Peranan Agama Dalam Pembangunan Kota Besar

Sumber Foto: https://lpmarena.com/2025/01/29/peranan-agama-dalam-pembangunan-kota-besar/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

I

Peranan sebuah pranata kemasyarakatan seperti agama, dalam proses pembangunan, dapat dilihat dari dua arah penglihatan. Pertama, dari sudut banyak sedikit atau besar kecilnya kegiatan pranata itu dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat yang sedang membangun itu sendiri, yang akhirnya membuahkan kaitan dengan proses di atas.

Adakalanya kaitan itu berupa besarnya kecenderungan untuk memperoleh atau mempergunakan fasilitas-fasilitas fisik yang dihasilkan oleh pembangunan, seperti kebutuhan kepada tempat-tempat peribadatan yang lebih baik, kebutuhan kepada organisasi kehidupan beragama yang lebih sistematis, dan sebagainya. Adakalanya pula kaitan itu berbentuk kesediaan para pemuka pranata kemasyarakatan itu untuk mengakui pentingnya arti pembangunan, dan dengan demikian menyuarakan ajakan membangun kepada mereka yang merasa terikat kepada pranata tersebut, baik sebagai pengikut, pemeluk maupun anggota.

Arah penglihatan kedua adalah dari sudut hubungan langsung yang bersifat kausal antara pranata itu dan antara proses pembangunan. Apakah ada sesuatu yang inherent terdapat dalam pranata itu yang merupakan sumbangan yang benar-benar tersendiri kepada proses pembangunan. Yang tidak dapat diberikan oleh pranata-pranata kemasyarakatan yang lainnya.

Kalau dilihat dari sudut penglihatan pertama diatas, jelaslah bahwa agama telah memberikan gambaran keterlibatannya kepada kegiatan pembangunan di kota-kota besar negeri kita, termasuk kota metropolitan Jakarta.

Sebagaimana dinyatakan oleh para pejabat DKI Jakarta Raya sendiri, kegiatan-kegiatan keagamaan telah berkembang dalam kuantitas besar dalam “era Ali Sadikin”, di samping mengalami pertumbuhan kualitas yang semakin membaik. Ditunjuk sebagai contoh pembangunan tempat-tempat peribadatan yang baru, gedung-gedung sekolah agama, pengajian-pengajian umum yang di daerah ini dinamai majlis ta’lim, intensitas pemungutan pemungutan zakat dan seterusnya. Deretan kegiatan itu dapat ditambah dengan semakin berkembangnya kegiatan seni budaya yang bernafaskan keagamaan, penerbitan buku-buku agama, dan penggunaan media massa bagi penyampaian pesan-pesan keagamaan.

Namun, sebuah pertanyaan harus diajukan dalam mengamati perkembangan tersebut: Apakah benar agama telah berperan dalam pembangunan, jika hanya diukur dari deretan kegiatan-kegiatan tersebut? Apakah bukan sebaliknya yang terjadi, yaitu justru pembangunan yang memainkan peranan dalam pengembangan agama? Karena adanya pertanyaan seperti inilah maka tulisan ini ingin melihat peranan agama dalam pembangunan kota besar dari perspektif penglihatan kedua, yaitu mencari suatu hal yang mencerminkan kaitan sebab-akibat antara kehidupan beragama dan proses pembangunan.

II

Sebenarnya ada semacam skeptisme di kalangan cukup luas akan arti agama bagi kehidupan modern. Ini berarti masih besarnya keragu-raguan tentang peranan agama dalam suatu pembangunan bangsa pada masa ini. Skeptisme itu timbul dari pertemuan beberapa sebab, diantaranya:

  1. Agama sendiri selama ini belum berhasil mencernakan dengan baik ke dalam dirinya aspek-aspek terjauh dari pengetahuan rasional yang mendasari kehidupan modern, seperti teori evolusi dengan segenap konsekuensinya di bidang penyusunan doktrin agama mengenai penciptaan makhluk. Bahkan, terkadang tampaknya justru agamalah yang menjadi tercerna, menjadi semacam unsur pelengkap belaka bagi kehidupan masa kini.

    Ini nampak tercermin, umpamanya, dalam kegairahan untuk mengeksploitir “peranan” agama dalam motivasi Keluarga Berencana (KB). Tanpa mencari secara sistematis pandangan keagamaan yang bulat dan menyeluruh mengenai pembinaan dan pengembangan kehidupan berkeluarga yang sehat seharusnya dilakukan. Persoalannya lalu hanya dibatasi pada mencari mekanisme apa yang memungkinkan pemberian legitimasi kepada program KB yang sedang berjalan.

