Barang Lama, Kemasan Baru

Sumber foto: https://www.arkansrp.com/2022/05/28/turkish-foreign-policy-during-akp-era/?lang=id#iLightbox[gallery9876]/0

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (Justice and Development Party) dalam pemilu di Turki baru-baru ini menandakan datangnya era baru dalam perpolitikan Islam. Partai itu merebut lebih dari dua pertiga kursi di parlemen, ini merupakan fenomena baru yang sama sekali tidak diduga sebelumnya. Bahkan, kemenangan partai itu dalam pemilu tersebut adalah sebuah perkembangan yang sama sekali tidak pernah diimpikan banyak orang.

Diduga sebelumnya atau tidak, jelas hasil pemilu itu benar-benar mengejutkan banyak pihak. Reaksi masyarakat Uni Eropa dan pihak militer Turki menyatakan, mereka akan menghormati hasil pemilu itu dan menerimanya sebagai kenyataan. Memang, mereka menerima sesuatu yang tidak ideal, namun itulah kenyataan yang harus diterima secara obyektif. Ini tentu disebabkan oleh dua buah pernyataan partai tersebut, segera setelah hasil pemilu itu diumumkan. Pertama, partai itu tetap menghendaki sebuah negara sekuler dan menolak negara agama. Kedua, negara itu tetap ingin masuk ke dalam Uni Eropa, dan menjadi anggotanya.

Dengan demikian, partai yang didirikan oleh Nejmetin (Najmuddin) Erbakan itu pada akhirnya berbalik 180 % dari posisi partai/organisasi lain yang sama-sama didirikan Erbakan. Kalau partai itu sebelumnya adalah sebuah “partai Islam”, partai pemenang pemilu Turki tersebut justru adalah partai sekuler –yang tidak memperjuangkan Islam sebagai negara. Sama halnya dengan para pemimpin gerakan Islam di negeri ini pada tahun 1945 yang menerima gagasan “negara Pancasila”, maka penguasa baru Turki itu juga tidak  memperjuangkan sebuah negara agama. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di tanah air kita juga demikian. Walaupun didirikan oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU), namun baik namanya maupun sasarannya sama sekali tidak menghubungkan Islam dan negara secara formal. Mengapakah dua bangsa muslim yang besar, Turki dan Indonesia, melakukan hal tersebut? Karena memang tidak ada keharusan/kewajiban kaum muslimin untuk mendirikan negara Islam. Dari manakah kita ketahui hal demikian penting itu? Dari kenyataan, bahwa di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP) mengumumkan bahwa ia memperjuangkan negara sekuler, sedangkan PKB diumumkan secara resmi menjadi partai terbuka, hingga di Sumatera Utara dari dua puluh dua orang anggota Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) yang dimilikinya saat ini, lima orang berasal dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Demikian pula DPW Sulawesi Utara –yang saat ini, dipimpin oleh seorang Katholik dan demikian juga di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua (Irian Jaya), DPW-nya dipimpin oleh orang Kristen Protestan –dengan sepengetahuan Pendeta Erari dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).

Orang tidak menyadari, bahwa kedua kejadian itu memiliki arti yang sangat penting. Karena di dalamnya terjadi sebuah perkembangan baru, yang sama sekali tidak terduga sebelumnya. Yaitu munculnya sebuah kutub baru dalam pemikiran mengenai hubungan antara Islam dan negara. Dahulu secara praktis kita dihadapkan kepada pilihan antara partai yang memperjuangkan “negara Islam” di satu pihak; dan pendapat lain yang menolak gagasan tersebut, dengan meletakkan diri pada posisi di luar lingkup partai Islam. Dengan munculnya kedua partai tersebut, maka sekarang ada partai yang dipimpin oleh kalangan gerakan Islam, namun tidak memperjuangkan berdirinya negara Islam. PKP di Turki dan PKB di Indonesia, telah memunculkan kutub baru yang memungkinkan sebuah gerakan politik Islam yang dipimpin oleh orang-orang dari “lingkungan agama” untuk berjuang bersama-sama dengan saudara-saudara mereka dari kalangan gerakan non-agama, yang di negeri ini dikenal dengan nama  “gerakan umum”. Dengan adanya kutub ketiga itu, yang pada waktunya akan kehilangan corak khusus kesantrian tradisional-nya, diharapkan budaya Sunny tradisional akan berkumpul dengan “Islam Modernis” (seperti Muhammadiyah) di satu pihak, dan di pihak lain mereka yang memperjuangkan agama apapun sebagai sumber inspirasi bagi negara, tanpa menjadikan agama itu secara formal sebagai entitas kenegaraan. Kelompok terakhir ini, dapat berasal dari agama-agama lain, maupun dari kelompok-kelompok di luar gerakan-gerakan agama. Umpamanya saja, dari kalangan budayawan, ekonom maupun dunia politik tanpa ideologi (non-ideological politics).

