Fungsi Kesenian dalam Pembentukan Manusia Utuh

Sumber Gambar: https://sandhya-citralekha.org/2024/11/08/nabila-dewi-gayatri-bukan-numpang-tenar-gus-dur/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Manusia yang utuh, dalam rumusan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara, peny.) disebut manusia Indonesia seutuhnya, adalah sesuatu yang sebenarnya masih sulit untuk dijabarkan (elusive). Secara konseptual, manusia yang utuh haruslah mampu memenuhi beberapa kebutuhan paradoksal sekaligus, la haruslah independen sepenuhnya dari orang lain, tetapi juga dalam harmoni dengan masyarakat setempat ia hidup, karena keterasingan justru adalah pertanda ketidaklengkapan dirinya. Ia harus memiliki visi hidup yang jelas dan terang, yang mengandalkan rasionalitas tuntas, namun pada saat yang sama tidak boleh kehilangan kemampuan intuitif yang akan membedakannya dari hanya sekadar makhluk rasional belaka. Ia harus mampu mengembangkan obyektivitas pemikiran yang berderajat tinggi, tetapi cukup sensitif terhadap kepekaan rasa orang lain, yang mengandaikan kuatnya pertautan dengan subyektivitas pandangan. Dan demikian seterusnya, masih ada beberapa hal-hal paradoksal yang harus dimiliki seseorang yang disebut utuh.

Manusia yang seperti itu haruslah menjadi manusia kosmopolitan, dalam arti mampu memahami kebaikan semua wawasan hidup/spektrum pandangan yang ada dalam masyarakat, tetapi juga masih harus memiliki kesediaan tuntas kepada pandangan hidup yang dipilihnya sendiri. Kualitas seperti inilah yang dituntut dari para filosof masa lalu, sebagai citra manusia bijaksana (man of wisdom). Dalam literatur Arab, kualitas itu disebut sebagai al-hakim, artinya pemegang aturan yang bijak bestari, yang akhirnya di negeri kita berubah arti menjadi penegak dan pelaksana hukum (seperti Hakim Pengadilan Negeri), yang seringkali justru tidak memiliki kebijaksanaan.

Perpaduan perbagai unsur kepribadian yang saling bertentangan pada permukaannya itulah yang menentukan kualitas keutuhan seorang manusia. Dalam perpaduan itu tergambarlah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan praktis yang dirasakannya dalam hidup, sementara ia sendiri mampu meningkatkan wawasan dan menempatkan diri di atas hal-hal rutin yang tidak prinsipil. Dengan kata lain, ia bukanlah manusia stereotipe yang Ortega Y Gassett sebut sebagai ‘las massas’ (orang kebanyakan) dan oleh Eugene Ionesco dinamai ‘rhinoceros’ (sekadar badak-badak). Perjuangan Charlie Chaplin dalam ‘The Great Machine’ justru adalah untuk menampilkan keunikan manusia yang harus berbeda dari sekadar hanya berfungsi sebagai mur dan sekrup sebuah mesin raksasa kehidupan saja. Namun, dalam keunikan itu ia harus senantiasa menyadari hakikat dirinya sendiri, bukannya kebingungan dan tidak tahu di mana ia harus berdiri, seperti dicontohkan Albert Camus dengan ‘Orang Asing’ (l’etranger)nya. Dalam keadaan ia sendiri unik, tetapi tidak menyadari tempatnya dalam kehidupan, ia menjadi hanya sekadar tokoh tragis yang menimbulkan belas dan simpati, tanpa memberikan sumbangan apapun kepada kehidupan. Dengan kata lain, ia menjadi orang bodoh (idiot) berhati baik, seperti dengan sempurnanya digambarkan oleh John Steinbeck dalam Of Mice and Men. Banyak tokoh yang ditampilkan para sastrawan tingkat dunia berhakikat diri tragis seperti ini seperti tokoh-tokoh Nikolai Gogol.

Masyarakat selalu mendorong kebanyakan manusia untuk sekadar menjadi stereotipe, dihitung sebagai kuantitas lebih dari kualitas. Interaksi sosial oleh para sosiolog seringkali dijabarkan dalam pola konflik-antargolongan/lapisan, namun dalam kenyataan hidup justru regimentasi yang terjadi. Setiap golongan atau lapisan dalam kehidupan masyarakat selalu menetapkan aturan permainan yang menjamin kesetiaan warga kepada kepentingan bersama, dus berwatak regimentatif. Dengan pola kehidupan regimentatif, betapa besarnya sekalipun konflik-antargolongan yang terjadi, manusia lalu diletakkan dalam kotak-kotak siap pakai yang akan mamatikan keunikan individualnya, dan digantikan dengan keunikan golongan. Manusia stereotipelah yang dihasilkan oleh proses kemasyarakatan seperti itu.

Jelaslah dengan demikian bahwa inti permasalahannya adalah bagaimana membuat ikatan kemasyarakatan tidak mematikan keunikan individual masing-masing warga masyarakat, sehingga dengan demikian individualitas seseorang (yang memang sudah terbawa sejak lahir, menurut para ahli Ilmu Jiwa) tidak tinggal hanya bersifat potensial, melainkan berfungsi penuh dalam kehidupannya. Tolok ukur yang dapat digunakan dalam hal ini sangat banyak, seperti Independensinya dari orang lain (termasuk orang tuanya), peluang mengembangkan kreativitas individualnya, toleransi masyarakat terhadap penyimpangan perilaku yang dimilikinya, dan seterusnya.