  1. Sulitnya melakukan pengukuran fisik atas arti agama bagi kehidupan modern. Di satu pihak, semua indikasi menunjukkan kebutuhan sangat besar di pihak manusia modern akan bimbingan agama dalam kehidupannya. Kebutuhan ini setidak-tidaknya adalah untuk mengurangi rasa terasing (alienasi) bagi perorangan secara pribadi dalam kehidupan masyarakat yang semakin mekanistis dan melembaga pengaturannya.

    Di pihak lain, pola kehidupan tiap individu justru semakin menjauhkannya dari hubungan dengan manifestasi hidup keagamaan, seperti kesibukan pekerjaan dan sebagainya. Walaupun telah dicoba untuk merumuskan keadaan yang saling bertentangan ini dalam berbagai istilah, tetapi kesemuanya itu hingga kini belum berhasil sepenuhnya menghasilkan ukuran-ukuran yang meyakinkan tentang arti agama bagi kehidupan modern;

    1. Perbedaan yang semakin menajam antara agama-agama yang ada, yang akan mengaburkan persamaan-persamaan hakiki yang dimiliki dan dihayati bersama. Perbedaan ini setidak-setidaknya dapat ditemukan dalam pelayanan masing-masing kepada masyarakat. Tidak jarang terjadi friksi yang cukup gawat diantara pengikut agama-agama yang yang ada karena perbedaan-perbedaan itu, setidak-tidaknya senantiasa ada suasana saling mencurigai dan menyaksikan maksud baik pihak lain diantara mereka.

    Skeptisme itu hingga saat ini masih berada dalam ukuran yang sehat, yaitu berbentuk pertanyaan dan tantangan yang ditujukan kepada umat beragama untuk membuktikan kemampuan menjadikan agama mereka relevan bagi kehidupan. Karenanya, skeptisme seperti ini pada dasarnya haruslah disambut sebagai penggugah gairah para pemikir tentang agama, untuk menggali kembali relevansi yang dimaksudkan di atas. Apabila skeptisme itu tidak dipahami dalam artian ini, maka respons yang akan diberikan akan berupa sikap apologetis, yang hanya mau tahu kebenaran sendiri tanpa mau mengadakan kritik mendasar terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Buah dari sikap semacam ini hanyalah akan berupa idealisasi ajaran agama, tanpa mau melihat secara konkrit kepada kesulitan luar biasa dalam penerapan ajaran itu dalam kehidupan nyata.

    Dengan mengetahui dan menerima adanya skeptisme “lunak” diatas, kita lalu tergugah untuk mengajukan pertanyaan apakah yang salah pada manifestasi kehidupan beragama di masa kini? Dari jawaban atas pertanyaan ini, barulah dapat diketahui apa yang harus dilakukan untuk membuktikan relevansi agama bagi kehidupan modern. Dan dari pembuktian inilah baru diketahui apakah peranan agama dalam pembangunan . Pengetahuan akan peranan agama dalam pembangunan ini barulah akan membawa kita kepada pengenalan bentuk-bentuk konkrit dari peranannya dalam sektor khusus yang dinamai pembangunan kota besar.

    III

    Karakteristik umum yang memperlihatkan kelemahan agama dalam membuat respons yang sehat atas tuntutan hidup masa kini dapat ditemukan dalam hal-hal berikut:

    1. Formalisasi ajaran dan aplikasinya secara berlebih-lebihan. Memang benar agama adalah ajaran-ajaran yang mengandung kebenaran mutlak, sehingga sulit untuk dipertemukan dengan kebutuhan manusia yang bersifat nisbi. Kontras antara kebenaran transendental dan persepsi manusia yang bersifat intransendental atas kehidupan, telah lama menjadi bahan pembicaraan tidak berkesudahan diantara para filosof dan teolog.

