Kerangka Budaya Lama Dan Budaya Baru
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kalau orang melihat Wonosobo, mau tidak mau ia harus mengetahui, apa yang dilihatnya itu adalah sebuah daerah yang baru. Sebagaimana disebutkan dalam tulisan mengenai Wonosobo, kentara sekali bahwa Wonosobo adalah daerah yang berdiri dalam abad-abad terakhir ini, yaitu abad ke-16 dan ke-17 M, di bawah bupati yang dipimpin oleh pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Tapi, sebenarnya Wonosobo mempunyai sejarah yang lebih lama pada abad ke-6 M, seorang tokoh Budha datang dari Cina ke Sriwijaya. Entah di mana Sriwijaya itu, di Tulang Bawang (Lampung), Palembang ataukah Jambi. Ini masih menjadi perbedaan pandangan di antara para ahli. Nah, pada abad ke-8 M, orang-orang Sriwijaya datang ke Pulau Jawa. Mendarat di pelabuhan lama Pekalongan (karena waktu itu jalan raya antara Pekalongan dan Semarang belum dibuat). Maka orang-orang Sriwijaya itu langsung mendaki pegunungan Dieng.
Di daerah yang sekarang bernama Kabupaten Wonosobo itu, mereka menemukan Kerajaan Kalingga Hindu. Tanpa menggangu orang-orang Hindu itu, mereka meneruskan perjalanan ke arah Tenggara, hingga mereka sampai di kawasan Kabupaten Magelang sekarang, tepatnya di daerah Muntilan. Mereka pun lalu membuat/ mendirikan Candi Borobudur di tempat itu. Sebagian mereka menetap di daerah itu untuk menyelesaikan pembuatan candi tersebut. Tetapi, sebagian lagi dari mereka meneruskan perjalanan ke Selatan, ke kawasan Yogyakarta sekarang, dan mendirikan Kerajaan Kalingga Budha. Dalam abad ke-9 M, mereka mendirikan Candi Prambanan, yaitu sebuah candi yang menyatukan kedua agama Budha dan Hindu. Sudah tentu hal itu membuat marah, baik orang-orang Hindu maupun orang-orang Budha. Kita harus meneropong kejadian ini kalau ingin mengetahui perkembangan sejarah yang benar.
Pada abad ke-9 M, orang-orang Hindu-Budha itu berpindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan Prabu Darmawangsa. Di daerah Kediri/Daha mereka mendirikan sebuah kerajaan, dengan raja mereka yang sangat terkenal, Prabu Airlangga. Dua abad kemudian, mereka berpindah ke Singosari di Malang. Pada dua abad kemudian, dengan tidak jadinya Raja Kubalai Khan dari Tiongkok menyerbu ke Singosari, maka Prabu Kertanegara yang beragama Hindu-Budha itu langsung bertengkar dengan menantunya, Raden Wijaya yang beragama Islam. Raden Wijaya pun meninggalkan Singosari, bukan ke Batu/Pujon di sebelah Barat atau pegunungan Tengger sebelah Timur. Ia bahkan berpindah ke Utara dan mendirikan kerajaan baru di Tarik, di tepian Sungai Brantas. Di sana ia mendirikan kerajaan baru namanya Majapahit.
Hal itu dimungkinkan karena ia berlindung pada angkatan laut Cina yang umumnya beragama Islam. Tiga abad kemudian ketika terjadi pemberontakan dari orang-orang yang menolak orang-orang Cina santri itu, maka terjadilah pertempuran habis-habisan antara orang-orang Hindu-Budha dan orang-orang santri tersebut, terutama di kawasan Mojokerto sekarang, yang dahulunya bernama Trowulan, sekarang terkenal dengan nama Troloyo, yang menjadi pusat penguburan Raja-raja Majapahit. Di Troloyo kurang lebih satu kilometer dari tempat pemakaman Raja-raja Majapahit di Trowulan itu terjadilah pertempuran di antara orang-orang Hindu-Budha Majapahit melawan orang-orang Islam. Karena Prabu Brawijaya V (lima) beristri selir dari Kambodia (Puteri Campa yang beragama Islam), maka tidak heranlah ketika kemudian terjadi pertempuran besar di antara kedua belah pihak.
Karena Prabu Brawijaya V mempunyai istri selir yang beragama Islam itu, maka Sang Puteri Campa tetap pada agamanya, yaitu Islam. Dengan demikian, terjadi pertempuran antara sesama warga Majapahit, satu kelompok beragama Islam dan satu kelompok lainnya beragama Hindu-Budha. Walaupun mereka menang perang, banyak di antara mereka yang gugur. Di antara yang gugur itu terdapat nama Tan Kim Han (orang marga Tan yang menggunakan baju berbenang emas, artinya ia adalah seorang pensiunan jenderal dari Tiongkok) yang kemudian dikuburkan di Troloyo/Trowulan itu. Sekarang ini, ia sering menjadi orang yang kuburannya diperingati orang tiap tahun pada hari kelahirannya, ia pun lalu disebut sebagai Syaikh Jumadil Qubro. Di samping tokoh ini, ada beberapa tokoh lain yang gugur dalam pertempuran di Troloyo. Yang tidak gugur dalam pertempuran itu, tetapi terluka parah, adalah kakak iparnya yang bernama Tan Eng Hoat.
Dalam keadaan luka parah, Tan Eng Hoat yang merupakan ipar Tan Kim Han dibawa lari ke Demak. Ia mendirikan sebuah kerajaan di sana, yang merupakan kerajaan Islam pertama di kawasan itu. Sebagai raja pertama di tempat itu, ia berganti nama dan menyebut dirinya sebagai Raden Patah. Beberapa tahun lamanya kerajaan itu berdiri, dan pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya ia kalah dalam perang dengan Sutawijaya dan kemudian menggunakan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo, memerintah Mataran di Yogyakarta hingga para keturunannya di saat ini, dengan nama Hamengkubuwono. Banyak usaha telah dilakukan oleh pihak penjajah Belanda untuk menghalangi tumbuhnya kerajaan itu, di antaranya dengan mendirikan Pakualaman.
Ketika beberapa tahun kemudian seorang menteri peperangan diangkat menjadi wali negara di Tiongkok (karena rajanya sendiri mati dalam keadaan anaknya masih kecil, sehingga ia harus mencapai usia dewasa sebelum menjadi raja). Maka sang menteri pun memerintahkan kapal-kapal perang Tingkok Jung-Jung untuk kembali ke Tiongkok seluruhnya, untuk kemudian dibakar karena ia takut orang-orang non-Budha dan membeli tanah, maka putuslah hubungan langsung antara orang-orang Islam dan orang-orang Cina setempat, untuk selanjutnya disebut sebagai orang-orang Cina Totok. Orang-orang Tionghoa rantau, karena ketiadaan hubungan dengan sesama orang Tionghoa di negeri asal, lalu menamakan diri mereka sendiri sebagai orang asli.
Sedangkan orang-orang Tionghoa dua abad kemudian yang didatangkan oleh VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dianggap orang-orang Tionghoa Totok. Dari uraian di atas tampaklah bahwa negeri kita sudah sejak dahulu menerima pluralitas etnis dan budaya, dan dengan demikian tidak dapat menerima keunggulan kelompok mana pun atas kerugian kelompok-kelompok lain.