Bacaan untuk Remaja Sebagai Penunjang Pendidikan Agama

Sumber Foto: https://tebuireng.online/tiga-dosa-besar-seorang-mahasiswa/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Hubungan antara bacaan remaja dan pendidikan agama sebenarnya tidak berwatak suplementer, sebagaimana kesan pertama kalau disinggung tentang peranannya sebagai penunjang. Hubungan antara keduanya sebenarnya berwatak komplementer, yaitu saling mengisi dan memperkuat satu sama lain. Dengan demikian, antara keduanya tidaklah sepenuhnya sama dalam orientasi, materi dan visi atau wawasan. Yang benar-benar dapat dipersamakan mungkin adalah tujuan idealnya, yaitu menanamkan kesadaran penuh akan kebenaran agama, dalam hal kaum muslimin, kebenaran agama Islam. Kesadaran itu dapat tercermin pada pola perilaku pribadi maupun berkelompok dari anak didik (dan setelah selesai dari pendidikan nantinya), dapat dilihat dari pengetahuan agama yang dimilikinya, atau dapat juga dalam cara yang dipakainya untuk memahami kehidupan melalui sudut pandangan Islam.

Dengan kata lain, pengetahuan agamanya, penghayatan agamanya atau pengamalan agamanya, atau bahkan paduan ketiga-tiganya dalam sebuah kepribadian yang utuh.

Namun, dalam kenyataan justru sebaliknyalah yang terjadi, yaitu terdapatnya kesamaan begitu banyak dalam semua aspek antara bacaan remaja dan pendidikan agama. Kalau kita lihat salah satu aspek penting dari pendidikan agama, yaitu pengajaran dan materi pengetahuan agama, dan kita bandingkan dengan umumnya bacaan remaja yang berperan menunjang, maka akan tampak nyata kesamaannya dalam hal-hal berikut:

  • Pendekatannya yang indoktrinatif dan satu sisi belaka, kurang menggambarkan dinamika dan pergulatan dalam diri manusia yang beragama atau beriman. Walaupun disajikan dengan gaya lembut dan pendekatan human interest yang pekat, namun kesemuanya itu tidak menutupi wajah indoktrinatif yang sama-sama dimiliki oleh pendidikan (dalam hal ini pengajaran) agama dan bacaan remaja. Seri cerita para nabi dan pahlawan Islam adalah contoh dari pola pendekatan seperti ini, sehingga tidak terlihat beda antara materi pelajaran sejarah (tarikh) dan bacaan fiksi. Godaan dan cobaan yang mereka hadapi terasa tidak meyakinkan, karena tidak pernah dapat menggoncangkan iman mereka barang sekejap pun. Sehingga dengan demikian, tidak terhindari kesan bahwa pendekatan bacaan remaja dan pendidikan agama di kalangan kaum muslimin masih berwatak kataketik;
  • Pengolahan materi terasa sangat monoton, karena pesan yang disampaikan hanya itu itu saja, terlepas dari kekayaan tokoh atau figur yang diceritakan, baik yang diambil dari khazanah sejarah Islam sendiri (termasuk tokoh-tokoh mitologis) maupun dari kehidupan sehari-hari;
  • Penanganan masalah seringkali terlalu dangkal, seperti dapat dilihat dari seri pengetahuan umum tentang agama, yang berisikan deretan informasi kesejarahan atau keilmuan yang tidak terasa berkait satu sama lain, sehingga berwatak ‘pengetahuan ensiklopedik lebih dari berwatak ‘berbicara secara umum dan santai’;
  • Kuatnya kesan bahwa materi bacaan remaja dan materi pendidikan agama sudah mengalami proses sanitasi berat, sudah berhasil diamankan secara tuntas dari kemungkinan penyelewengan. Walaupun dapat dimengerti dasar dari adanya sanitasi seperti itu, yaitu untuk menghindarkan kesalahan memahami ajaran Islam, namun sebuah aspek utama lalu hilang atau sangat berkurang dalam bacaan remaja, yaitu unsur spontanitas. Tokoh atau pelaku dalam bacaan fiksi remaja terasa seperti sudah dikarbol, tidak ada lagi terasa kelemahan dan kekurangannya, kesangsian dan keraguannya. Dengan pendekatan sesisi di atas dan sanitasi seperti ini, maka yang muncul adalah tokoh-tokoh pelaku yang tidak lengkap dunensinya sebagai manusia, katakanlah tidak berdarah dan berdaging. Sebenarnya sulit untuk dimengeti bagaimana para remaja yang manjadi sasaran bacaan itu sendiri dapat melakukan identifikasi diri atas tokoh-tokoh itu.