      Tetapi, ada ekses-ekses yang merugikan dari sikap untuk selalu menilai persepsi agama atas kehidupan melalui kacamata ajaran formil yang bersifat transendental belaka. Diperlukan skala prioritas antara masalah-masalah yang harus dinilai dari kacamata ajaran formil yang bersifat transendental dan yang tidak. Tidak  semua kejadian yang menyimpang dari ajaran agama harus dipertentangkan dengan agama  itu sendiri. Ketidakmampuan untuk membedakan penyimpangan di satu aspek dari penentangan terhadap agama sebagai keseluruhan, sering menimbulkan ekses-ekses yang mematikan daya-daya kreasi. Dengan hilangnya daya kreasi, kemampuan umat beragama untuk memberikan respons yang positif terhadap perkembangan kehidupan, juga menjadi hilang;

    1. Bekas-bekas dari skisma di masa lalu. Sejarah telah membuktikan terjadinya perpecahan di kalangan faham berlain-lainan dalam sebuah agama, di samping pertentangan antara umat beragama. Kenyataan ini masih menunjukkan bekas-bekasnya yang dalam, seperti dalam keengganan untuk memahami ajaran-ajaran pihak lain dengan dada lapang dan pandangan yang objektif. Salah satu manifestasinya adalah masih luasnya reaksi masyarakat yang mayoritas penduduknya memeluk sebuah agama, bilamana di wilayah mereka didirikan tempat peribadatan oleh para pemeluk agama lain.

      Keengganan memahami ajaran pihak lain, pada akhirnya akan membawa kepada suatu sikap untuk menutup diri terhadap kemungkinan mencari persamaan dalam sekian banyak ajaran yang dibawakan oleh agama yang berlain-lainan. Padahal, tanpa dicari dan dikemukakannya persamaan-persamaan yang mungkin digali antara semua agama, tidak akan dapat ditemukan ajaran-ajaran agama yang bersifat universal. Tanpa universalisasi beberapa ajarannya, agama secara umum tidak akan dapat menjadi relevan bagi kehidupan;

    1. Kelangkaan pimpinan agama yang ditundukkan bersama. Masing-masing aliran dari agama yang sama, memiliki pimpinannya sendiri. Demikian pula antara ke semua pimpinan dari agama-agama yang ada, tidak terdapat hubungan fungsionil, setidak-tidaknya dalam usaha untuk menyusun jawaban bersama atas tantangan-tantangan yang dibawakan oleh kehidupan masa kini kepada agama. Dengan demikian, otoritas moril dari pimpinan masing-masing memiliki luas lingkup terbatas, yang tidak memungkinkan pemerataan wibawanya kepada semua sektor masyarakat. Hal ini, seperti juga pada karakteristik umum kedua di atas, akan menghambat pencarian persamaan ajaran yang bersifat universal antara agama-agama yang ada;

    1. Kehidupan beragama juga masih terlalu disibukkan dengan kaitan-kaitan yang tidak perlu dengan dunia politik. Sebagai semacam pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai, kaitan-kaitan itu akan mengganggu kehidupan beragama dari penunaian tugas yang semula, yaitu sebagai pelayan kepentingan hakiki umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

      Sampai titik tertentu, memang harus ada hubungan antara kehidupan beragama dan kegiatan politik. Tetapi, di luar titik itu hanya akibat-akibat negatif sajalah yang akan diperoleh dari hubungan tersebut. Salah satu akibat negatifnya adalah pembatasan yang dibawakan oleh warna politik tertentu atas watak universal dari ajaran agama. Pembatasan itu dapat hilang, hanya jika kehidupan beragama memprakarsai suatu perjuangan politik yang nyata-nyata bersifat universal, seperti perjuangan mengangkat derajat manusia dari penindasan, kenistaan dan ketidakadilan;

    1. Agama masih belum berbagi tempat secara nyata dan tegas dengan kegiatan dan pemikiran sekuler. Sekularisme memang tidak dapat dihindarkan telah menjadi lawan bagi agama, karena ia tidak memberi tempat kepada kebenaran mutlak yang dibawakan oleh agama. Walaupun secara politis sekularisme telah menjadi kenyataan dan diterima oleh kalangan umat beragama di kebanyakan negara, pada dasarnya ajaran formil agama tetap bertentangan dengan faham tersebut. Sebagai faham, sekularisme sedikit banyak telah merebut tempat yang tadinya didominasi oleh agama dalam kehidupan masyarakat.

