Memaknai Kebangkitan Nasional

Sumber Foto: https://www.inews.id/news/nasional/bagaimana-cara-memaknai-hari-kebangkitan-nasional-siswa-wajib-tahu

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Memperingati seabad Kebangkitan Nasional tahun ini, kita harus membahas permasalahan yang dulu-dulunya kita abaikan. Selama ini berdirinya organisasi sosial Budi Utomo pada 20 Mei 1908, dianggap sebagai permulaan kebangkitan kita sebagai bangsa.

Mengapa hal itu dipakaikan pada kelahiran Budi Utomo, juga masih banyak diperdebatkan. Karena itu wajar jika ada pihak yang lalu mengutamakan peristiwa sejarah yang “tidak resmi” untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini karena banyak aspek-aspek lain dalam perbendaharaan kesejarahan kita tidak dianggap sama sekali.

Hal di atas serupa dengan “tuntutan” untuk mengakui Dewi Sartika sebagai perintis hak-hak wanita di negeri ini, di samping R.A. Kartini.

Kartini dinilai perintis bagi kemajuan wanita Indonesia di bidang pendidikan. la adalah istri seorang bupati yang bersikap baik kepada pejabat kolonialis. Karena kebetulan bisa berbahasa Belanda dan berkorespondensi dengan perempuan Belanda, Nyonya Abendanon, hal ini yang “membedakan” Kartini dengan perempuan pejuang lainnya.

Korespondensi itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Karya inilah yang antara lain dianggap sebagai momentum, bahwa kita sebagai bangsa yang lebih “maju” dalam menghargai hak-hak wanita. Sekarang ini kita sudah terbiasa dengan perempuan yang menjadi sarjana, bahkan menjadi hakim, dokter Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di daerah-daerah pelosok dan berbagai kerjaan yang secara fisik sangat berat, seperti sopir bus.

***

Ternyata, berpatokan kepada sejarah “resmi” masih dipegang oleh berbagai kalangan di negeri kita. Padahal generasi muda di negeri ini sudah banyak yang merasa bosan dengan sepak terjang yang dicontohkan kaum tua. Contoh paling gamblang adalah korupsi yang merajalela dalam kehidupan bangsa, tanpa ada yang berusaha memperbaikinya. Juga sikap yang terlalu memihak kepada “kaum tua”. Sehingga sering tampak, bahwa orang muda harus berjuang. Hal ini menyesakkan dada mereka yang ingin melihat negeri ini “maju” dan mereka pun menentang sikap kaum tua itu.

Persoalan ini semakin pelik, ketika ketika kaum muda disuruh menghormati kiprah”kaum tua”. Bahkan kaum birokrat mengulang-ulang berbagai rumusan dan ketentuan formal untuk menetapkan apa yang mereka anggap “benar”. Padahal yang dilakukan birokrat itu hanya kebohongan-kebohongan belaka. Dominasi kebenaran itu kemudian direaksi dengan tuntutan terbuka di media massa, agar calon presiden dalam Pemilu 2009 hanya kaum muda saja. Padahal siapa pun tahu, bahwa berlaku ketentuan pemenang pemilu memiliki “hak” untuk memimpin pemerintahan, baik tua maupun muda dalam usia.

Kerancuan kita berpikir ini, tentu ada sebabnya. Sebab utama adalah kenyataan, bahwa bangsa kita memang lebih banyak memilih berdiam diri. Sikap ini oleh mantan Presiden AS Richard Nixon disebut “mayoritas membisu” (silent majority). Dan melalui “pemahaman” akan hal ini Nixon memenangkan kepresidenan AS empat puluh tahun yang lalu.

Nah, bangsa kita pun sebenarnya demikian dalam melihat kasus-kasus yang berkembang di negara ini. Akibatnya sikap semua kaum muslim negeri ini dianggap seperti kaum fundamentalis/radikalis di lingkungan gerakan Islam yang “memaksa”, agar pemerintah segera membubarkan gerakan Ahmadiyah.

Jadi saat ini penulis sedang menunggu adanya larangan dan tindakan seperti yang dituntut mereka itu. Jika pimpinan kelompok Ahmadiyah akan mempertahankan diri dalam sidang-sidang di pengadilan, penulis artikel ini akan menjadi saksi ahli a de charge (meringankan), kalau masih diterima tim pembela.

Dalam artian ini, yaitu menyuarakan kejujuran dan keterbukaan, Kebangkitan Nasional pada saat ini harus dimaknai. Karena hanya dengan kedua prinsip itulah dapat ditegakkan peraturan-peraturan dan undang-undang.

Tanpa kedua hal itu, tidak ada mungkin tegak demokrasi di negeri kita. Dan tanpa demokrasi kita hanya berputar-putar saja seperti sekarang ini. Kalau yang korupsi adalah lawan politik dibawa ke pengadilan; hal mana dinamai penegakan hukum tebang pilih. Tentu saja kita tidak menghendaki hal ini, bukan?.