*****

Kejadian di atas, yang muncul di Indonesia dan Turki, adalah hal wajar yang muncul dari dikotomi Islam dan non-Islam yang ada dalam pemikiran kita selama ini. Tentu saja,  ini bukanlah perkembangan satu-satunya yang terjadi di dunia Islam. Minimal, terjadi empat buah perkembangan yang harus kita kenal, jika diinginkan kita memiliki pengenalan yang memadai tentang gerakan-gerakan Islam yang terjadi saat ini. Pada sebuah sisi, kita mengenal pemikiran untuk mendirikan sebuah negara Islam di bawah pimpinan ulama. Ini antara lain dibawakan oleh Almarhum Imam Ayatullah Ruhullah Khomeini Al-Musawi, dengan gagasan kekuasaan agamawan (wilayat-I faqih), yang sekarang berupa susunan negara yang terdiri dari tiga kekuatan di Iran yakni: Presiden Republik, Parlemen yang dikuasai seorang Perdana Menteri dan pimpinan tertinggi, terdiri dari Dewan Agamawan (Khubrigan) yang dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi (faqih). Jika sebuah keputusan pihak ekskutif, maupun sebuah undang-undang yang dihasilkan oleh pihak legislatif, dinyatakan bertentangan dengan Islam oleh Dewan Agamawan tersebut, maka dengan sendirinya ia gugur. Di sinilah terletak kunci pandangan Ayatullah tersebut dengan pandangan wilayat-I faqih yang dikemukakannya sejak tahun 60-an itu.

Bahwa pandangan seperti itu dapat berjalan seiring dengan pemikiran Ali Syari’ati, sebenarnya sangat mengherankan penulis. Karena justru kalangan pemikir seperti Ali Syari’ati itu justru ingin memunculkan Islam sebagai sumber inspirasi yang terbuka, sedangkan Imam Khomeini justru mementingkan Islam sebagai sebuah lembaga/institusi belaka. Dalam hal ini, sebenarnya ia bertolak belakang dengan Ali Syari’ati, dan lebih dekat dengan para pemikir/pemimpin seperti Al-Maududi atau Hasan Al-Banna (pendiri gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimin). Dengan demikian, pemikirannya juga dekat dengan orang-orang seperti Sa’id Ramadhan maupun Al-Ghunusi dan Nawwaz Sharif dari Pakistan, maupun Ahmad Hasan Turabi dari Sudan. Pandangan ini menjadi sangat kuat di Pakistan, dengan kejatuhan Parvez Musharraf dari kursi kepresidenan saat ini.