    Dan dengan sendirinya ia lalu menjadi berbenturan dengan agama-agama yang ada. Tetapi pemikiran dan kegiatan sekuler tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan sekularisme. Sebagai unit parsial, kegiatan dan pemikiran sekuler dapat banyak membantu agama dalam pelaksanaan tugas mulianya, seperti juga halnya kehidupan beragama  memiliki sifat-sifat komplementer bagi kebutuhan yang dirasakan oleh kegiatan dan pemikiran sekuler. Kenyataan akan akan adanya saling ketergantungan antara kehidupan beragama dan kegiatan sekuler ini mengharuskan adanya pembagian wilayah yang jelas, untuk dilayani oleh masing-masing pihak dalam kehidupan masa kini. Salah satu pihak tidak dapat mengabaikan pentingnya peranan pihak lain, pengabdian seperti itu hanya akan mengakibatkan tumbuhnya pandangan sesisi saja di pihak masing-masing. Yang mana hanya akan berarti lebih sulitnya menumbuhkan kedewasaan pandangan pada kedua belah pihak. Sedangkan agama tidak akan mampu menumbuhkan relevansi dirinya, bagi kehidupan masa kini, tanpa memiliki pandangan yang dewasa atas jalannya kehidupan itu sendiri.

    IV

    Dengan demikian jelaslah, bahwa relevansi agama bagi kehidupan masa kini masih harus dirumuskan. Perumusan itu tentu berbeda-beda apabila dilakukan oleh yang berlain-lainan.

    Namun, pada umumnya agama baru dapat dikatakan relevan bagi kehidupan, jika ia mampu membawa para pemeluknya kepada hal-hal berikut:

    1. Memiliki rasa kasih sayang kepada sesama dan makhluk, dalam arti yang luas dan dinamis dan mampu memahami pendirian orang lain, baik seagama maupun tidak.

    2. Berpegang pada nilai-nilai menetap antara mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak diperkenankan, di masa perubahan-perubahan sangat besar dalam pola hidup dan pola berpikir. Pedoman berupa nilai-nilai moral yang menetap itu akan mampu membuat seorang pemeluk agama untuk tetap bertahan pada pendiriannya di masa orang lain merasa resah dan bingung mencari jalan di kehidupan mana gerangan yang harus ditempuh. Demikian pula, dengan nilai-nilai menetap itu, ia akan mampu meninjau dengan jernih langkah-langkah perubahan yang harus diambilnya, tanpa merusak sendi-sendi kehidupannya sendiri secara keseluruhan.
      Dengan kata lain, nilai-nilai kehidupan yang digalinya dari agama akan membuat senantiasa mencari keseimbangan antara tantangan yang harus dihadapinya dan responsi yang dianggapnya baik untuk menjawab tantangan tersebut. Karenanya, ia akan selalu bersikap kritis terhadap perubahan-perubahan yang terjadi atas hidupnya pribadi maupun atas kehidupan masyarakat.

    1. Mampu mengatur kehidupan sendiri. Seorang pemeluk agama merasakan kebutuhan hidup duniawi yang sama besarnya dengan kebutuhan bagi hidup ukhrawinya di kelak kemudian hari. Bahkan pemenuhan kebutuhan hidup duniawi seringkali mengambil porsi lebih besar dari perhatiannya. Kebutuhan hidup duniawi ini selalu menuju kepada usaha memiliki barang-barang konsumtif yang lebih mewah. Dan untuk pemenuhan kebutuhan seperti ini ia harus berusaha keras mencapai kemampuan finansial sebesar-besarnya, seringkali dengan tidak mengindahkan baik atau tidaknya cara-cara yang dipergunakan untuk mencapai kemampuan tersebut. Dengan memiliki kesadaran akan kerusakan besar yang diderita oleh pertumbuhan watak hidupnya dari penggunaan cara-cara demikian itu, seorang pemeluk agama akan mampu mendasarkan pola hidupnya atas pemenuhan kebutuhan esensial yang sesuai dengan kemampuan riil. 

    Pembatasan pola konsumsi ini pada gilirannya akan menciptakan kemampuan mengatur keseimbangann yang wajar dalam kehidupan, antara kebutuhan materiil dan kebutuhan rohani. Sebuah agama akan menjadi relevan bagi kehidupan, bilamana ia dapat menumbuhkan kemampuan seperti itu dalam diri pemeluknya. Kemampuan membatasi kebutuhan ini pada gilirannya pula akan membawa mereka kepada kesadaran akan perlunya mengatur kehidupan masyarakat yang mempertimbangkan faktor-faktor non-material dalam proporsi yang cukup besar, untuk menghindari kerusakan-kerusakan besar dalam hidup kejiwaannya.

