan lebih banyak bersandar pada tilikan akal sehat (common sense) daripada penalaran ilmiah.
Salah satu ciri pokok dari bantuan hukum di negeri kita adalah kaitannya yang sangat kuat dengan idealisme, dalam arti ia menjadi bagian dari proses demokratisasi kehidupan bangsa. Di masa lampau, bantuan hukum (sebelum ia menjadi program yang berdiri sendiri dan masih menjadi pelayanan pengacara kepada calon langganannya), sangat erat berkaitan dengan kiprah para pengacara kita dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika kemerdekaan telah tercapai dan jalannya pemerintahan oleh bangsa sendiri mulai menunjukan merosotnya disiplin hukum, bantuan hukum masih berpegang pada idealisme itu, dan mengambil bentuk upaya korektif terhadap perilaku individual para aparat penegak hukum yang melakukan kesalahan atau menyimpang dari wawasan keadilan hukum dalam menangani perkara. Dan ketika semakin nyata bagi para pejuang demokrasi bahwa penyelewengan hukum oleh aparat penegak hukum sendiri adalah hasil belaka dari proses rekayasa politik dan ekonomi yang justru dilakukan oleh pemerintah sendiri, dengan sendirinya bantuan hukum lalu mengambil watak upaya koreksi struktural seperti yang kita lihat dengan adanya LBH saat ini.
Jika dilihat dari perspektif ini, tidak mengherankan jika bantuan hukum tidak hanya menjadi monopoli kaum pengacara belaka, melainkan melibatkan semua pihak yang merasa prihatin dengan kelestarian kebebasan individu (civil liberties) di hadapan penekanan semakin besar kepada kepentingan masyarakat (dan akhir-akhir ini kepentingan negara). Situasi klasik berupa pergulatan berkepanjangan antara kebebasan individu melawan kepentingan masyarakat, adalah gambaran utama dari kiprah bantuan hukum di negeri kita. Munculnya sekian jumlah lembaga-lembaga bantuan hukum yang tidak memiliki wawasan perjuangan seperti itu pada tahun-tahun terakhir ini, ternyata tidak mengurangi hakekat kiprah bantuan hukum di negeri kita. Watak yang sedemikian sarat dengan idealisme seperti itu dengan sendirinya lalu memberikan corak holistik kepada kiprah bantuan hukum, yaitu pandangan hidupnya yang menekankan pada keutuhan wawasan dan kebulatan visinya tentang pengaturan masyarakat. Dalam pandangan yang holistik seperti itu, wawasan keadilan yang demikian tentu berkembang menjadi sesuatu yang berwatak quasi-ideologis, bahkan tidak ideologis sama-sekali. Unsur-unsur wawasan keadilan seperti itu, seperti kesamaan derajat antara warga negara di hadapan undang undang, lalu menempati posisi sakral dan menjadi sesuatu yang ideologis, dalam arti menjadi kebenaran yang tidak dapat dikurangi sedikitpun (absolutely irreducible truth).
Dengan sendirinya tidak dapat dihindari pertentangan kepentingan dan titik tolak pandangan antara sikap ini di satu pihak dan sikap ad hoc yang diambil aparat pemerintah di pihak lain dalam masalah-masalah fundamental, seperti penegakan hak-hak asasi manusia dan netralitas lembaga peradilan. Apa yang diperbuat oleh lembaga-lembaga bantuan hukum yang berwatak idealistis lalu tampak seperti gangguan tidak berkeputusan bagi aparat pemerintah yang melakukan perekayasaan masyarakat. Sebaliknya, rekayasa yang dilakukan aparat pemerintahan itu seluruhnya diterima sebagai ancaman bagi kebebasan individu warga masyarakat. Ruang dialog menjadi semakin sempit dari waktu ke waktu, itupun hanya menjadi tempat melakukan tawar-menawar yang bersifat taktis, seperti penyelesaian masalah-masalah prosedural. Lembaga-lembaga bantuan hukum yang berwatak idealistis lalu berada dalam kedudukan menjadi lawan (adversary) aparat pemerintah di bidang penegakan hukum dan penerbitan keamanan.
Masing-masing pihak akhirnya terdorong ke posisi-posisi yang saling berlawanan. Di ujung yang satu, lembaga-lembaga bantuan hukum yang berwatak idealistis terdorong kepada posisi selalu mempertanyakan keabsahan struktur masyarakat yang ada, dan mengembangkan wawasan struktural dalam kiprah mereka. Bantuan hukum adalah salah satu alat penataan, betapa sumirnya sekalipun, bagi tercapainya struktur bebas dominasi (domination-free structure) dalam kehidupan masyarakat bangsa dan masyarakat dunia di kemudian hari. Keberhasilan dan kegagalan yang diperoleh adalah batu-batu bata bagi pembentukan masyarakat seperti itu di masa depan.