Dengan ungkapan lain, sebenarnya manusia utuh yang diukur dengan standar di atas hanya dapat tumbuh dalam masyarakat yang tidak mengekang kebebasan berbicara, tidak hanya menggunakan satu gugusan nilai-nilai normatif saja, tidak hanya mementingkan kesetiaan kelompok saja, dan tidak hanya menekankan satu perangkat kebenaran ideologis saja. Hubungan antara individu dan masyarakat adalah demikian kompleks dan langsung, sehingga setiap jenis tali penghubung antara keduanya akan sangat berpengaruh atas perkembangan individual para warga masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, diperlukan sebuah kesadaran untuk senantiasa memeriksa kebenaran asumsi-asumsi kemasyarakatan yang ada, pemeriksaan mana seharusnya dilakukan oleh individu-individu yang membentuk masyarakat itu sendiri. Contoh Winston Smith dari karya George Orwell, 1984, adalah contoh dari kemampuan melakukan pemeriksaan seperti itu, walaupun pada ujungnya individu seperti itu selalu akan dikalahkan oleh mesin giling bernama masyarakat regimenter.

Nyatalah dengan demikian bahwa masalahnya bukanlah bentuk masyarakat yang dikembangkan, melainkan adanya peluang untuk menyuarakan nada-nada sumbang bagi siapapun dalam kehidupan masyarakat tersebut. Dengan kata lain, bukan tujuan yang penting, tetapi cara pencapaiannya yang justru sangat menentukan, termasuk menentukan hasil akhir tujuan yang dicapai itu. Kalau disimpulkan, masyarakat yang ideal bagi manusia yang utuh adalah masyarakat yang memberikan wewenang kepada individu untuk membebaskan masyarakat itu sendiri dari eksistensi yang dimilikinya sekarang. Fungsi pembebasan dari manusia utuh itulah yang menentukan kualitas masyarakat yang memungkinkan munculnya manusia utuh itu sendiri.

Kesenian adalah salah satu unsur bagi pembentukan kepribadian seseorang. Unsur-unsur lainnya adalah ilmu pengetahuan, agama, dan ideologi. Tinjauan dari sudut non-masinal ini mengandaikan bahwa ilmu pengetahuan akan menumbuhkan sikap rasional dalam diri seseorang, agama akan membawakan keteguhan keyakinan akan kebenaran, dan ideologi akan membawakan solidaritas murni dengan sesama umat manusia. Dalam hal ini, kesenian berfungsi sebagai wahana penumbuhan kepekaan sikap dan keluhuran budi seseorang, di samping cita rasa yang tinggi yang sering disebut sebagai apresiasi seni. Fungsi keempat unsur tersebut dalam pembentukan kepribadian seseorang haruslah bertali satu sama lain, dalam keseimbangan yang baik. Keyakinan akan kebenaran (yang dibawakan oleh agama) haruslah dikendalikan oleh kahalusan perasaan, kesetiakawanan yang tinggi terhadap orang lain dan sikap hidup yang rasional, agar tidak menjadi fanatisme buta yang justru bertentangan dengan pembawaan dasar sama itu sendiri. Keyakinan ideologis yang tidak dikendalikan oleh sikap hidup rasional, keyakinan akan kebenaran mutlak di luar ciri manusia (yang dibawakan agama) dan kepekaan rasa kepada hal-hal yang rumit, justru akan menciptakan manusia-manusia otoriter yang hanya mau tahu ‘kebenaran’ ideologi yang dianutnya belaka. Rasionalitas yang berderajat tinggi tetapi tanpa kendali agama dan ideologi, hanya akan berfungsi manipulatif bagi kepentingan sejumlah kecil orang saja, apalagi tanpa pengendalian serba peka dari kesenian. Sedangkan kesenian tanpa pengendalian agama, ideologi dan ilmu pengetahuan hanyalah melahirkan kreativitas a-sosial belaka, yang hanya menghasilkan manusia yang bersisi satu alias manusia tidak utuh.

Nyatalah dari uraian di atas bahwa kesenian memiliki fungsi sangat besar dalam pembentukan manusia yang utuh kepribadiannya. Namun, ia tidak hanya berfungsi sendirian saja, melainkan harus bersama-sama dengan unsur-unsur pembentuk kepribadian yang lainnya. Fungsi formatif kesenian itu baru akan optimal, kalau ia diletakkan dalam keseimbangan yang dinamis dengan agama, rasionalitas sikap hidup dan keyakinan ideologis. Dengan kata lain, kesenian tidak berfungsi sesisi belaka, melainkan berperan komplementer dengan unsur-unsur lainnya itu. Perbedaan derajat tekanan masing-masinglah yang akan menentukan keunikan manusia utuh itu (sehingga menghasilkan ilmuwan, ideolog, agamawan atau seniman), namun dalam diri tiap jenis manusia utuh itu kesenian memiliki fungsi yang cukup kadarnya. Dengan kata lain, tanpa kesenian, tidak akan ada manusia utuh. Terpulang kepada kita semualah untuk mengoperasionalkan fungsi kesenian itu.