***

Dari gambaran sepintas itu tampak bagi kita bahwa diperlukan reorientasi mendasar bagi bacaan remaja dalam sektor “lektur Islam”.  Reorientasi dapat mengambil bentuk keharusan memisahkan secara sadar bacaan remaja itu sendiri dari pendidikan agama. Sebagai semacam sistem bantuan atau penunjang, bacaan remaja harus berfungsi memberikan kedalaman rasa atau pikiran itu, kejadian sejarah atau ajaran itu, lalu mengendap sebagai sebuah pengalaman pribadi tersendiri dalam diri pembaca, bukannya sekadar rasa haru yang timbul di permukaan perasaan belaka, katakanlah menjadi melankoli sentimentil.

Kedalaman rasa atau persepsi itu akan memantulkan inti pesan yang akan disampaikan kepada bawah sadar pembaca, menjadi ‘sosok bertubuh, berdarah dan berdaging’ yang menyentuh keharuannya secara total. Dari situlah baru akan muncul identifikasi diri terhadap tokoh atau pelaku yang digambarkan dalam bacaan remaja. Kedalaman rasa itu dapat ditimbulkan baik oleh penggambaran keceriaan (ingat betapa hidupnya tokoh Tom Sawyer dan Huckleberry Finn), penggambaran duka nestapa (seperti dituturkan dalam Sans Famille-nya Hector Malot), penggambaran suasana bertualang (seperti tokoh-tokoh ciptaan Jules Verne) maupun penggambaran intensitas pengalaman kerohanian (seperti sajak-sajak Chairil Anwar). Dimensi teknik bercerita yang memikat dan mampu menimbulkan bekas mendalam pada diri pembaca inilah yang tampaknya belum dikembangkan dalam bacaan remaja di kalangan kaum muslimin.

Kesediaan melepaskan dunia cerita remaja dari dominasi dan kerangka pendidikan agama, akan menumbuhkan dua sisi yang sama penting bagi kepribadian seseorang: keteguhan pendirian akan kebenaran ajaran agama (yang datang dari pendidikan agama itu sendiri) dan kedalaman rasa serta keluasan pandangan sebagai hasil penghadapan kebenaran ajaran tersebut kepada kenyataan utuh dari kehidupan (yang dibawakan oleh bacaan remaja). Dua sisi kepribadian yang saling mengisi karena berbeda satu dari yang lain, yang tidak akan tercapai manakala wawasan bacaan remaja terlalu didominasi oleh ‘kebenaran’ pendidikan agama dan disubordinasikan kepadanya.

Prasyarat utama bagi penumbuhan bacaan remaja yang merupakan sisi lain dari mata uang kehidupan menurut visi Islam itu adalah kesediaan dunia penerbitan (dan pihak penunjangnya) untuk memberikan perhatian terpusat kepada ‘wawasan baru’ lektur Islam itu. Pemusatan segala sumber (kecakupan, keterampilan, teknologi dan modal) bagi ‘buku-buku agama’ yang mengungkapkan ajaran formal Islam belaka, berarti tetap tidak mungkinnya dilakukan kerja pengembangan bacaan remaja yang bermutu tinggi dan mampu menarik perhatian pembaca yang dituju. Tanpa perhatian seperti itu, secara ekonomis tidak akan mungkin dilakukan pengembangan seperti itu dalam skala massif dan untuk jangka waktu cukup lama. Perhatian harus dipusatkan kepada menciptakan bacaan remaja yang dapat dicernakan pembacanya secara bergairah, kalau perlu dengan memberikan pengorbanan tidak kecil bagi tahap rintisannya.

Dangan kata lain, perubahan skala prioritas penerbitan lektur Islam itu sendiri harus dilakukan, kalau diinginkan bacaan remaja dapat menunjang pendidikan agama secara bermakna. Bahkan lebih jauh lagi, dengan pemberian prioritas kepada bacaan remaja yang memang dapat dicernakan remaja yang menjadi pembaca, bukannya yang didikte oleh kecenderungan penerbit saja. Mungkin pengertian pendidikan agama itu sendiri yang harus diubah, sehingga bacaan remaja juga termasuk di dalamnya, bukan hanya pengajaran agama saja.