Di ujung lain dari spektrum pandangan ini, aparat pemerintah mengembangkan wawasan “kebersamaan institusional” yang akan menjamin terbentuknya masyarakat yang kuat dan mampu memperbaiki kualitas dan mengangkat tingkat kehidupan masyarakat secara keseluruhan, kebersamaan mana akhirnya dirumuskan dalam slogan Demokrasi Pancasila yang lebih menekankan kewajiban atas individu dan hak bagi masyarakat. Kebebasan individu dijamin hingga batas tidak menggagalkan upaya meraih capaian (objectives) dan tidak mengganggu “keseimbangan” individu masyarakat di atas.
Dalam pola hubungan serba juxta-position seperti itu, sulit disediakan sebuah “daerah penyangga” (buffer area) yang memungkinkan pengembangan sebuah daerah tak bertuan guna membahas dan melakukan uji coba atas sejumlah gagasan di bidang bantuan hukum dan penegakan hukum. Padahal justru watak pragmatis dari “lahan uji coba”, dalam batasan mana segala sesuatu dikaji dan diterima atau ditolak berdasarkan hasil telaah teknis, memungkinkan untuk dilakukannya proses tawar-menawar yang kreatif antara kedua belah pihak dapat dilakukan. Dalam proses tawar-menawar seperti itu dapat dikembangkan pendekatan sintetis yang memungkinkan dijaganya berbagai kepentingan dan kecenderungan sambil tetap memelihara kesatuan yang diperlukan untuk membuat sesuatu yang berguna bagi kedua belah pihak.
Melihat kenyataan di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa tantangan utama bagi kelangsungan bantuan hukum yang berwatak idealistis di negeri kita adalah bagaimana menciptakan daerah penyangga yang diolah untuk mencari cara-cara pelestarian idealisme bantuan hukum itu sendiri, sambil tetap memungkinkan berbagai bentuk rekayasa masyarakat secara tuntas. Sudah tentu ada tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Pihak lembaga-lembaga bantuan hukum yang berwatak idealistis haruslah mampu mendudukkan kiprah mereka dalam kerangka yang tidak mengarah kepada pembentukan sistem kemasyarakatan alternatif bagi sistem yang bersendikan Pancasila. Sedangkan sebaliknya, pihak pemerintah haruslah memberikan jaminan kongkret akan lestarinya hak-hak dan kebebasan individu di masa depan, betapa jauhnya sekalipun rekayasa yang dilakukan.
Untuk memungkinkan terciptanya daerah penyangga itu, lembaga-lembaga bantuan hukum hendaknya mampu memproyeksikan kiprah yang menuju kepada demokratisasi sistem pemerintahan yang ada, bukannya pencarian sistem yang lain. Bagaimana menciptakan rasa percaya diri (self confidence) yang kuat dalam diri warga ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia), akan bersedia bersaing secara terbuka dan sehat dengan kekuatan-kekuatan sosial-politik lain tanpa terlebih dahulu membuat aturan permainan yang menguntungkan mereka saja, adalah satu contoh dari agenda kerja kiprah demokratisasi dalam sistem yang ada. Bagaimana memasukkan kiprah bantuan hukum ke dalam kerangka rekayasa yang dilakukan, dengan tetap memiliki kreativitasnya sendiri tanpa mengganggu lajunya rekayasa itu sendiri, adalah tantangan berat bagi pemerintah. Salah satu acaranya adalah dengan membatasi jangkauan rekayasa itu sendiri, agar jangan sampai menjadi penghalang, hanya terbatas pada pengaturan saja, dalam kehidupan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berwatak independen. Kemampuan membedakan antara kegunaan (kontrol) dan pengaturan (regulasi) diperlukan dari kedua belah pihak.
Kalau dapat dikembangkan daerah penyangga yang di dalamnya dapat dikembangkan batasan-batasan gerak kedua belah pihak tetap berada di titik pengaturan dan tidak beranjak ke titik penguasaan, rasanya tidaklah sulit untuk melestarikan bantuan hukum yang berwatak idealistik dalam kerangka rekayasa masyarakat yang dilakukan pemerintah. Dalam keadaan demikian, bantuan hukum akan berfungsi transformatif, tetapi tidak membahayakan integrasi nasional dalam masa-masa kritis seperti sekarang ini.