    V

    Dengan mengemukakan beberapa aspek pembangunan yang dapat dipengaruhi secara langsung oleh agama, atau setidak-tidaknya oleh persepsi manusia atas ajaran agamanya, kita lalu mengetahui bahwa titik berat dari peranan agama dalam pembangunan adalah penciptaan kerangka kata nilai yang sanggup memahami pembangunan secara dinamis. Agama dapat membawa dan membebaskan para pemeluknya, baik dari sikap tidak acuh kepada kebutuhan membangun maupun sikap memperlakukan pembangunan hanya sebagai hiasan bibir belaka.

    Apa yang dikemukakan di atas adalah peranan agama dalam pembangunan secara umum, yang karena luasnya wilayah kedirian yang dimilikinya, tidak selayaknya dijabarkan secara konkret dan terperinci dalam kesempatan ini. Tetapi topik “Peranan Agama Dalam Pembangunan Kota Besar” memungkinkan kita untuk menjenguk sejenak kepada beberapa hal konkrit untuk dirumuskan di bawah ini, dengan tidak meninggalkan peranan dasarnya sebagaimana diuraikan di atas.

    Pertama, agama dapat memberikan sumbangan besar kepada para warga kota-kota besar, dengan mengingatkan dan menyadarkan mereka akan arti penting dari diri mereka sendiri sebagai sumber manusiawi dalam pengembangan kehidupan yang layak bagi kota-kota yang mereka tempati itu. Kesadaran ini harus diarahkan kepada kemampuan memahami pentingnya arti perencanaan kehidupan pribadi mereka atas dasar yang sesuai dengan kemampuan lingkungan mereka untuk mendukungnya. Dengan kata lain, agama dapat menumbuhkan kesadaran lingkungan dalam artinya yang luas (termasuk lingkungan sosial) di kalangan para warga kota-kota besar yang merupakan kunci pokok dari pembangunan kota besar secara sehat dan bermakna penuh.

    Kedua, agama dapat menumbuhkan kesadaran akan arti penting dari pola hubungan saling berketergantungan antara sesama warga sebuah kota besar. Dari kesadaran seperti inilah dapat dimulai usaha-usaha untuk secara kolektif menangani problem-problem mendesak yang dirasakan dan dihadapi oleh sektor-sektor tertentu, seperti bimbingan menetap secara besar-besaran bagi para remaja untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi mereka di klinik-klinik murah, yang ditangani secara profesional oleh mereka yang memiliki kemampuan untuk itu sebagai pengabdian.

    Ketiga, agama dapat mendorong terjadinya mobilitas sosial sangat besar, dapat menimbulkan kegoncangan luar biasa di kalangan para warga kota-kota besar. Salah satu contohnya adalah penciptaan group dynamics dari berbagai lapisan masyarakat dan berbagai stock etnis, sebagai tempat untuk secara bersama-sama memahami hakikat pembangunan dalam wajahnya yang konkrit, baik dari segi peluang dan tantangan yang ditampilkannya maupun dari segi persoalan-persoalan yang membutuhkan pemecahan bersama yang dijangkaunya.

    Sudah tentu masih dapat dikemukakan sederetan hal-hal lain yang dapat dilakukan oleh agama sebagai keterlibatannya kepada proses pembangunan di kota-kota besar, tetapi kesemuanya itu rasa-rasanya tidak perlu dikemukakan lagi di sini, karena sudah terlalu sering diulang-ulang di forum bermacam-macam. Yang terpenting untuk dikemukakan justeru keharusan agama untuk membenahi manifestasi dirinya terlebih dahulu, sebelum melangkahkan kaki ke dalam keterlibatan seperti itu. Pembenahan diri ini meliputi banyak wajah dari kehidupan beragama yang telah berlangsung selama ini, seperti eksklusivisme (vertikal maupun horizontal) yang dihayatinya saat ini, perhatian yang terlalu berlebih-lebihan pada “kemeriahan” Upacara-upacara keagamaan belaka, ketidakmampuan untuk memandang kelompok sendiri hanya sebagai bagian kecil belaka dari proses pembangunan yang berskala masif, dan sebagainya. Tanpa pembenahan di bidang ini, terlalu kekanak-kanakan untuk menganggap agama mampu mengambil peranan berarti dalam pembangunan kota-kota besar.