Aliran kedua ini, bertumpu pada ajaran “Islam sebagai jalan kehidupan”, yang dalam bahasa Arab dinamakan Syari’ah. Hanya saja, adakah jalan hidup itu harus ditundukkan kepada “ajaran-ajaran formal” Islam, yang pada akhirnya mengharuskan perwujudan sebuah negara Islam? Ataukah jalan hidup itu justru ditetapkan oleh masyarakat yang senantiasa berkembang, berarti oleh budaya yang hidup di suatu masa? Penulis justru condong pada pendapat kedua ini: yang berarti senantiasa akan ada “pergulatan” antara ajaran formal Islam dengan “impuls-impuls” budaya masyarakat mayoritas kaum muslimin. Ini berarti di lingkungan budaya Jawa akan senantiasa ada “pergumulan-pergumulan”, antara kaum santri dan abangan. Sementara itu, di kalangan kaum muslimin pun harus diusahakan agar senantiasa terjadi pergumulan seperti itu, dengan tidak ada klaim kemenangan bagi siapapun. Dengan demikian, Islam dapat berkembang pada dasar yang sangat kreatif, baik politis maupun lain-lainnya.

*****

Pandangan ketiga, yang ingin menghilangkan agama, dalam hal ini peranan Islam, sangat dipengaruhi oleh pandangan positivistic yang berasal dari filsafat materialisme di Barat. Tentu saja, sikap seperti ini menghasilkan perlawanan terhadap pemikiran-pemikiran yang bersumber pada Islam, seperti juga ia menolak tiap pemikiran yang berasal dari agama apapun. Pandangan seperti ini, menganggap masalah keagamaan hanya sebagai pendapat pribadi yang tidak membentuk budaya apapun. Baginya, pandangan budaya ditentukan hanya oleh aliran-aliran ekonomi saja, seperti kapitalisme dan sosialisme.

Walaupun dianggap agama itu ‘berperan”, maka ia hanya berfungsi individual belaka, seperti halnya pandangan kaum sosialis, komunis dan tehnokrat saja selama ini. Bahwa di kalangan kaum sosialis dan tehnokrat ada orang-orang yang mencapai “pemikiran dan sikap beragama” yang sangat spiritualistik, dalam bahasa arab-nya “khusuk” dan “syahdu”, semua itu hanya bersifat individualistik belaka di mata mereka.

Pandangan memisahkan negara dari agama seperti itu, menentang pengembangan Islam sebagai salah satu sumber inspirasi bagi pemikiran-pemikiran politik kita. Ini berarti, pandangan mereka itu sangat bertentangan dengan pandangan di atas, yang menganggap motif bernegara yang bersumber dari lembaga-institusi formal Islam yang berlaku. Sekularisme dalam pengertian yang menentang peranan apapun dari negara dalam hidup masyarakat, tentu saja bertentangan dengan pemikiran bahwa Islam secara formal harus menjadi sumber hukum, atau menjadi ideologi negara. Kita mendapati tentangan terhadap sekularisme dalam pemikiran seperti ini, seperti tindakan Perancis dan Singapura yang melarang penggunaan jilbab/kerudung kepala bagi pelajar perempuan di sekolah-sekolah, merupakan bukti dari adanya sekularisme yang bersifat menentang kehadiran agama. Tetapi, penulis juga menentang pengharusan menggunakan jilbab, seolah-olah mereka yang tidak mengenakannya bukanlah seorang muslim. 

Karena itu, kemenangan mutlak PKP di Turki –yang, mudah-mudahan saja diikuti oleh kemenangan mutlak PKB dalam pemilu yang akan datang di negeri kita. Hal ini justru akan menjadi pertanda munculnya pandangan ketiga tersebut di kalangan kaum muslimin. Gerakan-gerakan Islam maupun kalangan luarnya, haruslah mampu menggalang sebuah pemikiran “nasional” yang akan mengantarkan seluruh bangsa kepada cita-cita semula, yaitu masyarakat adil dan makmur, sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang kita miliki sekarang. Ketiga pandangan di atas sudah tumbuh subur dalam pemikiran umat manusia di dunia ini, yang sudah mencapai jumlah di atas enam milyar jiwa. Mengingat jumlah yang begitu besar dan harus dihidupi oleh sedemikian kecil sumber-sumber alam yang tersedia, patutkah kita memaksakan pandangan salah satu dari ketiganya untuk diikuti secara formal sebagai ideologi? Memang mudah ditanyakan, namun tentang jawabnya sangat sulit, bukan?